Menuju konten utama

Bapak Bangsa Lahir di Kwitang

Di masa lalu, tokoh-tokoh berkesadaran nasional lahir dari sekolah kedokteran kolonial bernama STOVIA yang terletak di Kwitang. Sebagian Bapak Bangsa ini bahkan gagal menjadi dokter karena mereka serius dalam pergerakan dan memperjuangkan kemerdekaan.

Bapak Bangsa Lahir di Kwitang
Gedung STOVIA tampak depan, tahun 1920. Foto/wikipedia.org

tirto.id - Jauh sebelum didengungkannya Politik Etis atau Politik Balas Budi dalam pidato Ratu Wilhelmina pada 17 September 1901, pemerintah sudah membangun sekolah dan jaringan kereta api. Sudah tentu tujuannya tak jauh dari kepentingan pemerintah kolonial dan kaum liberal pemilik modal.

Penyakit tropis yang jadi masalah di Hindia Belanda membikin pemerintah kolonial pusing. Jika jadi wabah bagi penduduk pribumi, tentu bisa menganggu produksi perkebunan. Perkebunan adalah sektor penting semasa Tanam Paksa (1830-1870) dan setelahnya. Ini adalah keran duit Negeri Belanda, dan wabah penyakit bisa menyetop alirannya.

Pemerintah kolonial kemudian mengeluarkan Keputusan No. 22 pada 2 Januari 1849, yang menetapkan Rumah Sakit Militer—saat ini Rumah Sakit Gatot Subroto—sebagai lokasi kursus juru kesehatan (mantri). Selanjutnya, pada 5 Juni 1853, kursus mantri itu menjadi sekolah untuk melatih para mantri cacar. Lulusannya digelari Dokter Jawa.

Lama pendidikan Dokter Jawa adalah tiga tahun. Pada 1898, lama pendidikannya menjadi sembilan tahun dan sekolah ini mulai memakai nama STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen). Letak sekolahnya di Kwitang, tak jauh dari Pasar Senen dan Kwini. Gedung itu sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional.

Tak sembarang orang bisa jadi Dokter Jawa. Sekolah ini menerima lulusan sekolah dasar elite macam Europe Lager School (ELS). Yang khas, para siswa berpakaian bawahan jarik dengan blangkon. Menurut Bambang Eryudhawan, salah satu penyusun buku 100 Tahun Kebangkitan Nasional, sekolah ini adalah sekolah ikatan dinas. Setelah lulus, para Dokter Jawa itu harus mengabdi sepuluh tahun. Jika tidak, mereka harus mengganti biaya pendidikan yang sangat mahal itu.

Boedi Oetomo Pun Lahir di Sini

Di zaman kolonial, pendidikan berkualitas adalah barang mewah. Bahkan bagi anak priyayi yang bukan orang susah pun, biaya pendidikan menjadi masalah. Menurut J.E. Jasper dalam artikelnya “Suatu Dana Pendidikan Bagi Bumiputra” yang dimuat di Java Bode 5 November 1906, Raden Ajeng Kartini pernah punya ide mengumpulkan dana pendidikan bagi anak-anak priyayi. Namun ia keburu meninggal.

Belakangan, usaha mengumpulkan dana pendidikan diteruskan oleh mantan dokter bernama Wahidin Soedirohoesodo. Dia wara-wiri mengajak para bupati dan pejabat-pejabat untuk mencari bantuan dana pendidikan bagi anak-anak pribumi. Wahidin di sini tidak pusing sendiri. Menurut Jesper, ada Pangeran Notodirodjo dari Pakualaman Yogyakarta dan Raden Mas Tirto Adhi Soerjo yang ikut membantunya.

“Waktu itu Wahidin yang telah menjadi dokter, berumur 50 tahun. Jadi tidak mungkin dia mendirikan Boedi Oetomo, maka didirikannyalah cabang itu,” kata Hatta dalam Permulaan Pergerakan Nasional (1980).

“Kami menerima kunjungan tiga murid STOVIA Jakarta, Soetomo dan dua kawannya, yang namanya saya tidak ingat lagi. Mereka sedang dalam perjalanan propaganda untuk membangun kesadaran murid-murid sekolah menengah Indonesia supaya berhimpun dalam satu perkumpulan,” Margono Djojohadikusumo menuliskannya dalam Kenangan Kenangan Dari Tiga Zaman (1970).

“Yang menjadi sasaran adalah murid-murid OSVIA, sekolah guru bumiputra. Mereka tidak hendak menghubungi murid-murid HBS dan sekolah menengah lainnya yang sebagian terbesar murid-muridnya adalah pemuda-pemuda Eropa.”

Setelah propaganda yang bertempat di gedung sekolah mereka di Kwitang itu, organisasi pergerakan terkenal bernama Boedi Oetomo pun didirikan. Berdirinya Boedi Oetomo ini diberitakan oleh koran berbahasa Belanda terkenal di jaman itu, De Locomotief edisi 14 Juli 1908.

“Pada tanggal 20 Mei 1908 diambil keputusan oleh para siswa STOVIA di Weltevreden (Jakarta) sebagai permulaan untuk mendirikan suatu perhimpunan orang-orang Jawa yang akan menjadi inti suatu persatuan umum di masa yang akan datang,” tulis Soewarno dalam surat edaran kedua yang merupakan surat undangan Kongres Pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta.

“Telah lama kami siswa dari STOVIA di Weltevreden (Jakarta) mempunya gagasan dengan cara bagaimana dapat memperbaiki keadaan rakyat kami seperti sekarang dan khusus keadaan rakyat kecil,” tulis Soewarno dalam surat edaran dari Boedi Oetomo, dimuat di Bataviasche Nieuwsblad edisi 23 Juli 1908.

“Barangkali setelah di gedung STOVIA ini didirikan Boedi Oetomo, dr. Wahidin teringat pada cita-cita lamanya untuk memajukan perkumpulan yang menggerakan kaum intelektual. Maka didirikannya cabang ini di Yogyakarta,” tulis Hatta dalam Permulaan Pergerakan Nasional (1980).

Para pendiri yang masih kuliah itu bagaimanapun berusaha fokus untuk lulus dari STOVIA. Maka, mereka tak punya banyak waktu luang untuk berorganisasi. Akhirnya tampuk kepemimpinan Boedi Oetomo beralih ke para pegawai pemerintah kolonial.

Selama ini, Boedi Oetomo diidentikkan dengan Jawa atau Jawasentris. Menurut Bambang Eryudhawan, dalam Boedi Oetomo ada tokoh bernama Sjamsoe yang berdasar penelusurannya bukan orang Jawa, melainkan orang Sunda. Memang, kebanyakan siswa STOVIA adalah pemuda. Itulah faktor utama Boedi Oetomo beranggotakan banyak orang Jawa.

Alumni Lain STOVIA

Wahidin sang penggagas Boedi Oetomo adalah alumni STOVIA juga, ketika Sekolah Dokter Jawa itu belum disebut STOVIA. Sekitar tahun 1874an dia sudah jadi dokter Jawa. Menjelang berdirinya Boedi Oetomo, Wahidin sudah memasuki usia pensiun. Dialah yang mempengaruhi anak-anak muda yang kuliah di STOVIA, di antaranya Soetomo, Gunawan, dan lainnya.

Soetomo selaku pendiri Boedi Oetmo kemudian mendirikan Partai Indonesia Raya (Parindra), di mana banyak orang penting pergerakan nasional bergabung di dalamnya, termasuk wakil rakyat atau anggota Volksraad.

Selain Soetomo atau Wahidin, ada jebolan sekolah dokter Jawa yang lain. Gunawan Mangunkusumo termasuk orang penting juga dalam pendirian Boedi Oetomo. Dia adalah adik Cipto Mangunkusumo yang juga lulusan STOVIA. Dia pernah mendapat penghargaan dari Raja Belanda karena ikut memberantas penyakit pes di Malang. Cipto kemudian menjadi tokoh yang terbilang keras melawan pemerintah kolonial. Dia berkali-kali dibuang.

Bersama E.F.E. Douwes Dekker dan Suwardi Surjaningrat, Cipto mendirikan partai pertama di Hindia Belanda, Indische Partij. Mereka dijuluki Tiga Serangkai. Suwardi, meski tak sampai jadi dokter Jawa, juga pernah juga belajar di STOVIA. Dia lebih memilih jadi jurnalis. Setelah kembali dari pembuangan di Belanda, Suwardi beralih ke bidang pendidikan dengan mendirikan perguruan Taman Siswa dan memakai nama barunya: Ki Hajar Dewantara.

Jalan hidup Suwardi agak mirip dengan Tirto Adhi Soerjo. Selain sama-sama tak selesai kuliah di STOVIA, Tirto pun jadi jurnalis. Medianya, Medan Prijaji, adalah tonggak penting bagi sejarah surat kabar kebangsaan. Pemilik, percetakannya, redaksinya dipegang oleh orang-orang Indonesia, di mana Tirto adalah pemimpinnya. Belakangan, Tirto disebut sebagai Bapak Pers Indonesia.

STOVIA lalu berganti menjadi Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran). Setelah masuk Tentara Pendudukan Jepang di Indonesia, ia berubah menjadi, Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran).

Lalu namanya berubah lagi jadi Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Sempat juga diambil alih Belanda yang mendirikan Universiteit van Indonesie bersama sekolah teknik di Bandung, sekolah pertanian di Bogor, dan lainnya sebagai fakultas-fakultasnya.

Sejak 2 Februari 1950, Pemerintah Republik Indonesia mengubahnya menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hingga sekarang.

Jauh setelah Soetomo lulus dari STOVIA, sekolah kedokteran ini diisi oleh pemuda-pemuda anti-kolonial. Di masa pendudukan Jepang, mahasiswa kedokteran itu termasuk penentang Jepang. Satu contohnya adalah ketaksediaan mereka untuk digunduli.

Sabtu di bulan Oktober 1943, sepasukan tentara Jepang memasuki ruang kuliah. Mahasiswa di ruangan itu sedang mengikuti mata kuliah Patologi. Para serdadu masuk ruang kelas dengan menghunus senjata siap tembak serta bayonet. Tujuannya menggunduli rambut paara mahasiswa kedokteran itu.

Tapi para siswa menolak perintah itu. Seorang mahasiswa Bali yang dikenal pendiam pun bersitegang dengan seorang perwira Jepang. Beberapa mahasiswa lain siap ribut dan mengangkat kursi. Mahasiswa Bali itu kena tampar. Setelah penggundulan dibawah todongan senjata itu, para mahasiswa marah dan berencana membikin aksi, meskipun kemudian tak jadi terwujud.

Di akhir pendudukan Jepang, sebagian mahasiswa sekolah kedokteran itu termasuk pemuda penggerak yang memaksa Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan. Di masa revolusi, sebagian mahasiswa sekolah kedokteran itu tak jadi bergelar dokter. Beberapa di antaranya malah jadi tentara. Contohnya Letnan Kolonel Eri Sadewo, Letnan Kolonel Daan Yahya, dan Jenderal Suhario Padmodiwirio alias Haria Kecik.

Jauh setelah masa Revolusi, mahasiswa kedokteran juga berperan, juga di angkatan 1966. Arif Rahman Hakim, yang tertembak dalam Demonstrasi Tritura menjelang Supersemar, adalah mahasiswa kedokteran.

Begitu juga pemimpin demonstran yang menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka, yang berujung Malari 1974. Salah satunya adalah Hariman Siregar, mahasiswa kedokteran UI. Setelah 1974, tak terdengar nama pemimpin pergerakan mahasiswa yang berasal dari kedokteran UI.

Tantangan mahasiswa kedokteran kini lain dengan zaman STOVIA dulu. Jumlah mahasiswanya pun lebih banyak, dan biaya kuliahnya semakin mahal. Penyakit juga semakin kompleks, tak sebatas pes atau cacar saja.

Jikapun berjuang, mereka tak harus turun ke gelanggang perang seperti di zaman Revolusi. Ikon dokter pejuang masa kini bukanlah semacam Soetomo atau Cipto Mangunkusumo, tetapi seperti Lie Darmawan, yang membuat rumah sakit apung untuk para pasien miskin di Nusantara.

Baca juga artikel terkait STOVIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani