Menuju konten utama

Banyak Latihan (Belum Tentu) Banyak Medali

Prestasi atlet dunia yang bergelimang medali tak melulu ditunjang oleh latihan dengan porsi yang paling banyak dibanding atlet lain. Ada juga faktor genetis/fisiologis dan sosio-ekonomis. Terkesan tak adil, namun demikian lah hasil riset dari sejumlah peneliti.

Banyak Latihan (Belum Tentu) Banyak Medali
Pemenang medali emas Usain Bolt dari Jamaika, pemenang medali perak Andre De Grasse dari Kanada dan pemenang medali perunggu Christophe Lemaitre dari Prancis berfoto dengan medali mereka dalam upacara penyerahan medali cabang olahraga atletik kategori putra 200 meter Olimpiade Rio 2016 di Stadion Olympic, Rio de Janeiro, Brazil. [ANTARA FOTO/REUTERS/Dylan Martinez]

tirto.id - Seorang pelatih tim renang Cina asal Inggris di akhir Juli 2012 silam pernah membagikan ceritanya secara anonim kepada The Guardian. Singkat cerita, ia membimbing lima atlet yang akan menghadapi laga Olimpiade London. Sang pelatih, sebut saja James, tak bisa menyembunyikan kekaguman atas kerja keras anak-anak asuhnya. Sebuah usaha yang bahkan melebihi ekspektasinya sendiri, hingga susah untuk dijelaskan dengan kata-kata.

“Sebagai pelatih yang pernah mendampingi sejumlah perenang di lima tim untuk olimpiade, saya belum pernah menemui atlet-atlet dengan latihan sekeras ini. Barangkali yang terkeras di antara program latihan yang dijalankan oleh atlet-atlet dari negara lain,” ungkapnya.

Di mata James, para atlet dari Negeri Tirai Bambu itu mampu menahan rasa sakit dan derita yang lebih lama ketimbang para kompetitornya dari Barat. Mereka berlatih habis-habisan setiap hari, hampir tanpa libur. Mental mereka sangat tangguh dan ini berangkat dari rasa kebanggaan yang meluap-luap sebab bisa mewakili negaranya di ajang olahraga tingkat dunia. Tak lupa, mereka juga mengusung kehormatan keluarga masing-masing, sehingga pilihannya ada dua: pulang jadi juara atau kalah tanpa muka.

Di akhir turnamen, Cina memang sukses memborong total 10 medali di cabang olahraga renang. Namun, Amerika Serikat jauh lebih unggul dengan perolehan 31 medali. Etos kerja luar biasa atlet Cina di cabang olaraga lain pun tak berakhir dengan sempurna. Jika pada Olimpiade 2008 mereka bisa menjadi juara umum (tuan rumah), di London mereka berada di urutan 2 dengan 88 medali. AS sukses memuncaki klasemen dengan membawa pulang 104 medali.

Hasil ini bukannya mengerucut pada kesimpulan bahwa atlet AS berlatih lebih keras. Ada banyak variabel lain yang menyebabkan sebuah negara bisa memborong medali dalam sebuah Olimpiade. Meski demikian, hingga saat ini masih banyak pihak meyakini bahwa kerja keras menjadi faktor pertama dan utama untuk berjaya merebut medali.

Kepercayaan ini tak lepas dari penelitian dari psikolog Swedia K. Anders Ericsson di tahun 1993. Erricson meneliti tingkat kerja keras musisi dengan hasil yang dicapai. Kesimpulannya, kualitas musisi pekerja keras jauh lebih baik ketimbang yang malas. Penelitian ini kemudian dikembangkan untuk menguji performa di bidang lain seperti kesehatan dan olahraga.

Kesimpulan Ericsson selanjutnya: orang-orang terbaik di dunia seperti atlet, musisi, maupun dokter adalah yang berlatih paling keras dibanding orang lain. Jurnalis Malcolm Gladwell dan rekan-rekannya kemudian mempopulerkan hasil riset tersebut dengan tajuk “aturan 10.000 jam”. Artinya, kesuksesan seseorang meraih posisi puncak ditentukan oleh determinasinya dalam menekuni sebuah profesi dalam waktu total (minimal) 10.000 jam.

Selang 23 tahun kemudian, sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Perspective on Psychological Science mematahkan rumus tersebut. “Latihan secara terus-menerus memang terbukti untuk meningkatkan peforma. Namun, untuk jadi yang terbaik di dunia, itu perkara lain,” kata Brooke Macnamara selaku psikolog Universitas Case Western sekaligus bertindak sebagai kepala peneliti.

Macnamara dan timnya menganalisis 34 penelitian yang berasal dari pantauan atas latihan dan peforma 2.765 atlet. Ia dengan tekun merekam prestasi para atlet lalu dibandingkan dengan durasi latihan. Hasilnya, atlet-atlet dengan prestasi terbaik di tingkat internasional—baik di ajang Olimpiade maupun kompetisi lain—tak mesti mereka yang berlatih dengan durasi paling panjang.

“Hasil ini menunjukkan bahwa latihan itu penting. Namun latihan tak bisa untuk menjadi faktor pembeda utama kualitas atlet yang “bagus” dan yang “terbaik”,” kata Macnamara kepada Scientific American. Ia menambahkan, di tingkat nasional maupun global, kesuksesan seorang atlet menjadi yang terbaik (sayangnya) juga dipengaruhi oleh faktor genetis, ciri-ciri psikologis, dan faktor lainnya.

Para peneliti lain akhirnya melihat metode 10.000 jam sebatas teori akademik saja, bukan sebagai program yang bisa dipraktikkan untuk mencapai kesuksesan maksimal para atlet.

“Mayoritas ilmuwan yang bergerak di lapangan bisa bersepakat jika latihan memang penting dalam pengembangan atlet menuju prestasi nomor satu. Namun, di sisi lain kami juga menyepakati bahwa ada banyak faktor lain yang turut berpengaruh,” kata Mark Williams, ilmuwan olahraga dan kesehatan di Universitas Brunel, London. “Penelitian itu menarik, namun saya kira tak akan mengubah program atlet secara radikal,” imbuhnya.

Jeffery Fairbrother, ilmuwan Universitas Tennese yang fokus pada kajian perilaku manusia, juga bersepakat dengan Williams bahwa penelitian Macnamara tak akan mengubah cara atlet dalam menempa diri.

Jeffery hanya berpendapat dari sudut pandang pelatih dan atlet serta bukan sedang menghakimi kesimpulan Macnamara sebagai temuan yang tak berguna. “Kita paham jika peforma seorang atlet sangat dipengaruhi oleh program latihan yang tepat. Seharusnya progam yang ideal itulah yang perlu difokuskan untuk bisa dijalankan oleh sebanyak mungkin atlet, sehingga mereka mampu mencapai titik potensi terbaik dan mengantar yang bersangkutan ke tangga juara,” katanya.

Macnamara setuju. Sesuai tujuan awal, penelitian tersebut diharapkan bisa menjadi semacam gerbang untuk memahami berbagai macam cara dan kombinasi banyak faktor untuk mengantar seseorang atlet meraih kejayaannya.

Pertanyaannya kemudian, apa saja faktor-faktor pendukung itu?

Unsur Genetis dalam Dunia yang Rasis

Dunia olahraga sesungguhnya tersegmentasi secara natural berdasarkan ras. Beberapa atlet ras tertentu menguasai satu-dua cabang olahraga, sedangkan atlet ras yang berbeda juga menguasai cabang olahraga lain. Kondisi ini terlihat pada cabang lari, misal, yang dikuasai oleh atlet kulit hitam, sedangkan atlet-atlet kulit putih mendominasi cabang renang.

Fenomena ini kemudian melahirkan asumsi: apakah benar performa atlet olahraga sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor genetis/fisiologis?

Pada 2010, seorang profesor teknik mesin dari Universitas Duke bernama Adrian Bejan dan beberapa koleganya melakukan penelitian atas tema tersebut. Hasilnya, secara fisik orang kulit hitam memang memiliki massa pusat yang lebih tinggi, dan ini terlihat dari torso yang relatif lebih pendek. Kondisi inilah yang membuat atlet kulit hitam bisa memacu kecepatan larinya dengan lebih baik dibanding atlet kulit putih. Di sisi lain, orang kulit putih memiliki torso yang relatif lebih panjang sehingga lebih unggul untuk berkompetisi di cabang renang.

Atlet kulit kuning atau yang berasal dari ras Mongoloid memiliki torso dengan ukuran di antara torso ras Kakukasoid dan torso atlet ras Negroid (posisi tengah-tengah alias nanggung), maka tak heran jika atlet Asia tak bisa dominan baik di cabang lari maupun renang.

Khusus untuk cabang lari, hari ini sudah bukan sesuatu yang mengejutkan jika atlet kulit hitam seperti Usain Bolt rajin menyabet medali emas di ajang olimpiade atau sesekali memecahkan rekor baru. Diskriminasi rasial telah dihapuskan secara formal dan upaya penyetaraan secara kultural terus-menerus diupayakan baik oleh negara maupun komunitas sipil.

Sumbangan Faktor Sosio-Ekonomis

Di buku “Stuck in the Shallow End: Education, Race, dan Computing”, peneliti UCLA Jane Margolis menceritakan sejarah segregasi dalam olahraga renang di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa orang-orang kulit hitam memang sejak dulu memiliki akses yang lebih terbatas terhadap fasilitas maupun edukasi tentang dunia renang. Ini menunjukkan bahwa selain perkara genetis, prestasi atlet juga ditentukan oleh faktor sosio-ekonomis.

“Di dalam banyak kasus segregasi, stereotip dan kepercayaan umum tentang perbedaan etnis, gender, dan kemampuan fisiologis melahirkan akses yang tak sama serta hasil yang berbeda,” kata Margolis.

Joan Ferrante, profesor sosiologi di Universitas Northern Kentucky bersepakat bahwa lokasi geografis, sumber daya finansial, pengaruh orang tua, teman sepermainan, dan orang-orang panutan berpengaruh terhadap prestasi seseorang dalam dunia olahraga. Kondisi ini akan jauh lebih signifikan jika melibatkan faktor genetis. Hasilnya, dunia olahraga akan selalu lekat dengan segregasi sosial, rasial, dan ekonomi.

Kondisi yang demikian memang tak adil. Ini yang menyebabkan atlet Cina, seperti yang dipaparkan sebelumnya, berusaha keras untuk tetap menjuarai banyak cabang di ajang Olimpiade dengan berlatih sekeras mungkin, hingga batas maksimal.

Di sisi lain, atlet Cina juga dimanja oleh pemerintah baik dari segi finansial, akses, akomodasi, hingga fasilitas pendukung berstandar internasional. Tak heran, jika di lima Olimpiade terakhir Cina tak pernah absen dari posisi 3 besar peraih medali terbanyak.

Negara dengan penduduk terbanyak di dunia itu selalu menjadi batu sandungan bagi kedigdayaan negara-negara yang dijejali oleh atlet kulit putih maupun hitam. Sebuah bukti bahwa persoalan genetis hingga sosial-ekonomi bukan halangan untuk merebut prestasi membanggakan di tingkat dunia.

Dengan demikian, sebagai negara yang sama-sama berada di Asia dan memiliki faktor genetis yang serupa, apa kabar kontingen Indonesia?

Baca juga artikel terkait FAKTOR PENDUKUNG PRESTASI ATLET atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti