Menuju konten utama

Batman: The Killing Joke, Kisah Gelap yang Melahirkan Joker

Cerita dalam Batman: The Killing Joke justru berpusat pada Joker, sang tokoh antagonis.

Batman: The Killing Joke, Kisah Gelap yang Melahirkan Joker
Cover Batman The Killing Joke. Wikipedia

tirto.id - Pada pertengahan tahun 80-an, saat sedang menggarap Watchmen bareng Dave Gibbon, Alan Moore mendapatkan permintaan dari Brian Bolland untuk membikin naskah novel grafis tentang pahlawan super yang bertujuan untuk dipasarkan ke orang-orang dewasa. Tidak seperti kisah tentang pahlawan super kebanyakan, naskah itu harus serius, gelap, dan Bolland sudah mempunyai sebuah gambaran: salah satu tokohnya adalah seorang badut psikotik.

Moore setuju. Bersama Bolland ia kemudian mengembangkan naskah itu selama dua tahun, dari 1986 sampai awal 1988. Meski begitu, saat naskah itu rampung, Moore ternyata tidak menyukai ceritanya. Ia mengaku cerita itu terlalu berat dan membuat karakternya tampak melodramatis. Namun, Bolland punya pendapat lain.

Bolland, yang mengaku sering menggertakkan giginya saat melukis karena saking gelapnya cerita Moore, memuji Moore setinggi langit. Menurutnya, naskah itu kelewat bagus. “Saat Anda bekerja dengan seorang ahli, hal lainnya akan tampak seperti sebuah kemunduran,” tutur Bolland.

Dan pada Maret 1988, Batman: The Killing Joke pun dirilis ke pasaran.

Novel grafis itu berkisah tentang Batman dan Joker, dua karakter yang saling benci meski tak mengenal satu sama lain. Bahkan, pada awal-awal cerita, Batman sempat mengatakan kepada Joker palsu bahwa perseteruan mereka akan berakhir di antara hidup dan mati; jika bukan Batman, maka Joker yang akan mati.

Namun, secara berbeda, Moore dan Bolland justru memusatkan cerita ke arah Joker, sang antagonis utama. Hasilnya ternyata mujarab, dan kalian semua barangkali akan mengerti mengapa Joker bisa menjadi salah satu penjahat paling ikonik di dalam sejarah pop-kultur.

Dalam Batman: The Killing Joke, dikisahkan bagaimana karakter Joker lahir. Ia hanya membutuhkan “satu hari buruk” untuk membuatnya tampak seperti itu: ia gagal sebagai komedian, istri yang sedang mengandung calon anaknya mati karena sebuah musibah, dan saat terpaksa menjadi seorang perampok, ia tercebur ke dalam larutan kimia yang mengubah tubuhnya jadi berwarna putih dan rambutnya menjadi hijau.

Setelah itu, ia pun berbuat jahat hanya dengan satu tujuan: ingin membuktikan bahwa kejadian yang menimpanya itu juga bisa membuat orang lain menjadi sinting.

Dari sana, orang-orang yang sebelumnya menganggap Joker hanya penjahat biasa, dapat mengenal karakter itu lebih dalam. Dalam jurnal "What’s Diagnosist Got to Do With It?: Psychiatry, Comic, and Batman: The Killing Joke" (2018), Valentino Luzzo dapat membuktikan bahwa pandangan orang tentang Joker memang bisa berubah setelah membaca “Batman: The Killing Joke.”

Saat melakukan riset terhadap anggota klub buku di Perpustakaan Umum Cleverland, Luzzo menemukan obrolan yang menarik.

“Setelah membaca cerita tentang Joker, aku merasa sedih untuknya,” kata salah seorang anggota klub buku itu. “Aku sama sekali tidak peduli padanya sewaktu aku menonton film atau membaca cerita lain tentang dirinya. Aku pikir dia keren, tapi aku tidak pernah merasa sedih untuknya.”

Yang menarik, anggota klub buku itu jelas bukan satu-satunya kelompok yang dapat dipengaruhi oleh karakter Joker dalam Batman: The Killing Joke. Pada 2008 lalu, Christopher Nolan, pembikin film trilogi Batman, juga mempunyai perasaan yang sama seperti anggota klub buku itu. Maka, dalam The Dark Night, ia pun menggunakan Joker karya Moore sebagai referensi.

Pandangan Nolan sebelumnya, Joker adalah karakter anarkis yang memang didedikasikan untuk membuat kekacauan. Dalam setiap kejahatan yang ia bikin, Joker juga tidak mempunyai tujuan. Namun, ketika Moore mengubahnya, Nolan bisa paham; Moore ingin menunjukkan bahwa Joker adalah seorang monster yang tidak biasa, bahwa setiap orang yang direndahkan dapat menjadi sinting seperti Joker.

Dari situ, Nolan kemudian menciptakan Joker yang merupakan perpaduan dari pemikirannya dan karya Moore dalam Batman: The Killing Joke. Hasilnya ajaib: The Dark Knight mampu meraih kesuksesan besar, salah satunya karena karakter Joker (diperankan oleh Heath Ledger) yang begitu hidup di dalam film.

Lantas, apakah Batman: The Killing Joke juga berhasil meraih kesuksesan?

Pada 1989, sekitar satu tahun setelah rilis, novel grafis ini meraih tiga piala dalam Eisner Award, salah satu acara penghargaan paling luhur di dunia komik. Moore dinobatkan sebagai penulis cerita terbaik, Bolland dinobatkan sebagai ilustrator terbaik, dan Batman: The Killing Joke juga dinobatkan sebagai graphic album terbaik. Satu dekade berselang, Batman: The Killing Joke pun menjadi salah satu buku terlaris di New York Times. Dan terakhir, tepatnya pada 2016 lalu, ia juga diangkat menjadi sebuah film animasi.

Meski begitu, kesuksesan itu ternyata tidak berjalan sendirian. Di balik kesuksesan itu, kontroversi ternyata juga mengiringi perjalanan novel grafis keluaran Detective Comics [DC] tersebut.

Sisi Brutal

Pada 2015 lalu, dalam “Stop Making Superhero Movies Just for Grown-Up”, editor majalah The New Republic, Jeet Heer, mempertanyakan faedah film-film pahlawan super. Menurutnya, perkembangan film-film tentang pahlawan super saat itu sudah melenceng dari esensi aslinya: ia tak lagi layak ditonton oleh anak-anak.

Padahal, masih menurut Heer, “Sebagai sebuah hiburan, cerita-cerita tentang pahlawan super [sebetulnya] dapat merangkul semua usia karena berakar dari lamunan anak-anak: untuk terbang seperti Superman, menggunakan tali penjerat seperti Wonder Woman, berlari seperti Flash, atau melompat dari gedung ke gedung seperti Spider-Man.”

Dalam kritikannya itu, Heer tak luput menyertakan keluhan Chris Ware, seorang kartunis asal Amerika. Melalui kawat elektronik, Ware pernah mengatakan kepada Heer bahwa “menulis cerita serius tentang pahlawan super itu seperti menulis cerita pornografi untuk anak-anak.”

Infografik Batman The Killing Joke

undefined

Mengenai gejala itu, Heer lantas menyalahkan komik atau novel grafis yang muncul pada tahun 80-an. Pada saat itu beberapa kreator komik memang sengaja menulis cerita serius tentang pahlawan super untuk membidik pasar orang-orang dewasa. Dan dari beberapa karya, Heer menyebut Batman: The Killing Joke adalah salah satu novel grafis yang paling mengkhianati esensi cerita pahlawan super: ia begitu gelap, brutal, dan kompleks.

Adegan paling brutal dalam Batman: The Killing Joke terjadi saat Joker memutuskan untuk membuat James Gordon menjadi gila sepertinya. Ia menelanjangi Gordon, menaikkannya ke atas sebuah wahana kereta di sebuah pasar malam untuk melihat kejadian-kejadian mengerikan dari satu pintu ke pintu lainnya. Di dalam sebuah pintu, Gordon lantas melihat sesuatu yang mengerikan.

Adegan itu tentu tidak layak untuk dikonsumsi oleh anak-anak, dan bagi Alan Moore, adegan itu ternyata juga menjadi salah satu penyebab mengapa ia merasa bahwa karyanya itu tidak menyuguhkan cerita yang bagus: itu adalah bentuk serangan seksual yang sangat mengerikan. Moore pun sempat meminta pendapat editor tentang adegan mengerikan itu.

“Itu seharusnya menjadi area di mana mereka (editor komik) harus mengekang saya, tapi mereka tidak melakukannya,” kata Moore.

Pada akhirnya, Batman: The Killing Joke memang akan selalu menampilkan dua sisi yang berbeda. Baik dan buruk. Terang dan gelap. Kesuksesan dan kontroversi. Dan karena itu pula, novel grafis ini akan selalu dikenang sebagai salah satu yang terbaik di dunianya.

Baca juga artikel terkait HOBI atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Hobi
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Nuran Wibisono