Menuju konten utama

Banjir Kasus Pasal Karet UU ITE Sepanjang 2019

Korban UU ITE pada 2019 meluas: dosen, buruh, aktivis HAM, pejuang lingkugan; tak cuma menjerat lawan politik.

Banjir Kasus Pasal Karet UU ITE Sepanjang 2019
Baiq Nuril Maknun, terpidana kasus pasal karet UU ITE, memeluk anaknya di sela pembacaan pertimbangan amnesti untuk dirinya pada rapat paripurna DPR di Jakarta, Kamis (25/7/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama.

tirto.id - Pasal-pasal karet yang dinilai mengancam bagi kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (ITE) masih dan akan terus memakan korban.

Ini merupakan fenomena paradoks dalam kehidupan berdemokrasi yang dianut di Indonesia. Sebab, banyak suara-suara yang kritis atau berbeda dari narasi negara kerap dibungkam lewat pasal-pasal UU ITE.

UU ITE sudah memakan korban pada tahun pertama disahkan pada 2008. Setidaknya, Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), lembaga nirlaba yang berfokus pada kebebasan berekspresi, mencatat 271 laporan kasus UU ITE sejak 2008. Umumnya, para pelapor menggunakan pasal 27 ayat 1 (memuat konten melanggar kesusilaan), pasal 17 ayat 3 (pencemaran nama baik), pasal 28 ayat 2 (menyiarkan kebencian), dan pasal 29 (ancaman kekerasan).

Pelaporan kasus-kasus UU ITE terlihat meningkat sejak 2013, bahkan empat kali lipat dari tahun sebelumnya.

Lonjakan lain terlihat pada 2016 saat UU ITE itu direvisi tapi tak mengubah banyak pasal bermasalah itu. Pada tahun itu, ada 83 kasus ITE.

Awalnya, UU ITE dibuat demi upaya jaminan kepastian hukum terhadap informasi dan transaksi elektronik. UU ITE juga dihadirkan untuk mengatur internet (cyberlaw).

Namun, dalam penerapannya, pasal-pasal karet dalam UU ITE justru menjadi senjata untuk menjebak lawan politik.

Narasi di atas bukan isapan jempol belaka.

Aparat negara disinyalir menjadi pelaku kekerasan terkait hak berekspresi warga. Seperti yang pernah Tirto tulis sebelumnya, pelapor kasus UU ITE terbanyak, misalnya, justru dari kalangan pejabat negara: 35,92 persen.

Pelaporan pejabat negara kepada terlapor awam berbasis ujaran ekspresi dan kritik atas kinerja atau posisi pejabat tersebut. Namun, kasus cenderung diarahkan kepada materi bermuatan ujaran kebencian. Bukannya melindungi, pasal karet kerap dipakai sebagai alat membungkam masyarakat sendiri.

Korban UU ITE Selama 2019

Sepanjang 2019, upaya kriminalisasi lewat pasal-pasal karet UU ITE 2019 makin merajalela. Para pelapornya datang dari sesama warga negara atau pejabat ke warga negaranya.

Salah satu penggunaan pasal karet UU ITE demi membungkam kritik terjadi terhadap mantan dosen Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet. Ia diperkarakan karena melakukan orasi sembari bernyanyi mengkritik militer yang mulai masuk ke ranah sipil di depan Istana Negara.

Robet disangkakan telah menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Ia dianggap melakukan penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia.

Robet dianggap telah melanggar pasal 45 ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2009 tentang ITE dan atau/ Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.

Tak hanya Robet, korban lain UU ITE adalah jurnalis dan aktivis HAM Dandhy Laksono, yang ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya atas dugaan ujaran kebencian. Penetapan itu dilakukan setelah penyidik Polda Metro Jaya memeriksa Dandy pada Jumat dini hari, 27 September.

Dandhy dikenai pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 A ayat (2) UU 11/2009 tentang perubahan atas UU 8/2016 tentang ITE dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Dandhy dianggap menyebarkan "kebencian" lewat cuitan via akun Twitter dia tentang Papua pada 23 September. Menurut pengacaranya Alghiffari, pasal yang dituduhkan kepada Dandhy "tidak relevan".

"Apa yang dilakukan Bung Dandhy adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat apa yang terjadi di Papua," katanya saat itu sesaat setelah pemeriksaan di depan Gedung Reskrimum Polda Metro Jaya.

"Dan pasal yang dikenakan tidak berdasar menurut kami karena SARA-nya di mana? Tidak memenuhi unsur juga," lanjutnya.

'Panen' UU ITE Sepanjang 2019

Anton Muhajir dari SAFEnet berkata setidaknya ada sekitar 3.100 kasus terkait pasal-pasal dalam UU ITE sepanjang 2019.

"Kalau kami belum melakukan pendataan secara detail tahun ini. Yang kami punya itu kemarin itu ada data dari Kepolisian RI itu ada 3.100 sampai Oktober 2019. Hanya 2019. Itu yang dicatat. Artinya, dilaporkan," katanya kepada Tirto.

Menurut Anton, dari 3.100 kasus itu, 22 persennya adalah kasus hoaks dan 22 persen lain adalah masalah pencemaran nama baik. Dan angka ini meningkat dibandingkan tahun 2017 dan 2018.

"Artinya apa? Artinya, terjadi dengan pasal-pasal karet. Tetap saja pasal-pasal yang banyak digunakan adalah pasal karet dalam UU ITE. Undang-undang ini masih digunakan untuk menjerat kebebasan berekspresi, menjerat hak orang untuk bicara," katanya.

Anton menilai sepanjang 2019 ada pola lebih luas dan lebar bagi korban-korban pasal karet UU ITE. Di tahun-tahun sebelumnya lebih banyak menyasar ke jurnalis dan aktivis, tetapi tahun ini rentan menyasar ke akademisi dan dosen, ujar Anton.

"Kasus dosen di Aceh, Saiful Mahdi, justru hak atas kebebasan akademik tapi kemudian dijerat dengan UU ITE. Ini yang kayaknya hal baru. Dan tetap saja kelompok-kelompok kritis yang kena. Itu jadi highlight tahun ini oleh kami," katanya.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati membenarkan perkataan Anton perkara meluasnya kategori korban.

Selain kasus Saiful Mahdi, yang mendapat bantuan hukum oleh LBH Banda Aceh, Asfin menilai UU ITE mulai menyasar ke kelompok-kelompok rakyat kecil.

"Ada perluasan penggunaan UU ITE menjerat buruh, aktivis HAM, pejuang lingkungan dan agraria. Tidak hanya soal politik dan oposisi," katanya.

Asfin mendesak DPR untuk segera merevisi UU ITE terutama menghapus pasal-pasal bermasalah dan tidak jelas, contohnya pasal 28 ayat 2 dan pasal 27 ayat 3.

"DPR harus mulai membahas revisi kedua UU ITE. Saat ini DPR sudah tidak menjalankan fungsi kontrol yang menjadi tugas fungsinya. Pasal-pasal karet kriminalisasi harus segera dihapus," kata Asfin.

Baca juga artikel terkait KASUS UU ITE atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri