Menuju konten utama

Batas-Batas Seni dan Ketakutan dalam Makan Mayit

Debat tentang kanibalisme yang mendasari sekaligus jadi medium karya seni.

Batas-Batas Seni dan Ketakutan dalam Makan Mayit
Menu makanan sesi perjamuan "Makan Myit" pada 28 Januari 2017 di Footurama, Kemang Timur, Jakarta. FOTO/elianurvista.com

tirto.id - “Sedang apa?”

“Makan.”

“Makan apa?”

“Makan bayi.”

Sederet tubuh mungil tanpa busana tertelungkup, kaki-kaki mereka menekuk, seperti menahan dingin. Bayi-bayi yang kelihatan masih merah itu dijejerkan, lalu disiram semacam saus yang warnanya semerah darah.

Ada juga yang dimutilasi setengah tengkorak kepala atau isi perutnya, diganti beragam hidangan inti makan malam. Di samping tubuh-tubuh mungil si bayi, sudah tersedia piring-piring berisi gumpalan sebesar kepalan tangan, agaknya merupakan hasil mutilasi tengkorak kepala si bayi, semacam otak.

Seorang suster bernama Natasha Gabriella Tontey dengan tatapan dingin mempersilahkan tamu-tamunya duduk di meja panjang perjamuan makan malam untuk menyantap hidangan bayi-bayi mungil yang telah ia siapkan. Semua lahap melumat setiap bagian tubuh bayi di mulut mereka.

Si suster peracik makanan menamai perjamuan makan horornya sebagai “Makan Mayit”.

Eksplorasi Ketakutan

Little Shop of Horrors adalah prakarsa Tontey untuk meramaikan Footurama, Como Park, Kemang Timur, Sabtu (25/1/2017) lalu dengan acara “Makan Mayit”. Acara ini sebenarnya bukanlah kanibalisme massal secara denotasi, Tontey hanya meminjam bentuk bayi sebagai visualisasi bentuk makanan yang ia sajikan.

Tontey, dalam unggahan Instagramnya, sempat menyebut keju yang disajikan terbuat dari air susu ibu murni. Beberapa bahan baku makanannya pun diklaim mengandung ekstrak keringat bayi. Pernyataan itulah yang kemudian menuai kontroversi dari beragam kalangan, terutama dari Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI).

Tontey menyatakan karya makanan yang menyerupai janin bayi tersebut mencerminkan minatnya dalam membahas dan memahami ketakutan sebagai fenomena sosial. Dan ia memilih mengeksplorasi tema itu dari hal-hal kecil untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan terhadap ketakutan.

“Mungkin bukan mengkonstruksi ketakutan, lebih tepatnya mengeksplorasi ketakutan dan mempertanyakannya kembali lewat karya pertunjukan Makan Mayit.”

Baginya, Makan Mayit merupakan eksperimen sosial untuk melihat suatu bentuk ketakutan yang selama ini ada di masyarakat. Baginya, ketakutan sangat mungkin ditentukan secara sosial, sebagai bagian dari kontestasi yang berlangsung di masyarakat. Misalnya, sekelompok orang atau kaum vigilantis menggunakan jargon-jargon khusus untuk menciptakan dan mengendalikan ketakutan orang lain.

Ia mengaku terinspirasi dari larangan yang berbuah ketakutan yang dibuat oleh orang tua terhadap anak. Karena orang tua memiliki ketakutan tersendiri atau isu-isu hantu atau teror yang dari sana justru dipakai untuk mengontrol masyarakat.

“Sebenarnya isu ini menjadi ketertarikan saya sejak lama tapi baru tercapai di Koganecho, Jepang. Saya membuat toko mainan yang menjual cerita-cerita fiksi hasil sejarah kelam daerah Koganecho yang saya campur dengan karakter hantu Jepang,” katanya.

Proyek mainannya kala itu dibungkus dengan kantung putih. Dengan itulah Tontey menjual ketakutan orang Jepang kepada orang Jepang sendiri dengan tujuan mengobservasi sekaligus berbagi pengetahuan proses berkarya di sana. Nah, eksperimen serupa yang coba ia terapkan dalam event Makan Mayit di Jakarta.

Lewat ketakutan ia mencoba melempar isu kepada para partisipan untuk membicarakan ketakutan yang lebih dalam dengan makan malam berlagak "kanibalisme" itu. Membungkusnya dalam diskusi santai, berbicara tentang asal-usul kanibalisme.

“Apakah ada konstruksi moral yang mengatur kehidupan kita, bagaimana konstruksi moral mengatur kehidupan kita. Karena pada saat proses berlangsung bahan-bahan asli untuk masakan yang saya kumpulkan menuai pro dan kontra.”

Untuk menelurkan proyek ini, ia mengaku menjalani proses kreatif cukup panjang untuk terus mempertanyakan tema yang digeluti, ketakutan, dan kegelisahannya. Little Shop of Horrors merupakan buah residensi Tontey pada 2015, dan dilanjutkan Makan Mayit pada 2017 dengan konteks yang berbeda.

Alasannya menggunakan bayi sebagai model visualisasi makanan diilhami dari cerita panti asuhan yang menjual bayi. Saat itu Tontey sebagai penampil di Makan Mayit juga menjadi suster panti asuhan tersebut.

“Ini mengacu pada riset yang saya lakukan mengapa saya memilih anak-anak. Sedang konsep kanibal menurut saya tidak hanya mengacu pada membunuh, psikopat, dan memakan tapi hal yang lebih luas.”

Dengan mengatakan itu Tontey sedang menyinggung perlakukan buruk terhadap bayi-bayi hasil aborsi, bayi-bayi hasil perzinahan yang dibuang kedua orang tuanya karena tekanan sosial kepada mereka yang melanggar tabu, atau juga bayi-bayi yang diperdagangkan oleh orang-orang dewasa.

Sementara, mengenai kebenaran bahan baku makanannya yang terbuat dari ASI dan keringat bayi ia memilih tak membenarkan maupun tak menyangkal. Namun, isu pemakaian ASI dilempar guna mempertanyakan dimulainya hasrat kanibalistik manusia.

Menurutnya, visualisasi bayi, bahan makanan mengandung ASI dan keringat bayi dibuat guna merefleksikan pandangan seni tentang kanibalisme. Sebab tanpa mengalami langsung, hal tersebut akan sulit dibayangkan.

“Karena ada konsep endocannibalism dan saya terinspirasi dari fenomena sosial itu. Menanggap soal ASI, benar atau tidak, jawaban iya atau tidak, ya efeknya (mungkin akan) sama saja. Sama halnya kayak bertanya apakah Supersemar itu benar ada atau tidak.”

Dalam event Makan Mayit, Tontey juga mengajak beberapa pakar untuk menjadi tamu makan malam, antropolog, dokter, dan publik seni lainnya untuk mendiskusikan asal mula kanibalisme. Menanggapi pro dan kontra yang hadir di masyarakat, Tontey meyakini bahwa karya seni tidak bisa dilihat dari satu kacamata saja.

“Menurut saya, tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar.”

Infografik Makan Mayit

Batas-Batas Seni

Karena gagasan nylenehnya itu, Tontey diganjar beragam komentar sinis. Bahkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise menegaskan Makan Mayit telah melanggar norma kesusilaan, kepatutan, dan agama. Penggunaan ASI dan keringat ketiak bayi yang dimasukan ke dalam bahan makanan, menurut Yohana, merupakan suatu hal di luar akal sehat dan tidak lazim untuk dilakukan, sebab ASI bukanlah konsumsi bagi orang dewasa.

“Kami mendesak kepolisian menindaklanjuti kasus ini karena karya seni ini telah melanggar norma kesusilaan, kepatutan, agama dan bila terbukti melanggar UU akan dikenakan Pasal 27 ayat 1 Undang- Undang ITE dan pasal 282 ayat 3 KUHP kesusilaan,” imbuh Menteri Yohana.

Sementara itu, Kurator Seni Rupa Jim Abiyasa Supangkat mencoba menyikapi Makan Mayit dalam kerangka batas-batas seni. Ia memberikan pemahaman bahwa karya seni memang hampir tak memiliki batas. Namun, jika ada karya seni yang dengan tegas berlawanan dengan etika maka bisa dikatakan seni itu berlebihan .

“Karya Tontey itu negatif dan hanya mencari sensasi berlebihan. Namanya seniman punya batas dalam melihat keetisan. Karya seni itu sebuah ungkapan yang sebaiknya memperhatikan masyarakat, sementara Tontey tidak,” katanya kepada Tirto.

Secara etis, isu kanibalisme yang diusung Tontey pun dipertanyakan oleh Jim. Sebab, pada dasarnya kanibalisme hanya dilakukan orang dalam situasi terpaksa, atau jika tidak, sebagai gangguan jiwa.

“Kenapa pilihannya bayi? Pemilihan bayi membangkitkan sensasi yang sangat tak menarik, bahan idenya sendiri sudah sangat tak menarik. Secara etis kanibalismenya dipertanyakan. Dia itu pro atau kontra terhadap kanibalisme? Itu, kan, yang jadi bias.”

Pemutakhiran: Pada 23 Maret 2017, pukul 14.50, kami telah menghapus paragraf yang berisi penilaian Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) bahwa janin bayi atau anggota tubuh bayi tak patut divisualisasikan apalagi jika bahan bakunya terbuat dari ASI. Paragraf itu kami hapus karena, selain ada keberatan dari AIMI, juga karena (setelah dilakukan verifikasi) memuat penafsiran yang terlalu jauh terhadap rilis resmi AIMI Yogyakarya terkait pertunjukkan Makan Mayit ini. Pemutakhiran ini sekaligus permintaan maaf kepada AIMI.

Baca juga artikel terkait KANIBALISME atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Zen RS