Menuju konten utama

Banksy Effect dan Kekuatan Seni Jalanan di Indonesia

Mural bermuatan protes bukan vandalisme. Merepresi seniman dan karyanya tidak akan efektif membungkap protes.

Banksy Effect dan Kekuatan Seni Jalanan di Indonesia
Warga melintas di depan sebuah mural di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Rabu (25/8/2021). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/hp.

tirto.id - Tiga tahun lalu, tepatnya pada Oktober 2018, sebuah karya Banksy—seniman jalanan legendaris asal Bristol—terjual di balai lelang Sotheby’s seharga 1 juta poundsterling atau sekitar Rp19 miliar.

Setelah ketokan palu, karya lukisan bertajuk Girl with Balloon itu tiba-tiba merosot dan setengah bagiannya terpotong-potong. Rupanya, ada mesin penghancur kertas yang tersembunyi dalam bingkai lukisan itu.

Kejadian itu jelas mengagetkan banyak orang dan segera saja menjadi viral di media sosial. Banksy yang sampai saat ini masih tidak diketahui identitas aslinya oleh publik lantas mengeluarkan pernyataan bahwa sebenarnya dia mengharapkan lukisan itu hancur sepenuhnya setelah dibeli. Dia juga menyebut balai lelang Sotheby’s sama sekali tidak ikut campur dalam penghancuran lukisan tersebut.

Beberapa pihak kemudian berspekulasi bahwa Banksy sedang mempermainkan sisi gelap dari apa yang disebut efek Banksy. Istilah itu tentu saja bukan ciptaan Banksy sendiri, melainkan bikinan koresponden CNN Max Foster. Pertama kali dimunculkan pada 2006, efek Banksy digunakan untuk merujuk pengaruh Banksy dan karya-karyanya terhadap dinamika sosial, politik, dan ekonomi.

Karya Banksy disebut berdampak positif karena ia mampu mengangkat karya seni dan seniman jalanan ke aras tinggi—masuk museum atau jadi buruan kolektor kakap.

Efek positif itu ternyata juga terasa di Indonesia. Seniman mural Darbotz, misalnya, sampai bisa dilirik banyak brand lokal dan internasional, seperti DC Shoes, Oppo, Artotel, dan G-Shock. Seniman yang juga memilih anonim seperti Banksy itu terkenal berkat mural-mural monster Cumi Kong yang bertebaran di beberapa sudut Jakarta.

Karyanya juga sudah pernah dipamerkan di Hongkong, Australia, atau Perancis serta menjadi bagian dari koleksi Mizuma Gallery, Singapura.

Selain Darbotz, masih ada pula Bujang Urban, Stereoflow, dan Anagard yang dikenal sebagai seniman jalanan paling populer di Indonesia. Mereka sama-sama menerima kolaborasi brand dan berpameran di galeri sambil tetap mengembangkan karya khas bermuatan kritik sosio-politik.

Meski begitu, efek Banksy juga bisa menjurus negatif karena karena karya-karya seniman jalanan yang semula merupakan “seni dari rakyat untuk rakyat” justru dieksploitasi untuk kepentingan golongan berkuasa.

Banksy mengalaminya sendiri kala galeri-galeri seni mengambil karyanya dan kemudian menjualnya ke kolektor tanpa izin. Yang terbaru, Girl with Balloon yang separuh rusak kembali dilelang pada awal September lalu. Ia diprediksi akan laku hingga 4-6 juta poundsterling—setara 78-118 miliar. Sesuai norma pasar seni sekunder, keuntungan penjualannya bakal dinikmati oleh kolektor yang membelinya tiga tahun lalu dan bukan oleh Banksy.

Dua kasus itu ironis karena karya seni jalanan yang tadinya bisa dinikmati publik justru dibuat jadi eksklusif setelah masuk ke museum dan galeri.

Di Indonesia, efek negatif itu berlaku lain, yakni kriminalisasi atas seniman mural dan karyanya. Contohnya adalah mural Jokowi 404: Not Found di Tangerang yang sempat bikin geger beberapa waktu lalu. Setelah viral di media sosial, aparat langsung bergerak menghapus mural itu dan bahkan dikabarkan memburu pembuatnya.

Menurut Kasubag Humas Polres Metro Kota Tangerang Kompol Abdul Rochim, mural itu adalah bentuk pelecehan terhadap presiden yang dianggapnya sebagai lambang negara.

"Kami ini sebagai aparat negara ngelihat sosok Presiden dibikin kayak begitu, itu kan pimpinan negara, lambang negara. Kalau untuk media kan beda lagi penampakan, pengertian penafsiran. Kalau kami, itu kan pimpinan, panglima tertinggi TNI-Polri," tuturnya sebagaimana dikutip CNN Indonesia.

Kritik Tak Bisa Dibungkam

Kini, seperti diberitakan situs Detik, perkara mural Jokowi 404: Not Found itu sudah berakhir. Kapolres Metro Kota Tangerang tidak menemukan unsur pidana dalam mural tersebut. Kabareskrim Komjen Agus Andrianto bahkan turut menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo sendiri tidak berkenan jika polisi terlalu reaktif dalam menindak kritik yang dilayangkan melalui kesenian seperti mural.

Komjen Agus Andrianto menambahkan dirinya juga diwanti-wanti oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar berhati-hati dalam menggunakan UU ITE yang sempat akan digunakan untuk menjerat seniman pembuat mural.

Menurut Anagard—seniman mural asal Yogyakarta, penghapusan mural maupun grafiti oleh aparat sebenarnya adalah hal biasa. Itu adalah risiko biasa yang dihadapi seniman mural sejak dulu.

"Yang tidak biasa itu ketika aparat terlalu bersikap reaktif dengan langsung menghapus hingga mencari pembuatnya," tutur Anagard kepada CNN Indonesia.

Anagard menilai cara-cara represif seperti itu tidak akan membuat seniman kapok. Semakin reaktif aparat bersikap, semakin banyak pula mural-mural protes bakal bermunculan.

"Karena kami sayang pemerintah dan kami menolak pengontrolan suara kritis, makanya kami tegur penguasa dengan berkarya," pungkasnya.

Benar belaka pendapat Anagard itu. Usai kasus mural “Jokowi 404: Not Found” itu viral, mural-mural kritik baru bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. Sikap aparat pun nyatanya tidak berubah karena penghapusan mural tetap terjadi pada akhir Agustus.

Sikap reaktif aparat itu pun kemudian memunculkan resistensi yang lebih sengit. Gerakan Gejayan Memanggil, misalnya, mengadakan lomba mural tingkat nasional pada akhir Agustus lalu. Mereka menyebut lombanya dengan nama Lomba Mural Dibungkam.

Seturut pemberitaan CNN Indonesia, karya mural yang sampai membuat aparat menghapusnya bakal dapat nilai lebih. Lomba itu pun mendapat respons yang besar dari para seniman mural. Pihak Gejayan Memanggil mengaku ratusan mural telah diikutsertakan per tanggal 1 September.

Lomba mural itu merupakan bukti sahih bahwa kritisisme tak bisa dibungkam.

infografik banksy

infografik banksy

Demonstrasi Kecil

Kucing-kucingan dengan aparat agaknya adalah tantangan pertama para seniman mural sejak lama. Seniman jalanan sebesar Banksy pun mengalaminya. Di awal kariernya, dia kerap menggunakan teknik stensil untuk berkarya dan menghindari aparat.

Banksy, dalam autobiografi Banksy: The Man Behind the Wall (2013) yang disusun jurnalis Will Ellsworth-Jones, berkisah dirinya sempat terpaksa bersembunyi di bawah kereta api untuk mengindari kejaran polisi. Peristiwa itu terjadi pada 1990-an, kala dia sedang melukis di badan sebuah gerbong kereta api.

“Ketika saya berbaring di atas rel kereta sambil mendengarkan langkah kaki polisi, saya menyadari bahwa saya harus memotong setengah waktu melukis saya atau menyerah sama sekali. Saat itulah saya menatap lurus ke atas, ke bagian bawah tangki bahan bakar kereta yang memiliki tulisan [nomor seri] dari stensil dan saya menyadari bahwa saya bisa meniru gaya itu dan mengubah ukurannya sehingga setiap huruf bisa setinggi tiga kaki,” kenang Banksy.

Kebanyakan karya Banksy bermuatan kritik politik. Dia pun mengakui hal itu sebagai pilihan sadarnya. Dalam autobigrafinya Banksy menjelaskan, “Semua grafiti adalah sebuah bentuk kecil demonstrasi, tapi karya stensil memiliki beban sejarah tambahan. Mereka telah digunakan untuk memulai revolusi dan menghentikan perang.”

Karya-karya Banksy menjadi sangat terkenal karena mudah melekat dalam imajinasi pengamatnya. Hal itu dicapainya dengan menghadirkan karakter-karakter yang aktivitasnya “menyimpang” dari ekspektasi umum.

Pada karya Girl Frisking Soldier, misalnya, dia menggambar seorang anak kecil sedang menggeledah seorang tentara. Kita bisa menafsirnya sebagai protes atas kesewenangan yang dilakukan tentara terhadap sipil. Ada pula The Flower Thrower yang menggambarkan seorang demonstran tengah melempar bunga, alih-alih bom molotov.

Karya-karya kritis dan penting semacam itulah yang mengantar Banksy meraih predikatnya kini. Dengan cara pandang yang sama, mural dan grafiti protes yang bertebaran di Indonesia belakangan ini pun memiliki potensi yang sama dengan karya Banksy.

Menurut Dosen Komunikasi Visual Universitas Padjadjaran Teddy Kurnia, mural-mural protes itu tidak pantas disebut vandalisme. Pasalnya, mural itu punya tujuan jelas untuk menyampaikan opini, bukan sekadar “corat-coret” belaka.

"Ungkapan di dinding jalan itu memang ada dua, ada seni dan ada vandalisme, kalau vandalisme itu tujuannya tidak jelas, tapi kalau seniman jalanan punya tujuan tertentu entah kritik sosial atau meningkatkan image dia di portofolio," kata Teddy sebagaimana dikutip Detik.

Baca juga artikel terkait BANKSY atau tulisan lainnya dari Pia Diamandis

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Pia Diamandis
Penulis: Pia Diamandis
Editor: Fadrik Aziz Firdausi