Menuju konten utama

Batik Saparinah dan Perjuangan Anti Kekerasan terhadap Perempuan

Daya juang Saparinah dilambangkan sebagai sosok Burung Hong dalam Batik Saparinah.

Batik Saparinah dan Perjuangan Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Pameran Batik Saparinah di Cemara 6 Gallery - Toeti Heraty Museum, Jakarta, tanggal 23-25 Mei 2023. Foto/Sylviana Hamdani

tirto.id - Batik, menurut riwayatnya, selalu dilukis dengan mendaraskan doa-doa dan pengharapan baik bagi pemakainya. Lembar-lembarnya lebih dari sekadar penutup atau penghangat raga, melainkan juga pelindung jiwa dan penerus nilai-nilai baik dalam kehidupan.

Laku mirip ini kini kembali diteruskan dalam Batik Saparinah, sebuah kreasi motif batik yang tercipta melalui kolaborasi penggiat-penggiat gerakan perempuan, pakar batik kenamaan dan komunitas-komunitas pembatik di Jawa Tengah.

Dirancang sebagai hadiah ulang tahun bagi pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) dan pemberdayaan perempuan Saparinah Sadli, batik ini menitis sebagai perlambang pergerakan perempuan yang tetap kokoh meski dilibas berbagai gempuran jaman.

“Sejarah batik dan sejarah kain di Indonesia adalah sarana untuk menyampaikan nilai-nilai di masyarakat,” ujar Kamala Chandrakirana (yang akrab disapa Nana), aktivis pergerakan perempuan yang menggagas lahirnya Batik Saparinah, dalam wawancara khusus dengan Tirto.id di Cemara 6 Galeri - Toeti Heraty Museum, Jakarta, tanggal 23 Mei lalu.

“Jadi saya merasa (dengan Batik Saparinah) kita sedang mengembalikan esensi dari kain di kehidupan kita, (yang mana) kain bukan sekadar barang yang kita pakai tapi sedang mengkomunikasikan sesuatu,” tambahnya.

Ide awal pembuatan batik ini pertama kali tercetus dalam perbincangan ringan Nana dengan ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam sebuah taksi menuju kediaman Saparinah di bilangan Jakarta Selatan tahun 2017.

“Kami memikirkan bagaimana memberikan hadiah pada Ibu Sadli yang juga mempunyai nilai untuk berbagi teladan beliau,” Nana mengisahkan.

Nana lantas teringat eyangnya di Banyumas yang memiliki kain batik dengan desain khusus keluarga besarnya, dan mengusulkan hal yang sama sebagai hadiah untuk Saparinah.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani merasa antusias dengan ide ini.

Mereka kemudian menyepakati bahwa motif batik tersebut harus merupakan intisari dari perjuangan Saparinah dalam membantu perempuan-perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan.

“Satu kalimat yang paling mengemuka (dari beberapa perbincangan dengan Saparinah) adalah bahwa di tengah kehancuran itu selalu saja ada daya juang yang menghadirkan kehidupan baru dengan begitu banyak optimisme,” ujar Andy.

Infografik Batik Saparinah

Infografik Batik Saparinah. tirto.id/Ecun

Teladan yang Menginspirasi

Prof. Dr. Saparinah Sadli lahir di Tegalsari, Jawa Tengah, pada tahun 1926. Putri mantan Bupati Kudus R. M. Subali ini meraih gelar doktoralnya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan kemudian merintis karir sebagai dosen di almamaternya tersebut.

Selain aktif mengajar dan menulis, Saparinah juga mendukung gerakan hak asasi manusia dan perempuan di berbagai organisasi .

Ibu Sap, sebagaimana beliau sering disapa, sedang bertugas sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) saat kerusuhan Mei 1998 pecah.

“Anak muda sekarang mungkin tidak bisa membayangkan apa yang terjadi waktu itu ketika kami mendengar terjadi pemerkosaan,” kata Melani Budianta, guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia, menuturkan.

“Sebagai perempuan, dalam posisi apa pun, rasanya (saat itu) betul-betul tidak bisa dibayangkan,” tambah Melani. “Sungguh bersyukur ada teman-teman kita yang sekarang sebagian di Komnas Perempuan, terutama Ibu Sap, yang kemudian (mengatakan) kita tidak bisa diam saja. Kita harus melakukan sesuatu.”

Saparinah, yang kemudian masuk ke dalam Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), mengumpulkan testimoni-testimoni korban, dokter-dokter dan para pendamping korban pada Peristiwa Mei 1998.

“Ancamannya sungguh luar biasa,” kata Melani, yang turut turun ke jalan bersama mahasiswa-mahasiswa berbagai universitas di Jakarta pada pertengahan Mei 1998. “Banyak yang menolak (peristiwa itu). (Seakan-akan) tidak pernah terjadi. Bahkan korbannya banyak yang hilang atau dihilangkan.”

Laporan TGPF kemudian mencatat paling tidak telah terjadi 85 kasus tindak kekerasan seksual terhadap perempuan, mayoritas dari etnis Tionghoa, di Jakarta dan beberapa kota lainya antara tanggal 13 - 15 Mei 1998.

Berdasarkan temuan-temuan ini, Saparinah kemudian menghadap Presiden B. J. Habibie dan mendesak untuk terbentuknya sebuah komisi khusus sebagai tanggung jawab negara untuk menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

“Bu Sap meletakkan pondasi penting (untuk Komnas Perempuan),” Andy Yentriyani mengatakan.

Saparinah menegaskan bahwa lembaga negara ini harus bersifat sepenuhnya independen. Seleksi anggota-anggotanya juga harus diserahkan pada tim formatur, dan bukan berdasarkan penunjukan presiden atau karir dan posisi politik suami.

Ia juga menolak usulan nama “perlindungan wanita” untuk komisi ini dan memilih menamainya “anti kekerasan terhadap perempuan.”

Berdasarkan usulan-usulan ini, presiden akhirnya membentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Keputusan Presiden no. 181 tahun 1998 pada tanggal 15 Oktober 1998. Dan Saparinah terpilih sebagai ketua pertamanya.

Pameran Batik Saparinah

William Kwan Hwie Liong berdiri di antara tiga pengembangan Batik Saparinah karya pembatik-pembatik dari Cirebon. Foto/Sylviana Hamdani.

Kebangkitan dari Kehancuran

Daya juang aktivis perempuan senior ini kemudian dilambangkan sebagai sosok Burung Hong dalam Batik Saparinah.

Menurut legendanya, mahluk mitologis ini berkali-kali terbakar dan terlahir kembali dari abunya.

“Burung Hong adalah Chinese Phoenix,” kata pakar batik William Kwan Hwie Liong. “Burung ini ada di banyak culture dan tidak diasosiasikan dengan satu budaya saja, (sehingga) cocok dengan spirit Ibu Sap yang dimiliki banyak orang dan selalu sustainable.”

William, yang merupakan ahli batik dan sahabat baik Nana, didaulat untuk turut serta merancang motif Batik Saparinah.

Dalam mitologi Cina, Burung Hong adalah perlambang keanggunan, kebijaksanaan dan keabadian. Desainnya yang mewah seringkali dijumpai pada jubah-jubah permaisuri raja di jaman dahulu.

“Tapi (Burung Hong dalam Batik Saparinah) bukan Burung Hong biasa,” tukas William. “(Melalui manifestasi Burung Hong dalam Batik Saparinah) kita ingin menggambarkan Ibu Sap sebagai perempuan ksatria yang memiliki kekuatan (dan) kemantapan. Bukan semata-mata kelembutan.”

Selain Burung Hong, batik spesial ini juga menghadirkan Anggrek Bulan, yang merupakan tanaman kegemaran Ibu Sap yang banyak tumbuh di halaman rumahnya.

“Anggrek punya akar isap yang menempel kuat dan dapat tumbuh dalam kondisi yang sangat sulit sekalipun,” kata William menjelaskan. “Khusus Anggrek Bulan, ia juga memiliki makna kecemerlangan yang cocok menggambarkan sosok Ibu Sap yang adalah seorang intelektual.”

Decky, desainer motif batik dari Pekalongan, ditugaskan untuk menerjemahkan sosok Saparinah ke dalam corak Burung Hong dan Anggrek Bulan yang telah disepakati.

“Decky sebenarnya tidak pernah mendengar tentang Ibu Sap (sebelumnya),” William menuturkan. “Jadi kita bukakan laptop untuk menceritakan mengenai beliau.”

Setelah mencermati berbagai artikel, foto-foto dan video tentang tokoh wanita ini, Decky kemudian bisa menyelami kepribadian Saparinah dan menuangkannya ke dalam motif batik.

Alih-alih bertengger jinak dan manis di pepohonan, Burung Hong dalam Batik Saparinah digambarkan kuat dan trengginas. Raut wajahnya tegas. Tubuh dan sayapnya meliuk lincah dalam berbagai posisi terbang.

Sembilan Burung Hong dalam batik ini juga melambangkan Ibu Sap yang masih tetap aktif berkarya melewati sembilan dekade hidupnya.

Angka sembilan, yang dilambangkan dengan aksara 九 (Jiu) dalam bahasa Cina, juga memiliki arti jumlah yang tak terhingga sehingga sesuai untuk merepresentasikan keberlanjutan tanpa batas dari spirit tokoh perempuan tangguh ini.

Enam pembatik dari Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dipilih untuk menuangkan motif tersebut ke dalam lima lembar batik.

Motif yang sama digambarkan dengan lima isen-isen (latar) yang beragam, yang masing-masing memiliki maknanya tersendiri.

Latar Gringsing, misalnya, memiliki makna batin yang bersih dari segala penyakit hati, seperti keserakahan, kesombongan atau kebencian. Sementara isen-isen Beras Wutah menggambarkan kelimpahan materi dan kesejahteraan.

Nurul Maslahah, pembatik muda dari Kabupaten Batang, menggambar motif Batik Saparinah dengan isen-isen Kawung Dolar yang tampak megah dengan paduan warna sogan, merah dan biru.

Latar yang merupakan pengembangan dari motif Kawung ini melambangkan kemurnian dan pengendalian diri yang sempurna. Nurul membutuhkan waktu hampir tiga bulan lamanya untuk melukis batik sebesar 258 x 102 centimeter ini.

“Butuh ketelatenan dan kesabaran ekstra untuk menghasilkan karya yang rapi,” kata pembatik berusia 21 tahun tersebut.

Nurul mengaku sangat bangga bisa mengerjakan Batik Saparinah ini.

“Beliau (Saparinah) adalah seorang pejuang yang hebat dan perempuan yang tangguh,” ujar mahasiswi fakultas hukum di Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini saat diwawancara.

Header Batik Saparinah

Header Batik Saparinah. tirto.id/Ecun

Nerusi Ketangguhan

Saparinah menerima lima lembar batik yang telah dikerjakan dengan seksama ini dengan gembira.

“Untuk saya, (it’s) a very pleasant surprise,” kata Saparinah, dalam video yang ditayangkan di Cemara 6 Galeri - Toeti Heraty Museum, Jakarta, tanggal 23 Mei lalu.

Dalam rangka peluncurannya, lima prototipe Batik Saparinah dan empat lembar pengembangannya telah dipamerkan di Cemara 6 Galeri - Toeti Heraty Museum, Jakarta, pada tanggal 23 - 25 Mei lalu.

Tiap helainya adalah batik tulis yang dikerjakan dari kedua sisinya.

Dari sisi sebelah dalam, kain dibubuhi malam panas sesuai dengan motif yang sudah ditorehkan di bagian luar. Proses ini dalam Bahasa Jawa disebut Nerusi.

“Di sini kita secara simbolik melihat proses penguatan yang tidak menuntut untuk dilihat, karena dilakukan dari dalam atau dari belakang, tetapi sangat esensial untuk membangun ketangguhan,” Melani Budianta mengomentari.

Masyarakat juga bisa memiliki Batik Saparinah dengan memesan melalui Yayasan Indonesia Untuk Kemanusiaan.

Sehelai batik ini dijual dengan harga mulai dari Rp 600,000 dan sebagian hasilnya akan digunakan untuk membantu wanita-wanita penyintas tindak kekerasan melalui Pundi Perempuan.

“Teman-teman perempuan saat ini kemajuannya sudah lumayan banyak,” Melani menambahkan. “Ruang publik sudah banyak diisi oleh wakil-wakil perempuan. Tapi serangan baliknya juga banyak.”

Berbagai tindak kekerasan terhadap wanita berbasiskan moralitas dan fanatisme agama kini kian marak di berbagai daerah di Indonesia. Kasus-kasus perundungan terhadap perempuan, baik secara virtual maupun nyata, juga semakin meningkat.

“Namun kita tidak menerima (kejadian-kejadian ini) begitu saja,” tukas Melani. “Seperti Burung Hong (dalam Batik Saparinah), kita bersama-sama saling nerusi untuk membangun ketangguhan perempuan dengan inspirasi Bu Sap.”

Baca juga artikel terkait PAMERAN SENI atau tulisan lainnya dari Sylviana Hamdani

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Sylviana Hamdani
Penulis: Sylviana Hamdani
Editor: Lilin Rosa Santi