Menuju konten utama

Bank Dunia Proyeksi Ekonomi Cina Hanya Tumbuh 2,8 Persen di 2022

Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik mengatakan pertumbuhan sebagian besar kawasan di Asia Timur dan Pasifik sedang berkembang mengalami pemulihan 2022.

Bank Dunia Proyeksi Ekonomi Cina Hanya Tumbuh 2,8 Persen di 2022
Ilustrasi uang Cina. FOTO/iStockphoto

tirto.id -

Bank Dunia merilis laporan East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2022 pada Senin (26/9/2022) waktu setempat. Dalam laporannya, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik terus berkembang sampai akhir tahun.

Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Manuela V Ferro mengatakan, pertumbuhan sebagian besar kawasan di Asia Timur dan Pasifik sedang berkembang mengalami pemulihan 2022 dari berbagai dampak COVID-19. Sementara Cina telah kehilangan momentum akibat serangkaian tindakan terus-menerus dalam pengendalian virus.

"Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik yang sedang berkembang, kecuali Cina," kata Ferro dalam laporannya dikutip Selasa (27/9/2022).

Dia memproyeksikan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik bertumbuh 5,3 persen pada 2022 dari 2,6 persen pada 2021. Sedangkan Cina, yang sebelumnya memimpin proses pemulihan di kawasan ini, diproyeksikan bertumbuh sebesar 2,8 persen pada tahun ini dan akan terjadi penurunan tajam dari 8,1 persen pada 2021.

"Untuk kawasan secara keseluruhan, pertumbuhan diproyeksikan melambat menjadi 3,2 persen di tahun ini dari 7,2 persen pada tahun 2021, sebelum kembali mengalami peningkatan menjadi 4,6 persen pada tahun depan," ujarnya.

Lebih lanjut, dia menuturkan pertumbuhan di sebagian besar kawasan Asia Timur dan Pasifik telah disebabkan oleh pulihnya permintaan di dalam negeri yang terjadi karena diringankannya berbagai pembatasan terkait COVID, dan juga peningkatan ekspor. Cina, yang berkontribusi terhadap sekitar 86 persen keluaran (output) di kawasan ini, menerapkan kebijakan kesehatan masyarakat yang ditargetkan untuk mengendalikan penyebaran virus, menghambat kegiatan perekonomian.

Perlambatan ekonomi global mulai menurunkan permintaan ekspor komoditas serta barang-barang manufaktur yang berasal dari kawasan ini. Tingkat inflasi yang meningkat di luar negeri menyebabkan kenaikan suku bunga, yang kemudian mengakibatkan aliran modal keluar serta depresiasi nilai mata uang di beberapa negara Asia Timur dan Pasifik.
Lebih lanjut dia menjelaskan, perkembangan ini meningkatkan beban utang yang harus dibayar serta menyusutkan ruang fiskal, berakibat negatif pada negara-negara yang memasuki masa pandemi dengan beban utang yang tinggi.

Saat negara-negara di kawasan bermaksud melindungi rumah tangga dan perusahaan dari harga pangan dan energi yang lebih tinggi, kebijakan yang diluncurkan pada saat ini memberikan keringanan yang sangat dibutuhkan. Akan tetapi juga menambah distorsi yang sedang berlangsung terhadap kebijakan.
Sementara itu, pengendalian harga pangan serta subsidi energi menguntungkan bagi kelompok yang kaya dan menjadikan pembelanjaan pemerintah menjauhi sektor infrastruktur, kesehatan dan pendidikan. Pelonggaran ketentuan (regulatory forbearance) yang masih ada, yang bertujuan untuk memudahkan pinjaman selama pandemi, dapat memerangkap sumber daya pada perusahaan yang mengalami kegagalan dan mengalihkan modal dari sektor-sektor ataupun dari bisnis yang paling dinamis.

“Para pembuat kebijakan menghadapi pilihan yang berat, yaitu antara mengatasi inflasi dan mendukung pemulihan ekonomi,” kata Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo.

Ke depannya, kinerja perekonomian di seluruh kawasan ini dapat berkompromi dengan adanya perlambatan permintaan global, peningkatan utang, dan adanya ketergantungan terhadap upaya perbaikan ekonomi jangka pendek untuk menjadi perlindungan terhadap kenaikan harga pangan dan bahan bakar.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI CINA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin