Menuju konten utama

Banjir di Malang, Problem Sosial Sejak Era Kolonial

Hujan deras yang mengguyur Kota Malang pada Senin (10/12) menyebabkan banjir di banyak titik.

Banjir di Malang, Problem Sosial Sejak Era Kolonial
Pengguna jalan berusaha menembus banjir yang melanda Jalan Gajayana, di Malang, Jawa Timur, Senin (10/12/2018). ANTARA FOTO/HO/H. Prabowo

tirto.id - Hujan deras yang mengguyur Kota Malang pada Senin (10/12) telah mengakibatkan banjir di sejumlah titik. Di jalan Soekarno Hatta misalnya, air menggenangi beberapa ruas jalan yang mendadak berubah menjadi sungai.

Laju air di jalan Soekarno Hatta sebagian mengalir deras ke arah utara, memasuki jalan Sudimoro yang lebih rendah permukaannya. Tidak hanya di Soekarno Hatta, hujan deras yang terjadi antara pukul 14.30 sampai 15.30 WIB itu menyebabkan banjir di kawasan jalan Gajayana, Bantaran, Letjen S Parman, dan Galunggung.

Hujan deras dan banjir ini lantas menghasilkan rentetan masalah lain. Antara melaporkan, dua kendaraan roda empat terseret banjir di Glintung akibat tanah di tepian sungai amblas. Kemudian ada pohon tumbang di Arjosari dan Merjosari. Tak hanya itu, rumah Makan Ringin Asri dan sejumlah ruangan di SMP Negeri 18 terendam air. Di Kelurahan Madyopuro, seorang siswa kelas lima SD hanyut di Sungai Amprong.

Cuplikan video mengenai banjir di Malang beredar luas di sosial media, menunjukkan beberapa titik yang tergenang hingga merekam pengendara yang terjatuh dan terseret beberapa meter akibat derasnya air yang mengalir di ruas jalan.

Walikota Malang Sutiaji angkat bicara terkait banjir ini. Menurutnya selain hujan turus sangat deras, penyebab banjir yang cukup parah ini diakibatkan pintu air kawasan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tidak ditutup sehingga air meluber.

"Selain dam UMM terbuka, berbagai jenis sampah yang dibuang ke sungai menyebabkan saluran air tersumbat. Dan, jumlah sampah yang dibuang ke sungai itu jumlahnya tidak main-main. Saya sudah perintahkan agar dinas terkait segera menanganinya dan masyarakat juga tidak membuang sampah di sungai," ucap Sutiaji pada Selasa (11/12) dilansir dari Antara.

Sutiaji turut menyampaikan permohonan maafnya kepada warga Malang dan lainnya yang terdampak.

Keterangan berbeda diungkapkan oleh Kepala UPT Pelayanan Sumber Daya Air (PSDA) Jawa Timur, Pramono Hari yang meninjau lokasi DAM 0503.0005 di Desa Tegalgondo, Karangploso, Kabupaten Malang pada Selasa (11/12). Pramono menyangkal perihal penyebab banjir karena masalah tidak ditutupnya pintu air seperti yang dikemukakan Sutiaji.

"Kalau masalah pintu (air), sebenarnya sudah kami tutup semua. Memang protapnya seperti itu," tutur Pramono pada Selasa (11/12) dikutip dari media daring Jawa Pos. "Jadi pada saat kami prediksi curah hujan tinggi, pasti kami tutup," lanjutnya lagi.

Menurut Pramono, banjir disebabkan banyaknya penyempitan di saluran air dan diperparah dengan kebiasaan buruk warga yang membuang sampah sembarangan. Ia juga menyinggung bagaimana pembangunan sembarangan yang memakan lahan di daerah aliran sungai (DAS) dapat menghambat laju air.

Sebenarnya hampir setiap tahun Kota Malang selalu dilanda banjir saat hujan turun dengan intensitas tinggi. Titik-titik yang kena banjir juga tak berubah. Ketinggian air bervariasi, dari hanya sebatas mata kaki sampai perut orang dewasa. Saat banjir musiman terjadi pada 2016, Badan Penanggulangan Banjir Daerah (BPDB) Kota Malang menyebut sistem drainase yang buruk di Malang menjadi biang kerok air meluber di tempat yang tidak seharusnya.

Esti Widodo dan Diana Ningrum pernah mengkaji kelayakan dan fungsi drainase di jalan Sukarno Hatta sisi Kelurahan Jatimulyo dalam laporan penelitiannya berjudul "Evaluasi Sistem Jaringan Drainase Permukiman Soekarno Hatta Kota Malang Dan Penanganannya" (2015).

Hasilnya, sebagian besar saluran drainase yang ada di Malang diklaim tidak mampu lagi menampung air hujan sehingga mengakibatkan genangan sesaat. Terlebih pertumbuhan bangunan di dekat wilayah kampus membikin volume limbah ke drainase ikut meningkat.

Problem Sejak Era Kolonial

Permasalahan sistem drainase kota yang berada di ketinggian 440 sampai 667 meter di atas permukaan laut ini bukanlah hal baru. Pada 1918, empat tahun sejak malang ditetapkan sebagai Kota Madya (Gemeente) yang lepas dari Pasuruan, banjir dan masalah penyumbatan saluran air sudah muncul.

Reza Hudiyanto dalam penelitiannya, “Mengungkap Unsur Air dalam Sejarah Kota Malang: Pengelolaan Assainerring dan Gorong-Gorong Kota 1914-1940” (PDF, 2010) menguraikan, pada musim hujan, jalanan di Malang banyak berubah menjadi lumpur.

Beberapa orang yang menggunakan sepeda terpaksa turun karena terjebak lumpur. Di jalan Oro-Oro Dowo misalnya, bahkan tidak bisa dilalui sama sekali. Jika malam, tantangan bertambah karena bebatuan besar yang ikut bertebaran di jalanan menjadi tidak terlihat.

Selain itu, selokan yang menjadi jalur air limbah di permukiman penduduk juga bermasalah. Warga Eropa yang permukimannya dekat dengan kampung bumiputra kerap mengeluhkan bau busuk dan nyamuk dari aliran air yang mampet. Belum lagi, keluhan tentang perilaku warga bumiputra yang kerap buang air besar di selokan.

Sebaliknya, warga kampung juga merasa terganggu oleh got-got dari rumah orang Belanda yang kotorannya bermuara di area kampung. Warga kampung juga tidak punya dana untuk membereskan masalah saluran air buangan.

Dari sidak Wali Kota Malang pertama, H.I Bussemaker bersama anggota komisi higienis Kreosen dan Th de Rochemont ditemukan bahwa ada penyumbatan di saluran air antar kampung. Belum lagi, keluhan tentang perilaku warga yang kerap buang air besar di selokan.

Buruknya kondisi sistem saluran selokan di permukiman makin parah ketika musim hujan tiba. Kotoran ikut meluber bersama genangan air hujan. Beberapa daerah yang dilaporkan memiliki masalah drainase adalah kampung Kauman, Ledok, Talun, Jodipan, Tumenggungan, Jagalan, hingga Kidul Pasar. Bahkan jalan Speelman (sekarang jalan Mojopahit) yang merupakan kawasan elite juga tak luput dari masalah drainase.

Kondisi ini membuat penduduk kampung yang terdampak berharap ada perbaikan saluran air kotor yang tidak hanya di kawasan pemukim Belanda, melainkan juga di kampung Jawa dan Cina (Surat kabar Tjahaja-Timoer, 13 Juni 1923).

Pada 1925 baru pemerintah menata rencana pengelolaan drainase setelah terhambat masalah aturan hukum. Pengelolaan sepenuhnya mempertimbangkan topografi Malang yang punya dua sungai cukup dalam, seperti sungai Brantas dan Sukun. Pembangunan got-got besar di samping jalan bermuara di dua sungai tersebut. Genangan air dialirkan melalui pipa kotoran, sementara tinja manusia akan ditampung di sistem septic tank.

Infografik Banjir Di Kota Malang

Infografik Banjir Di Kota Malang

Meski sampai tahun 1937 kapasitas got dan drainase lainnya dianggap telah cukup, masalah masih saja timbul. Banyak got dan saluran kotoran limbah terutama di kawasan pusat kota yang tidak mampu menampung pembuangan. Selain karena faktor penduduk yang kian padat, perilaku buang air besar dari warga bumiputra masih belum bisa dihilangkan.

Di sisi lain pembangunan drainase juga mencerminkan diskriminasi rasial. Akibat politik segregasi yang diterapkan dengan memisah-misah permukiman penduduk berdasarkan ras, kampung-kampung yang dihuni oleh bumiputra cenderung tidak mendapat perhatian. Pemerintah kolonial baru memperhatikan pembangunan saluran air jika itu berkaitan dengan pemukiman Eropa.

“Perhatian hanya muncul ketika saluran air dari kampung itu terhubung dengan pemukiman Eropa. Jika kampung itu jauh dari pemukiman Eropa, pemerintah cenderung tidak memperhatikan,” tulis Reza.

Kendati sudah dilakukan perbaikan dan penataan sistem drainase di sana sini, sistem drainase Kota Malang masih belum bisa dibilang optimal. Suatu hari di Januari 1929, hujan sangat deras turun sekitar pukul 17.30 WIB. Sebagian besar jalanan berubah menjadi seperti sungai. Air di jalan Pecinan warnanya menjadi coklat dan berbuih mengalir ke arah barat. Alun-alun Malang dan sekelilingnya berubah layaknya danau besar. Kampung-kampung yang berada di dataran rendah terendam air (Surat kabar De Oosthoekbode, 17 Januari 1929).

Baca juga artikel terkait BANJIR atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Nuran Wibisono