Menuju konten utama

Batalion 426 yang Mengawali Isu Radikalisme di Tubuh TNI

Pada 1950an, Soeharto pernah punya batalion yang radikal kanan di Jawa Tengah. 

Batalion 426 yang Mengawali Isu Radikalisme di Tubuh TNI
Mayjen Soeharto, 2 kiri dengan kacamata hitam, ditampilkan dalam file foto 6 Oktober 1965 ini. FOTO/AP

tirto.id - Menteri Pertahanan, Jenderal Ryamizard Ryacudu, sempat bikin heboh karena pernyataannya tentang tiga persen anggota TNI terpapar paham radikalisme. Pernyataan itu disampaikan Ryamizard saat menghadiri acara halal bihalal Mabes TNI di GOR Ahmad Yani Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur pada Rabu (19/6).

Sebenarnya, isu radikalisme di tubuh TNI ini bukan hal baru. Jauh-jauh hari, Soeharto sudah harus pusing oleh radikalisme ekstrem kanan yang terjadi di era 1950an: Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Semua bermula ketika sejak akhir 1950, Soeharto ditunjuk memimpin Brigade Pragola I di Salatiga. Awalnya, di dalam brigade ini ada 9 batalion.

“Saya ditugasi untuk menyusun 9 batalyon menjadi 4 batalyon,” aku Soeharto dalam Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989:83).

Ini bukan perkara gampang, karena akan mengorbankan para perwiranya, dan membuat mereka bakal hilang jabatan. Soeharto yang saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel lantas mengalami kejadian yang membuatnya mudah meringkas jumlah batalionnya.

“Rupanya Tuhan memberi jalan, karena ternyata salah satu batalyon ialah Batalyon 426 yang dipimpin Mayor Munawar dan wakilnya Mayor Sofjan memberontak.”

Batalion 426 dan 423 dikabarkan punya banyak anggota yang mantan Hizbullah, dan dekat dengan DI/TII di Jawa Tengah. Semula, tulis van Dijk, pimpinan Divisi Diponegoro yang membawahi pasukan TNI di Jawa Tengah, ragu terhadap isu penyebrangan personel batalion 426 ke DI/TII. Padahal, para petinggi ini punya bukti hubungan perwira 426 dan 423 dengan DI/TII.

"Ditemukan sebuah dokumen […] yang menyatakan keterlibatan perwira-perwira batalyon 423,” tulis Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (1995:139).

Pada akhirnya, pemeriksaan pun dilakukan. Namun, dalam masa pemeriksaan, Komandan Batalion 423, Mayor Basuno, dibunuh oleh anak buahnya sendiri yang terpengaruh DI/TII. Ini seperti menguatkan dugaan makar banyak anggota batalion 423 dan 426.

Komandan dan Wakil Komandan Batalyon 426 pun dipanggil atasannya pada 7 Desember 1951. Menurut buku Sejarah Rumpun Dponegoro dan Pengabdiannya (1977:477), Mayor Munawar sebagai Komandan datang menghadap seorang diri. Sementara Wakil Komandan, Kapten Sofjan tidak datang.

“Sofjan, yang didesas-desuskan telah ditawari kedudukan panglima TII untuk Jawa Tengah menggantikan Amir Fatah,“ tulis van Dijk (1995:140), “menolak datang karena dia tahu markas besar telah tahu tentang kontak-kontaknya dengan dengan Darul Islam.”

Bukan TNI namanya jika tidak bertindak setelah melihat ancaman batalion radikal tadi. Batalion 424 pun bertindak untuk melucuti kompi Batalion 426 di Kudus. Sementara itu Kapten Sofjan telah lari ke arah Klaten. Pada 10 Desember 1951, dua kompi dari Batalion 426 yang dipimpin Kapten Alip, juga akhirnya kabur dari asrama.

Ada banyak batalion yang dikerahkan untuk menggempur mereka. Ada beberapa batalion di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto. Ada pula Batalion 446 yang dipimpin HW Sriyono. Sepengakuan mantan Ketua Legiun Veteran DKI Jakarta itu, Batalion 446 yang punya pengalaman menghalau DI/TII di Pangandaran, Jawa Barat, ini menggempur 426 di sekitar Kartosuro. Jika di Pangandaran mereka hanya melakukan pembinaan territorial yang nyaris tanpa bertempur, maka di Jawa Tengah, mereka harus bertempur betulan.

“Baru sampai Muntilan saja kami sudah bertemu dengan mereka. Tentara jika ditembak pasti membalas yang menembak. Kita di sana mengejar batalion ini. Kompi saya mengejar sampai ke sekitar Delanggu, dekat Kartosuro,” aku Sriyono kepada Tirto. “Di Ngunut, kompi saya bertemu pasukan Kapten Sofyan yang ikut berontak.”

Infografik Batalyon 426

Infografik Batalyon 426.tirto.id/Fuad

Kapten Sofjan kemudian terbunuh pada 2 Januari 1952. Sofjan, tulis Van Dijk (1995:140), "mengenakan baju merah dengan sorban putih memakai huruf-huruf Arab.” Soeharto (1989:85) mengaku, “Kapten Sofjan, pemimpin pemberontak, mati berduel dengan Sersan Bardjo (alias Umar Moyo)."

Sementara itu, Kapten Alip yang sempat bertahan di sekitar Jatinom, juga terbunuh pada 30 Januari 1952 ketika menunjukan tempat penyimpanan senjata. Pasukan Kapten Alip sebelumnya sempat dihantam Brigade Mangkubumi pimpinan Letnan Kolonel M Sarbini.

Sisa anak buah Kapten Sofjan lalu lari ke arah Klaten dan juga Brebes. Van Dijk mencatat, para pemberontak ini sudah punya simpanan senjata yang ditanam di sekitar Klaten. Pasukan pemberontak yang semakin mengecil ini, dikejar beberapa batalion seperti 413, 408 dan 414.

Sisa Batalion 426 yang lolos dari gempuran TNI kemudian menjadi kader penting pasukan DI/TII. Mereka dipecah-pecah dan disebar ke pasukan-pasukan DI/TII. Pengalaman latihan infantri ala SKI dari Angkatan Darat tentu membuat kualitas pasukan DI/TII bisa bertambah. Lawan penting dari pasukan DI/TII di Jawa Tengah kelak adalah pasukan Banteng Raider yang dibentuk Letnan Kolonel Ahmad Yani.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nuran Wibisono