Menuju konten utama
DJ Riri:

"Banyak DJ yang Hanya Mengandalkan Packaging"

Dalam dunia musik elektronik disc jockey atau DJ adalah bintang. Inilah cerita panjang karier DJ Riri.

foto DJ RIRI

tirto.id - Pada 2004, Riri Mestica merilis album Keluarmalam. Album ini membuat namanya dicatat dalam tinta emas babad musik elektronik di Indonesia: menjadi disc jockey (DJ) pertama yang merilis album penuh, dengan musik ciptaan sendiri.

Di luar dugaan, album ini terjual 12.000 keping, angka yang mengejutkan karena saat itu musik elektronik hanya tumbuh di bawah tanah, di bar dan klub malam.

"Kebetulan dibantu oleh teman-teman di radio. Kita waktu itu milestone-nya diwawancara di radio Hard Rock. Itu semua orang dengar," kata Riri mengisahkan bagaimana ia dibantu oleh radio di awal kariernya.

Riri juga menyandang julukan mentereng: Pria paling sibuk di kancah dansa Indonesia. Berbagai penghargaan juga pernah ia raih, salah satunya saat menjadi DJ No.1 di Indonesia dalam ajang Top Ten DJ Paranoia 2007.

Tapi perjalanannya jauh lebih panjang ketimbang yang diketahui banyak orang. Riri pernah bekerja kantoran di perusahaan furnitur milik keluarga. Menjadi pekerja 9 to 5 selama tiga tahun, sampai akhirnya memutuskan menjadi musisi penuh waktu. Sebagai seseorang yang punya visi ke depan, Riri tak berhenti menjadi DJ saja. Namun juga mendirikan Spinach Records, label rekaman musik elektronik sekaligus menjadi kantor manajemen yang sekarang menaungi 18 orang DJ.

"Wah, setiap minggu itu kami nerima 20 demo. Setiap minggu itu. Makin banyak," terang Riri mengenai animo dan antusiasme anak-anak muda terhadap profesi sebagai DJ.

Pada Rabu (8/3) Tirto menemui Riri di kantor Spinach, di Kemang 89 Building, Kemang Raya, Jakarta Selatan. Kantor Spinach sedang ramai sore itu. Ada beberapa DJ yang tampak khusyuk di depan laptop. Ada juga murid sekolah DJ Spinach yang sedang menekuri turntable di depannya. Riri tampak segar dengan rambut pendek, kaos lengan panjang berwarna putih, serta sepatu kets putih-hitam. Kopi susu tersaji di meja, dan Riri sudah siap untuk menjawab pertanyaan.

Sebagai remaja yang tumbuh di era 80 dan 90-an, biasanya kan dikelilingi musik rock macam Guns N Roses hingga Nirvana. Kenapa tertarik pada musik elektronik?

Jadi waktu SMA aku main band, bawain lagu orang. Bawain Nirvana, D.R.I, Suicidal Tendencies, Ramones, yang arahnya agak punk. Awalnya aku gitaris. Karena aku harus ke Perancis, aku bingung harus main sama siapa. Aku cari yang bisa menyalurkan hobi musik, tapi sendirian.

(Kebetulan) sempat punya minat (saat) SMA melihat ada teman yang jadi DJ. Ada sesuatu yang susah dicerna. Misal bagaimana mereka bisa mengejar speed dari satu musik ke musik lain. Bagaimana menggabungkan dua lagu jadi satu lagu yang durasinya jadi 1 menit. Itu justru the art of mixing yang bikin aku tertarik pada musik elektronik.

Saat umur 17, Anda pergi ke Eropa. Apakah kepergian itu khusus untuk belajar jadi DJ?

Enggak. Awalnya aku disiapkan untuk sekolah perhotelan. Kebanyakan sekolah hotel itu berbahasa Perancis. Jadi ke Perancis itu untuk sekolah bahasa. Waktunya agak longgar. Malahan akhirnya mulai banyak ngulik musik. Di sana lumayan bergaul sama DJ lain, ada juga teman di London yang mengajarkan teknik bermain dengan benar. Kami bertukar koleksi piringan hitam, dan lain-lain. Eksplorasinya dari situ.

Kapan Anda memutuskan serius dengan dunia DJ?

Lama prosesnya. Di Perancis itu karena aku punya alat, jadinya sering diundang teman untuk bikin pesta. Jadi seperti DJ kampus. Kemudian waktu pindah ke Swiss juga sama. Dari awal murid di sana sudah tahu. Jadi setiap ada pesta, aku diundang untuk jadi DJ. Di Swiss juga aku mulai dapat pekerjaan pertama di kafe, dibayar secara profesional, setiap akhir pekan.

Bagaimana dengan sekolah perhotelannya?

Oh iya. Harus itu. Kebetulan niatku memang harus punya gelar akademis. Jadi memang kebetulan mengambil D3. Kemudian pulang dulu sebentar, kemudian balik lagi.

Selama pulang kerja sempat bekerja di bidang perhotelan?

Iya. Waktu krisis, aku malah sempat ke Thailand. Jadi bar manager, kemudian jadi asisten di departemen Food & Beverage. Di Thailand juga ada aktivitas DJ, tapi enggak diniatkan. Fokusnya di pekerjaan hotel. Tapi waktu di Jakarta tetap main. Karena memang hobi.

Kapan akhirnya fokus pindah ke dunia musik?

Itu butuh waktu lama. Aku sempat balik ke Jakarta, kerja di perusahaan keluarga, perusahaan furnitur. Sambil buat album. Istilahnya, bekerja di furnitur, tapi setiap akhir pekan mulai main secara teratur keliling Indonesia pada 2000. Tapi full beneran, dalam arti aku buat manajemen, Spinach, dan lain-lain, baru pada 2003. Jadi tiga tahun untuk yakin bahwa musik bisa jadi penopang hidup.

Apakah keluarga sempat protes dengan pilihan fokus di dunia musik ini?

Enggak. Soalnya mereka lihat komitmenku kerja 9 to 5 enggak pernah aku tinggalkan

Masih ingat gigs pertama di Indonesia?

Waduh (tertawa). Kalau pertama kali main sih kayaknya zaman B1 (nama bar dan klub malam di Jakarta), waktu itu iseng-iseng coba main satu-dua lagu. Kalau pertama mulai coba main ya malah lebih jauh ke belakang, SMA mungkin. Sok-sok aja nge-DJ pakai plat orang. Berantakan sih, tapi sudah berani tampil. Tahun 2000 itu aku sudah langsung main di mana-mana, dan setiap minggu.

Pada 2000 itu, kan, belum ada media sosial. Bagaimana seorang Riri membangun reputasi sebagai DJ?

Kebetulan dibantu oleh teman-teman di radio. Kita waktu itu milestone-nya diwawancara di radio Hard Rock. Itu semua orang dengar. Zaman itu, bisa diwawancara Hard Rock itu pencapaian hebat. Untungnya banyak teman kerja di radio. Dan mereka memang melihat dance music merupakan kendaraan mereka untuk membangun imej sebagai radio keren.

Sebenarnya sejak kapan, sih, musik elektronik mulai diterima di Indonesia?

Gelombang kedua itu tahun 1990-an.

Apakah saat era Stardust (nama klub malam di Jakarta)?

Itu scene yang sebelumnya lagi. Kalau enggak salah dulu Mustang itu punya Disco Trip atau apa ya namanya. Itu awal 90-an. Kalau 80-an, kebetulan aku enggak mengikuti. Zamannya, Ebonies segala macam. Anda bisa tanya ke yang lebih tua. Kalau 90-an, ya, B1 itu pelopornya. M-Club dan lain-lain itu.

Saat masa itu aku masih di luar negeri. Aku enggak intens. Pas balik pada 1996, kerja hotel, setelah itu cabut lagi ke Thailand, balik lagi ke sini tahun 2000 itu scene-nya R&B. Semua main R&B. Pokoknya zaman itu lagi besar-besarnya era hip-hop, kayak Neo, Sweet Martabak. Itu lagi gede-gedenya mereka.

Pusatnya ada beberapa, sih. Ada BC Bar yang lumayan ramai. Ada Retro, yang kebetulan aku main rutin di situ. Ada juga Lava Lounge, Embassy. Apa lagi ya? Music Room. Banyak. Dan itu terus, meledak terus. Memang secara underground pecah banget. Penuuuuh! Di mana-mana penuh, tapi enggak kelihatan di permukaan. Karena musik yang kami mainkan itu enggak ada di radio.

Bayangkan, satu lagu bisa 6 sampai 9 menit. Habis durasinya. Kalau dimainkan di radio ya pasti dipotong. Zaman itu juga belum ada acara khusus untuk musik dance. Lalu Paranoia bikin acara Party at No Limitiation. Terus Prambors bikin juga. Pokoknya itu peralihan masa dari yang citra musik elektronik itu negatif, jadi lebih dilirik. Ya walau belum dilirik brand.

Jadi Anda ini ada di gelombang ke berapa?

Sepertinya gelombang kedua. Gelombang pertama itu kan 80-an. Sekarang kayaknya sudah gelombang ketiga di Pangudi Luhur (PL). Aku, kan, dari Pangudi Luhur. Gelombang pertama di sana itu aku, kedua DJ Winky, ketiga Dipha Barus. Semua PL nih (tertawa). Sekolah dansa itu (tertawa).

Sekarang Anda lebih menikmati jadi DJ atau produser?

Jujur sih, ya, lagi senang jadi produser, tapi sebentar lagi aku mau rilis 1 album. Sudah lama, sengaja dikubur. Sebelum ini aku memang sibuk jadi produser. Kemarin jadi produser untuk RROB, yang aku juga personelnya. Lalu jadi produser Rizuka. Dia sudah punya 2 lagu. Sekarang dia sudah mulai stabil booking-an dan dari sisi pekerjaan. Exsposure-nya juga bagus. Kemarin lagu "Hanya Memuji" sudah jadi nomor 1 di 100 radio. Ini lagi menyiapkan single ketiga. Jadi lama kami mempersiapkannya, 3 tahun. Ini kerja panjang memang. Kalau main, masih aktif untuk weekend ini aja 2 kali main.

Album Keluarmalam itu dirilis 2004?

Sepertinya 2003 akhir. Iya, akhir 2003 (Riri memang mengingat album itu dirilis pada 2003 akhir, dalam biografi singkat di situs pribadinya, tertulis kalau Keluarmalam dirilis pada 2004).

Itu album pertama DJ Indonesia?

Iya.

Apakah sebelumnya memang DJ tidak tertarik bikin album?

Ada, tapi kompilasi. Memainkan lagu-lagu orang. Kalau itu, kan, memang aku melihatnya di luar banyak, kok. Gampang banget dulu. Karena belum ada internet, apa yang kita kerjakan di luar (negeri) dibawa ke sini jadi hebat. Di luar apa ya, oh DJ bikin album. Akhirnya sikat saja. Kalau sekarang kita mau bikin apa, semua orang sudah buat. Buat sesuatu enggak bisa semudah dulu.

Jadi dorongan sebagai musisi itu kuat, ya, sampai berpikir bikin album?

Iya, sih. Kebetulan hambatannya dulu banyak. Bikin di laptop. Semuanya musik dasar itu adanya di program. Ada juga yang bikin di alat seperti Groove Box, bikin analog. Direkam harus di studio yang standard-nya band. Direkam di tempatnya almarhum Chilling (drummer band The Flowers). Itu juga yang di laptop sempat dirampok, jadi hilang satu album. Terus aku terpaksa bikin lagi. Untungnya ada beberapa file yang sudah disimpan, jadi cuma perlu bikin lagi setengah. Memang kendalanya banyak. Dari 2001 itu sudah mulai membuat lagu bareng Thomas Ramdhan. Dia yang bantu jalan untuk produksi.

Aku sebetulnya otodidak untuk produksi musik, music engineering. Waktu itu nyaris enggak ada produser yang ngerti produksi album elektronik. Belum lagi bahasaku sama Thomas beda. Bahasa anak band dan DJ. Itu jungkir balik. Semuanya belum pernah ada.

Jadi benar-benar tidak ada produser yang paham musik elektronik saat itu?

Ada Andy Ayunir sama Didi AGP. Aku sudah menghadap mereka semua. Ingin tahu apa yang mereka kerjakan lebih dulu. Aku juga eksplorasi lebih jauh, ke Jogja. Di sana sudah ada Parkinsound (Festival musik elektronik pertama di Indonesia, pertama dibuat pada 1988). Aku harus kenalan dulu dengan Juki (Marzuki Mohamad, alias Kill The DJ, pendiri Parkinsound). Nongkrong, minum teh sore-sore. Kami harus tahu dulu pemain-pemainnya. Apa yang sudah mereka lakukan. Ini supaya kami bisa bikin yang beda.

Dari nama album juga pemilihannya panjang. Harus Bahasa Indonesia supaya kena ke orang Indonesia. Segala macam pemikirannya. Panjang banget dan ampun deh. Dan dipelototin sama DJ lain. Karena itu bukan hal yang lumrah.

Apakah ada masa hibernasi untuk musik elektronik, sebelum naik lagi seperti sekarang?

Masalahnya dari 2000 sampai sekarang enggak ada. Evolusinya yang kadang-kadang enggak bisa dicerna dengan gampang.

Evolusi seperti apa maksudnya?

Evolusi musik. Sudah berapa kali evolusi. Semakin kuat, sih. Makanya kita juga bingung.

Apa yang membuat musik elektronik itu jadi kuat, sampai ada festival Djakarta Warehouse Prpject segala?

Apa, ya? Sesuai kemajuan teknologi, sih, kalau aku melihatnya. Sampai pernah ada suatu masa di mana merk rokok itu benar-benar terkonsentrasi di DJ saja. Kita bilang enggak mungkin kayak gini terus. Pasti ada tenggelamnya. Kami juga melihat kapan musik elektronik tenggelam. Cuma kalau melihat dari hiburannya, dari bisnisnya, memang beda dengan band.

Membawa seorang DJ itu bisa mendatangkan 1.000. Membawa sebuah band besar bisa mendatangkan 5.000, kalau kecil dikit yang datang 500. Selama nonton band, mereka diam dan tidak minum atau makan. Sementara DJ dilihat dan didengar sembari penonton minum dan makan. Itu melihat dari bisnisnya. Ya dua-duanya punya ranah bisnis masing-masing, sih.

DJ ini dengan simplicity-nya jalan terus. Memang musiknya, direction music-nya, yang kadang-kadang bikin mikir: kok jadi gini ya? Kalau sekarang sedang ada tren EDM, semua main EDM. Kalau tiba-tiba tren R&B, semua jadi R&B. Ya semua ada zamannya, sih.

Apa yang membedakan kancah musik elektronik era 2000-an dengan kancah musik elektronik sekarang?

Untungnya genre yang aku mainkan itu masih ada, progressive house. Tapi kemarin-kemarin di store MP3 itu jadi genre komersial.

Akhirnya aku harus main komersial, karena sudah well produced dan layak diputar. Cuma kalau keterusan tertarik ke arah komersial, bisa membuat kita lupa kalau kita sebenarnya itu ada di scene underground. Jadi harus agak ke sini (Riri mengangkat tangannya untuk menggambarkan musik elektronik yang sedang populer), nanti agak turun lagi (tangan diletakkan di tengah, untuk menggambarkan sub genre musik elektronik yang tidak populer). Kalau terlalu go deep, ya selesai.

Tapi tergantung lagi, sih, di Indonesia. Misalnya ada Jenja (klub malam di Bali dan Jakarta). Mereka underground, tapi sukses. Membuat kita berpikir, sebenarnya bisa kalau kita ramai-ramai menjaga di situ. Jadi kita mulai tertarik lagi ke bawah, mulai menyelam lagi. Ya jujur saja, kita harus make money. Main komersial enggak ada salahnya.

Seperti apa pengelompokan underground di dunia musik elektronik?

Kayak misalnya techno, lalu ada tech house. Jenis lagu-lagu yang enggak ada sing along-nya, karena enggak ada yang bernyanyi, tapi dari elemen yang ada di musik, masih ada genre lain. Misalkan trance. Itu, sih, cukup spesifik, punya scene sendiri.

Apakah di kalangan DJ ada yang ribut atau bertikai soal pengelompokan ini?

Enggak kok. Balik ke individu dan seleranya. Nafas kami ini tumbuhnya dari underground. Jadi enggak ada berantem satu sama lain. Yang berantem, ya, biar manajemen. Cari kerjaan. Kalau DJ-nya, sih, enggak. Kita semua teman.

Dulu untuk jadi DJ diperlukan skill dan latihan yang lama, karena nyaris semua manual. Sekarang sudah bisa pakai laptop dan sync. Karena itu bermunculan banyak DJ baru, semisal Nikita Mirzani.

Apakah skill dan latihan itu masih relevan dalam dunia DJ modern?

Memang lebih mudah. Ada nama-nama yang mengandalkan packaging. Misalkan Nikita Mirzani, atau DJ Butterfly. Uhm... ya memang sekarang apa yang dihadirkan itu kan packaging. Tapi sebenarnya dari dulu kami berpikir memang bukan cuma musik, tapi packaging. Termasuk nama, termasuk bagaimana exsposure-nya kita. Aku walaupun bergerak dari underground, semua independen, label sendiri, mendatangi semua toko kaset sendiri, cetak CD sendiri, tapi packaging tetap kami pikirin. Personal branding itu harus ada dari dulu.

Kalau berbicara teknik bermain, ini agak panjang. Ada dua perbedaan. Misalkan pertama DJ scratch. Yang di hip-hop itu. Mereka murni mengandalkan skill, mengatur ketukan, teknis banget. Tapi kalau kita bawa dia ke klub, bubar. Itu beneran buat pertunjukan skill aja. Itu tidak pernah bisa dibawa ke klub dan jadi komersial.

Kalau yang seperti aku ini art of mixing. Mixing-nya panjang. Kalau lagi rapat, emosinya naik, penonton bersemangat. Kalau renggang, ritmenya jadi pelan dan bisa minum dulu. Jadi bagaimana mengatur itu, art of mixing-nya. Namun karena kemajuan teknologi semua bisa di sync. Setelah itu, kalau buat aku, bikin bisa main lebih bebas dan pilih elemen mana yang akan dimainkan.

Kalau dahulu, Anda bisa main tiga turntable itu seperti Anda punya bakat dari lahir. Ibaratnya, dewa. Ada DJ yang bisa melakukan itu, dan itu latihannya enggak berhenti. Kalau sekarang, tinggal pencet. Jadi kita bisa mengeksplorasi sesuatu yang dulu tidak bisa kita kerjakan.

Cuma ya itu (tertawa): sekarang mudah sekali jadi DJ. Tinggal pencet sync, udah jadi. Itu kalau cuma mau main biasa, ya. Nah, mereka semua yang kayak gitu (main biasa) memperkuat di packaging. Jadi akhirnya kayak agensi model. Banyak-banyakan foto. Cantik, punya foto bagus, tampil di majalah pria dewasa, udah bisa dijual jadi DJ. Main keliling se-Indonesia. Main nomor dua. Istilahnya bisa belajar sambil jalan. Terus bicara song selection. Itu bisa dibuatkan oleh manajemen. Jadi DJ seperti itu, ya, cukup packaging aja.

Sebagai seorang DJ veteran dengan masa latihan panjang, bagaimana pendapatmu soal DJ seperti itu? Apakah Anda kecewa?

Enggak, biasa aja (tertawa). Kita riding the wave saja. Dengan pengertian bahwa aku jadi produser banyak DJ yang memang ingin belajar. Kita bikin packaging yang lebih luas, jauh lebih bagus. Itu yang kita lakukan.

Misalnya, DJ di tempat kami tetap harus tahu bagaimana mengoperasikan piringan hitam. Karena kami punya sekolah DJ. Jadi misalkan DJ baru mau belajar, kami akan suruh belajar pegang piringan hitam seminggu. Nanti dia akan jadi DJ yang berubah beda banget. Semudah itu sebenarnya. Maksudnya, skill itu bisa diperbaiki. Sekarang kami juga pegang satu artis yang sedang kami perbaiki. Dia dulu nyanyi. Terus kami buatkan lagu, karena kami juga punya label. Anda tetap harus menggoreskan nama di musik, biar diingat, karena kekuatan kami ada di production.

Akhirnya memang adu paket. Tapi kami punya kelebihan: di musiknya. Kalau foto, semua juga bisa foto. Kalau cantik, semua bisa adu cantik kalau cewek. Kalau laki-laki memang lebih susah. Mereka harus mati-matian di musiknya.

Aku sekarang punya beberapa produser yang dipilih karena dia outstanding. Ada yang pianonya khatam banget. Dasarnya memang semua musisi yang muda tapi DJ-nya juga sudah khatam. Mereka sedang dipersiapkan untuk membuat, paling tidak satu hits saja. Packaging lupakan. Kami sekarang kayak inkubator musik. Terus buat lagu, terus rilis lagi. Cuma butuh satu lagu saja yang hits, semua akan terangkat.

Jadi aku sekarang dalam progres membuat 15 lagu bulan ini, tapi yang akan diambil cuma satu. Bulan depan juga begitu. Aku juga melakukan producer session. Seluruh demo kita undang, terus demo itu kita bikin live stream, dan kita kasih komen yang membangun. Supaya menggiatkan produser ini untuk mempunyai interest yang lebih besar. Juga supaya crowd belajar kalau it's not about packacing only, tapi juga soal musik. DJ Indonesia ini punya talenta bikin musik tapi kenapa, kok, jarang dilirik musiknya.

Apakah ini berarti kerja panjang?

Panjang sekali (tertawa keras). Hasilnya nanti, deh, belakangan. Kita sudah biasa long run.

Dari skala 1 amat mudah hingga 10 amat sulit, berapa angka kesukaran sekolah DJ ini?

Yang diajarkan? Hingga selesai, ada di angka 6. Setelah itu jam terbang. 10 gigs pertama pasti ancur. Karena dia masih belum biasa di depan. Setelah 10 gigs, music selection-nya yang berbicara. Bagaimana dia membaca penonton, bagaimana bisa mixing yang bagus. Kalau aku ngomong bisa panjang nih. Hahaha....

Di luar negeri lebih ribet lagi. Sebelum DJ main, dia sudah harus mendaftar lagu apa saja yang akan dimainkan, untuk mengurus hak cipta. Enggak bisa kayak dulu yang bisa seenaknya ganti lagu. Sekarang semua sudah harus tertata.

Berapa lama waktu yang diperlukan untuk seseorang bisa jadi DJ?

Dua bulan kalau rajin. Kalau punya dasar musik, dasar ketukan, lebih baik. Kalau tidak punya, agak slow. Kalau yang punya dasar musik, kami menyarankan maju ke level berikutnya, kelas Electronic Music Producer. Kami punya kelas itu.

Ada berapa kelas di sini?

Ada dua, basic dan kelas Electronic Music Producer. Cuma kalau mau, ada yang sampai master class-nya. Ada dua kelas lanjutan. Yaitu Digital DJ, satunya lagi Master Class yang aku pegang sendiri.

Menurut Anda, apa yang membuat seorang DJ bisa dibilang bagus? Apa yang dibutuhkanDJ di era sekarang?

Musik yang buat dia sendiri (tersenyum). His own production. Komunikasinya memang harus itu. Kalau mengandalkan packacing, dia pasti tenggelam kalau ada yang packaging-nya lebih bagus. Kalau stage act, mungkin bisa lebih tahan lama. Kalau bagus, show-nya bagus, gimmick-nya banyak, bisa dipertahankan. Sekarang, sih, masih seperti itu. Tapi nanti di masa depan, saat DJ sudah terbiasa buat musik sendiri, yang hanya mengandalkan stage act juga bisa tenggelam.

Di Indonesia, sudah banyak DJ yang buat musik sendiri?

Wah, setiap minggu itu kami terima 20 demo. Setiap minggu itu. Makin banyak (tertawa).

Kami ada satu lagi, Backroom. Kami sudah 650 episode. Itu DJ main selama 1 jam di depan kamera. Diunggah di Riri.tv. Nah itu berarti banyak banget. Sudah tiga tahun lebih, sih. Sekarang ada apps-nya juga. Jadi bisa live streaming di aplikasi.

Bagaimana prospek masa depan musik elektronik di Indonesia?

Seperti yang aku bilang tadi, konsep dasar DJ itu memang istilahnya paket murah, dibandingkan dengan band yang harus mendatangkan paling enggak lima orang, loh, ya. Kalau DJ cuma satu orang. Ini paket murahnya. Mendatangkan satu orang, tapi efeknya lumayan. Memang tidak sebesar Slank, tapi ya lumayan.

Untuk tempat-tempat bermain ukuran medium, industri ini sudah terikat satu sama lain. Secara umum aku menyebut DJ ini masuk ke lingkaran mereka. Jadi setiap 3 bulan mereka mengundang lagi, mengundang lagi. Itu sudah berlangsung selama 15 tahun lebih.

Di Spinach, berapa kali seorang DJ bermain dalam sebulan?

Setiap akhir pekan, Jumat-Sabtu. Delapan kali.

Berapa honor DJ untuk sekali tampil?

Kisarannya berapa, ya? Kalau entry level paling Rp1 juta sekali main. Kalau di band, paling enggak harus Rp5 juta. Tahun 2001 kami mulai live PA. Ini penggabungan DJ dan band. Aku dan Thomas saat itu, juga sama Alex Abbad. Tere juga tuh (tertawa).

Tere itu sudah jadi aktivis sekarang?

(Tertawa). Iya. Zaman itu dia masih bawakan lagu Lamb, Portishead. Seru banget itu. Aku masih main sequencer, manual semua. Seru banget, bawa alat segambreng. Minta mixer 24 (tertawa). Good old days.

Apakah DJ bisa dijadikan pegangan hidup?

Bisa sih. Banyak yang bisa survive di sana. Terutama kalau sudah punya nama besar.

Untung orang awam, apa musik yang Anda rekomendasikan untuk didengar?

Coba masuk ke beatport.com. Ini situs mp3 yang memang jadi acuannya produser musik elektronik. Top 100-nya kayak jadi kiblat produser musik elektronik dunia. Daftar itu bisa mengatur arah musik elektronik di dunia (terkekeh)

Baca juga artikel terkait MUSIK ELEKTRONIK atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Suhendra