Menuju konten utama

Bantuan Menyusut, Palestina Terancam Bangkrut

Ekonomi Palestina tergantung pada negara lain. Kini bantuan luar negeri semakin menyusut, bahkan Saudi menghentikan bantuan. Ditambah korupsi yang merajalela, Palestina bisa bangkrut.

Bantuan Menyusut, Palestina Terancam Bangkrut
Seorang guru mengajar siswa Palestina di luar ruangan dekat permukiman Yahudi Maale Adumim (terlihat di latar belakang), di desa Tepi Barat Al-Eizariya, Yerusalem 1 Maret 2016. [Foto/Reuters/Ammar Awad

tirto.id - Sebagai sebuah negara, Palestina bukanlah negara mandiri. Ekonomi Palestina tergantung penuh pada negara lain. Pendudukan dan blokade Israel membuat masyarakat di sana tak bebas bergerak leluasa. Tembok-tembok tinggi menjulang dan pos pemeriksaan militer Israel yang bertebaran di mana-mana jadi sebab ekonomi Palestina tidak akan pernah berkembang.

Data Bank Dunia 2013 memprediksi pembatasan Israel di Tepi Barat membuat ekonomi Palestina merugi hingga $3.4 miliar per tahun atau 45 persen dari PDB Palestina yang berkisar $6,2 miliar.

Pengangguran di Tepi Barat dan Jalur Gaza tinggi, di mana hampir 1 dari 4 orang dewasa adalah tunadaksa. Laporan terbaru dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), 87 ribu warga Palestina berusia di atas 15 tahun bekerja di pemukiman Israel. Angka ini sama dengan 10 persen pekerja di Palestina.

Bergantungnya Palestina terhadap kebijakan-kebijakan Israel memang tak terelakkan. Pada 2014, misalnya, Israel mempersulit pendapatan cukai yang dikumpulkan Palestina yang berjumlah $6,5 miliar. Hal ini menyebabkan krisis keuangan yang parah dan tunggakan gaji pegawai negeri yang berjumlah 156 ribu orang.

Selain pada Israel, Palestina pun bergantung penuh pada diaspora penduduk mereka yang bekerja dan tinggal di luar negeri. Diperkirakan satu juta orang Palestina telah bermigrasi sejak tahun 1948. IMF menyebut Palestina adalah negara yang ekonominya paling tergantung remitansi. Data terakhir dari IMF tahun 2010 menunjukkan $431 juta dolar telah ditransfer ke Palestina oleh mereka yang bekerja di luar negeri.

Jika untuk berdikari pun susah lalu bagaimana Palestina bisa bertahan hingga kini? Jawabanya adalah bantuan asing.

Sejak perjanjian Oslo 1993 disepakati antara Israel dan Palestina,dibentuklah pemerintah otoritas Palestina pada 1994. Agar eksistensi negara bisa berlangsung maka sejak didirikan, pemerintah Palestina bertumpu pada donor asing. Sejak 1994, total $180 miliar dolar bantuan asing telah mereka terima.

Bantuan ini amatlah akut karena jadi arus kas utama di APBN. Pada 2008, bahkan hampir 41 persen atau $1,8 miliar dolar APBN Palestina yang berjumlah $4,3 miliar berasal dari bantuan asing. The Guardian menyebut 4 dari 5 warga Gaza amat bergantung kebaikan donatur asing. Jika dirata-ratakan, bantuan yang didapat tiap penduduk Palestina baik di Tepi Barat ataupun Jalur Gaza adalah $176.

Lalu saat bantuan itu menyusut, kesusahan pun melanda. Samir Abu Mudallala, seorang profesor ekonomi di Universitas Al-Azhar di Jalur Gaza kepada Al Monitor mengatakan setelah 2011, bantuan luar negeri mulai menurun drastis. Efek penurunan ini langsung terasa langsung terasa di 2012, ketika anggaran Palestina defisit hingga $800 juta. Pada 2013, di Tepi Barat bahkan terjadi penurunan PDB yang terburuk sepanjang satu dekade terakhir.

Kesialan ini berlanjut hingga sekarang. Kepada Al Jazeera pada Februari lalu, Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah mengakui bahwa pada APBN 2015, pemerintah otoritas Palestina hanya menerima separuh dari yang dijanjikan negara-negara donor. Kondisi ini memotong lebih dari 37 persen APBN dari apa yang sebelumnya direncanakan.

Menteri Keuangan Palestina Shukri Bishara mengatakan jumlah bantuan asing pada 2015 berkisar $800 juta. Angka ini tentu turun jika dibandingkan dengan 2013 dan 2014 yang bisa mencapai $1 miliar.

Ini terjadi karena beberapa negara memotong anggaran bantuan untuk Palestina. Amerika Serikat yang biasa memberi $400 juta, tahun lalu sama sekali tak menyumbang. Begitupun juga negara-negara Arab (non-Saudi) yang semula menjanjikan $500 juta per tahun, tahun lalu hanya memberi $150 juta. Hal serupa dilakukan Uni Eropa. Tawaran permintaan bantuan $500 juta hanya disetujui separuhnya saja.

Jika kita membedah APBN 2016 Palestina, tahun ini penerimaan diproyeksikan mencapai $4,25 miliar. Mereka berharap proyeksi bantuan luar negeri 2016 mencapai $995 juta.

Ambisi ini menurut Mahmoud Abu al-Rab, dekan fakultas ekonomi dan ilmu administrasi di An-Najah University di Nablus terlalu utopis. Dia menjelaskan penurunan hibah ke Palestina menciptakan kesenjangan yang besar antara pendapatan dan pengeluaran. Defisit anggaran bisa mencapai $600 juta per bulan.

“Penurunan hibah luar negeri menyebabkan keterlambatan pencairan gaji pegawai pemerintah, dan pengembangan wilayah Palestina yang terhambat. Eksesnya terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi domestik dan menambah beban lain seperti pengangguran, kemiskinan, penurunan pendapatan dan proses produksi."

Nasr Abdul Kareem, seorang profesor ekonomi di Universitas Birzeit di Tepi Barat mengatakan krisis keuangan yang dialami oleh pemerintah otoritas Palestina ini bukanlah hal baru.

“Penurunan ini terkait dengan konfrontasi antara Palestina dan Israel yang tidak menemui titik terang. Hingga menyebabkan krisis likuiditas keuangan menyesakkan bagi Otoritas Palestina. Perlu dicatat bahwa Uni Eropa adalah donatur Palestina selama bertahun-tahun. Bantuan mereka mencapai 45 persen dibanding yang lain,” katanya kepada Al-Monitor.

Bantuan-bantuan itu bukan tak bersyarat. Ia diberikan untuk mempertahankan kelangsungan proses perdamaian antara Palestina dan Israel. “Uni Eropa dapat menghentikan bantuan kepada Palestina saat situasi politik memburuk dan kurangnya negosiasi antara Israel dan Palestina mereka. Uni Eropa tidak akan mencairkan uang gratis tanpa adanya proses perdamaian serta stabilitas politik dan keamanan,” kata Nasr.

Dibandingkan dengan negara-negara lain Arab Saudi adalah negara pendonor yang paling berkomitmen. Tahun lalu, mereka memberikan bantuan sebesar $241.600.000, diikuti oleh Aljazair sebesar $52.800.000.

Tapi kabar mengejutkan datang awal bulan lalu. Direktur Anggaran di Kementerian Keuangan Palestina, Farid Ghannam, menuturkan bahwa Saudi sudah tak lagi membantu Palestina sejak April lalu. Padahal sebelumnya, tiap bulannya, Riyadh menyetor dana $20 juta bagi Palestina. Faktor harga minyak yang semakin turun dan keterlibatan Saudi dalam perang saudara di Yaman-lah yang menjadi penyebab.

Spekulasi lainnya mengatakan keenganan Saudi ini disebabkan kegagalan Presiden Mahmoud Abbas berdamai dengan Hamas plus ditolaknya saran Saudi untuk kembali memasukan Mohammed Dahlan kedalam jajaran petinggi Fatah. Dahlan adalah orang yang dekat dengan Saudi, dia sempat dipecat dari Fatah pada Mei 2011.

Intrik politik ini diakui Jamal Nassar, ketua panitia anggaran di Dewan Legislatif Palestina (PLC), “Ini murni karena politik,” tegasnya. Otoritas Palestina menolak intervensi negara Arab terhadap mereka.

infografik saudi arabia

Tapi jika menilik besarnya gelontoran dana dari Saudi ke Palestina, amat wajar jika mereka ingin Fatah kembali merekrut Mohammed Dahlan. Bagi Riyadh, Dahlan adalah sosok ideal untuk bisa mengontrol kemana bantuan asing itu lari. Korupsi adalah masalah akut di Palestina, dan 42 persen kasus korupsi terbanyak ada di Kementerian Keuangan yang mengelola dana luar negeri itu.

Penelitian Abdel Sattar Qassem, seorang profesor ilmu politik di An-Najah University di Nablus membuktikan korupsi administrasi dan keuangan merajalela telah merajalela di Palestina.

“Pemerintah otoritas Palestina memiliki kebijakan fiskal yang korup, mereka terus mengucurkan gaji terhadap 62.000 pegawai negeri yang sebenarnya telah berhenti setelah pengambilalihan Gaza oleh Hamas pada 2007. Para karyawan ini tidak memberikan layanan apapun untuk rakyat Palestina dan tidak memberikan kontribusi apapun terhadap proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.”

Terkait dengan wacana penghematan anggaran, Qassem menilai kenyataan di lapangan malah sebaliknya.”Mereka terus menyimpang dari skema penghematan dan malah meningkatkan pengeluaran dan utang. Total utang mereka sekarang $245 juta padahal sebelumnya hanya $153 juta dolar," katanya.

Palestina, kata Qassem, tidak memiliki rencana untuk mengatasi krisis karena mereka tidak memiliki strategi bagaimana caranya menciptakan kemandirian ekonomi, entah itu peningkatan produksi dalam negeri atau pengurangan impor.

Jika kondisi tak berubah, bantuan luar negeri yang semakin menyusut ditambah dengan budaya korup cepat atau lambat akan membawa Palestina menuju ke arah kebangkrutan.

Baca juga artikel terkait EKONOMI PALESTINA atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Maulida Sri Handayani