Menuju konten utama

Bank Konvensional Perlu Awas; Grab Berencana Bikin Bank Online

Otoritas keuangan di Singapura sedang menggodok format “digital-only banks with non-bank parentage.”

Menyentuh layar ponsel pesan Pembayaran berhasil di latar belakang pusat perbelanjaan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Grab, rintisan ride-sharing asal Singapura, berencana meminta izin ke Monetary Authority of Singapore (MAS) untuk membuka bank online dan bersiap mempekerjakan konsultan untuk menggali ekspansi ke dunia perbankan ini.

Langkah Grab bisa terjadi lantaran, seperti dilaporkan Reuters, MAS tengah menggodok kemungkinan negeri di Semenanjung Malaysia itu membuka format “digital-only banks with non-bank parentage.” Rencananya, iya-tidaknya otoritas Singapura membuka bank digital akan ditentukan hanya dalam beberapa bulan ke depan.

Kerja Singapura itu nampaknya terpacu oleh apa yang terjadi di Hong Kong. Hong Kong Monetary Authority telah membuka format “digital-only banks with non-bank parentage” bagi masyarakat. Bahkan, pada Mei lalu, Alibaba dan Xiaomi memperoleh lisensi membuka bank online di sana.

Hong Feng, co-founder Xiaomi, menyatakan, “bank virtual yang kami ciptakan akan memampukan setiap orang kenyamanan bagaimana menggunakan fintech yang sesungguhnya.”

Di kawasan Asia sendiri, Cina menjadi yang terdepan. Pada 2015, Ant Financial Service Group, konglomerasi keuangan milik Alibaba—yang juga pemilik dompet digital Alipay—merilis MYbank, bank online.

“ [MYbank didirikan] untuk menjawab kebutuhan masyarakat Cina yang memiliki akses terbatas pada layanan finansial,” kata Presiden Ant Financial, Eric Jing. “ [Bank ini] akan memberikan pinjaman yang nyaman bagi usaha kecil-menengah dan akan menyajikan fasilitas perbankan bagi masyarakat kecil, bukan pihak-pihak kaya raya.”

Dompet Digital Saja Tak Cukup

Di akhir dekade 1990-an, Amerika Serikat melahirkan Confinity dan X.com. Confinity merupakan startup sistem keamanan bagi perangkap genggam. Sementara itu, X.com—yang diciptakan Elon Musk—ialah startup keuangan online.

Kedua usaha rintisan itu barangkali terdengar asing bagi banyak orang. Namun, aksi korporasi yang keduanya lakukan pada Maret 2000 mengubah segalanya. Kala itu, Confinity dan X.com sepakat hidup bersama, bersalin rupa menjadi PayPal, perusahaan yang menyajikan layanan transfer uang secara online.

Didukung dengan menanjaknya eBay, marketplace dan lelang online, PayPal melejit. Masyarakat jadi terbiasa dengan transaksi digital.

Namun, bukan Amerika Serikat—atau negara barat lainnya— yang menjadi rumah PayPal atau yang melejitkan sistem transaksi digital. Dompet digital dan uang elektronik, dua varian sistem transaksi digital, justru berkembang di Asia, khususnya Cina. WeChat Pay dan Alipay lahir di Cina dan merevolusi bagaimana masyarakat bertransaksi keuangan.

Alasan utamanya sederhana. Cina, pada dekade 2010an merupakan gudang bagi 10 persen dari 2,5 miliar penduduk yang tak tersentuh institusi perbankan konvensional di dunia. Di Cina, pada 2016, Alipay, WeChat Pay, dan pemain dompet digital lainnya memproses transaksi uang senilai $5,5 triliun.

Selain sukses menyajikan layanan keuangan bagi masyarakat “tak tersentuh bank,” dompet digital seperti Alipay dan WeChat Pay (atau Go-Pay dan OVO di Indonesia) menjadi sistem transaksi yang efisien. Sebagaimana dilaporkan Bloomberg dalam “U.S. Banks Are Terrified of Chinese Payment Apps,” sistem transaksi keuangan konvensional, melalui kartu kredit/debit, mematok ongkos yang cukup tinggi. Transaksi senilai $100, misalnya, hanya memberikan $97,25 bagi merchant. Lainnya, masuk ke bank penerbit, bank penerima, perusahaan pemroses pembayaran, dan pada jaringan kartu, seperti VISA dan Mastercard.

Dompet digital tak mematok biaya transaksi. Mereka hanya mematok biaya tarik atau isi (withdraw) semata.

Tumbuhnya dompet digital mengusik ketenteraman institusi keuangan konvensional. Di Cina, misalnya, Bank of China harus menerima kenyataan bahwa pendapatan mereka stagnan. Pada 2016 dan 2017, pendapatan salah satu bank terbesar di Cina itu hanya berada di angka 483 miliar Yuan. Pada 2018, nilainya cuma naik ke angka 504 miliar Yuan. Padahal, pada 2010-2011, pendapatan mereka dapat naik 52 miliar Yuan.

Sayangnya, meskipun merevolusi, dompet digital tetaplah “dompet.” Fungsi-fungsi bank konvensional tak dapat dilakukan dompet digital. Untuk mengisi saldo, misalnya, dompet digital mengandalkan skema top-up via bank konvensional, merchant, atau jalur lainnya. Di negara-negara barat, dompet digital seperti Google Pay bahkan hanya menjadi kepanjangan tangan kartu kredit.

Padahal, dompet digital punya sumber daya mumpuni, khususnya terkait dana yang dimiliki. Pada 2013, misalnya, Alipay memiliki dana terparkir dari para penggunanya senilai $243. Jika fungsi bank konvensional dimiliki, yakni menyalurkan dana kredit, tentu sangat menguntungkan.

Di titik itu, lahirlah bank online. Alipay dapat menyalurkan dana terparkir via MYbank. Grab, yang memiliki 930 ribu pengemudi serta melayani 2,5 juta perjalanan saban harinya, nampaknya ingin memiliki kekuatan itu. Ia ingin menjadi super-app sesungguhnya.

Menebak Langkah Grab

Bersaing dengan Go-Jek sembari memperluas kekuasaan di Asia Tenggara membutuhkan biaya besar. Di Asia Pasifik, termasuk Asia Tenggara, ongkos sebesar $1,6 perlu dikeluarkan untuk menarik minat satu orang meng-install aplikasi. Lantas, untuk membuat satu orang itu mau mengeluarkan uangnya untuk mengkonsumsi berbagai layanan yang ditawarkan, perusahaan harus mengeluarkan ongkos sebesar $21,3.

Menarik 650 juta penduduk Asia Tenggara untuk menggunakan Grab tentu tak murah. Karena Grab merupakan perusahaan privat, sukar menebak berapa sesungguhnya pendapatan Grab. Namun, kita dapat menilik laporan The Straits Times yang menyebut Grab menargetkan memperoleh pendapatan dua kali lipat menjadi $2 miliar pada 2019. Artinya, pada 2018, pendapatan Grab berada di angka $1 miliar.

Jika benar, pendapatan Grab itu cukup besar. Namun, perlu diingat bahwa ini belum tentu menguntungkan. Lihatlah Go-Jek sebagai contoh. Pada Agustus 2018, Pemimpin Eksekutif Go-Jek Nadiem Makarim menyebut bahwa segala lini jasa Go-Jek sangat dekat dengan keuntungan, kecuali lini transportasi yang ditopang Go-Ride (motor) dan Go-Car (mobil). Grab nampaknya punya nasib serupa.

Selain pendapatan, perolehan duit Grab diambil dari saku investor. Tercatat, hingga hari ini, Grab telah meraih uang senilai $8,8 miliar dari 25 kali dilakukannya sesi pendanaan. Namun, tentu saja, tindakan mencari dana dari investor tak bisa dilakukan terus-menerus. Grab perlu benar-benar memperoleh untung. Jalannya, salah satunya, adalah dengan menciptakan bank online.

Infografik Transaksi keuangan tradisional vs digital

Infografik Transaksi keuangan tradisional vs digital. tirto.id/Quita

Jauh sebelum kabar minta izin otoritas Singapura untuk menciptakan bank online terdengar, Grab memiliki dompet digital bernama Grabpay. Grabpay dirilis pada November 2016 untuk pasar Singapura dan Indonesia. Kala itu, Hooi Ling Tan, co-founder Grab mengungkapkan bahwa peluncuran Grabpay “sangat krusial bagi pencapaian misi Grab untuk mendorong kemajuan kawasan Asia Tenggara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempercepat transisi menuju masyarakat non-tunai.”

Sayangnya, Grabpay terganjal regulasi. Di Indonesia, Grabpay bahkan dibekukan dan kemudian digantikan oleh OVO.

Pembekuan Grabpay di Indonesia jelas merugikan Grab. Sebagai pasar terbesar Asia Tenggara Grab gagal mencengkeramnya, menjadikan “negeri ber-flower” ini dikuasai Go-Pay dan OVO. Untuk mengambil alih kendali perlu gebrakan baru, yakni bank online yang lebih menguntungkan karena seperti dibahas di atas, memiliki fitur serupa bank konvensional.

Grab, jika sukses mendirikan bank online, akan mampu menyalurkan kredit ke berbagai entitas. Keuntungan kredit dapat dipakai mengongkosi layanan Grab lainnya. Apalagi perlu diingat, dari jutaan penduduk Asia Tenggara, hanya 27 persennya saja yang memiliki akun bank.

Baca juga artikel terkait EKONOMI DIGITAL atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani