Menuju konten utama

Banyak Dikritik, Pemerintah Tekankan Rapid Test Tetap Diperlukan

Pemerintah menekankan rapid test tetap perlu sebagai bentuk "tanggung jawab moral."

Banyak Dikritik, Pemerintah Tekankan Rapid Test Tetap Diperlukan
Anggota Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Reisa Broto Asmoro berpose di Gedung Graha BNPB, Jakarta, Minggu (14/6/2020). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/aww.

tirto.id - Juru Bicata Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Reisa Broto Asmoro merespons kritik publik dan para ahli yang menilai tes cepat (rapid test) ditiadakan saja, terutama sebagai salah satu syarat perjalanan, karena tidak efektif, tidak akurat, dan hanya buang-buang uang.

"Rapid test masih diperlukan," kata Reisa dalam konferensi pers harian, Sabtu (18/7/2020) sore. "Sebagian dari kita bisa tidak menunjukkan [gejala] sakit. Tanggung jawab moral kita tidak menulari orang lain, terutama kelompok rentan. Bentuknya rutin memeriksakan diri, salah satunya rapid test."

Reisa juga mengatakan bahwa rapid test masih diperlukan untuk melacak penyebaran COVID-19 di populasi daerah tertentu. Ia lantas mengatakan saat ini Indonesia sudah bisa membuat alat rapid test sendiri "dengan tingkat akurasi tinggi." "[Pengetesan] ini bisa lebih banyak dan lebih luas," katanya.

Ahli kesehatan yang menganjurkan sebaiknya hasil rapid test sebagai syarat perjalanan dihilangkan saja--dan diganti tes usap atau PCR--umumnya beralasan tes ini hasilnya tidak akurat; kemungkinan terjadi hasil negatif maupun positif palsu tinggi. Beda dengan tes usap yang pakai cairan di tenggorokan, rapid test memanfaatkan darah untuk mengecek apakah sudah terbentuk antibodi atau belum.

Salah satu yang menganjurkan itu adalah Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKLIn). Sebagai gantinya, PDS PatKLIn menyarankan pelaku perjalanan melakukan pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) PCR dengan sampel swab atau saliva (ludah) di stasiun atau bandara sesaat sebelum berangkat.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono juga berpendapat sama. "Memang tidak perlu ada [rapid test] dan sekalipun gratis juga tidak perlu," kata Pandu kepada reporter Tirto, Senin 13 Juli lalu. Pernyataan ini ia sampaikan setelah pemerintah menetapkan harga tertinggi rapid test Rp150 ribu.

Menurutnya kebijakan ini hanya mempertegas jika rapid test pada akhirnya hanya jadi ladang bisnis, entah itu rumah sakit atau maskapai penerbangan.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino