Menuju konten utama
Obituari

Bambang Subianto dan Keputusan Garang B.J. Habibie

Alih-alih gembira, Bambang justru merasa pengumuman itu sebagai penanda bahwa amanat sangat berat sedang dipikulkan di pundaknya

Bambang Subianto dan Keputusan Garang B.J. Habibie
Mantan Menteri Keuangan Bambang Subianto menunggu untuk diperiksa di kantor KPK, Jakarta, Selasa (9/7/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.

tirto.id - Tak ada yang berbeda di Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) pagi itu, Jumat (22/5/1998). Ruang perkuliahan agak longgar karena mahasiswa masih menikmati peran krusial di awal reformasi.

Jumlah mahasiswa yang datang sedikit, tetapi bukan masalah bagi sang dosen berkacamata. Dia tetap fokus mengajar hingga muncul kabar menggemparkan yang berjarak 170 kilometer (km) dari ITB, yakni di Istana Merdeka Jakarta.

Hari itu, Presiden B.J. Habibie akan mengumumkan nama-nama menteri Kabinet Reformasi Pembangunan. Satu di antaranya adalah Bambang Subianto, lelaki berkacamata yang sedang asyik memandu mata kuliah di ITB pagi itu.

Awalnya, pengumuman dijadwalkan pada pukul 09:00 WIB. Namun, terpaksa molor dan baru dilakukan satu setengah jam kemudian. Tak butuh waktu lama, berita menyebar luas dan sampai ke Kampus Cap Gajah tersebut.

Meski demikian, Bambang bersikap biasa saja. Alih-alih gembira, ia justru merasa pengumuman itu sebagai penanda bahwa amanat sangat berat sedang dipikulkan di pundaknya.

Terlebih, ayah empat putri ini baru saja menikmati perannya sebagai dosen, setelah dicopot dari posisi Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan di tengah situasi politik yang bergolak di masa krisis moneter.

Hari itu, satu per satu ucapan selamat menyela menghampiri Bambang. Namun lelaki berusia 53 tahun itu memilih menuntaskan tugas mengajar hingga sore tiba.

Pukul 19:00 WIB, Bambang bertolak memenuhi panggilan Presiden B.J. Habibie ke Jakarta. Dia nyaris tidak punya waktu walau sekadar meyakinkan Srie Wahyuni, istrinya yang menunggu dalam cemas dan haru di rumah.

Srie paham betul situasi yang akan dihadapi sang suami. Menjadi menteri keuangan di negara yang dibelit masalah, dalam situasi krisis seperti Indonesia, tentu bukan pekerjaan mudah.

"Ini kan kabinet 'prihatin' karena situasi sangat berat. Jadi mohon doa restu seluruh rakyat untuk mengemban tugas ini," kata Srie seperti dikutip Suara Karya edisi (23/5/1998).

Mengawali Studi di Teknik Kimia

Bambang Subianto bukan wajah baru di dunia keuangan dalam negeri. Sosoknya sudah diperhitungkan sejak zaman Presiden Soeharto. Walau tersohor sebagai ekonom, Bambang justru mengawali semuanya dari latar belakang yang berbeda.

Lelaki kelahiran Madiun, 10 Januari 1945 itu mulanya menempuh pendidikan di Fakultas Teknik Kimia ITB. Setelah lulus pada 1973, Bambang jadi peneliti Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI).

Selang 2 tahun kemudian, Bambang akhirnya menjadi dosen di Kampus Kuning tersebut. Dari sinilah petualangan bermula.

Bambang melanjutkan pendidikan ke Universitas Katolik Leuven Belgia pada 1978. Dia berhasil mengantongi gelar Master Business Administration (MBA) pada 1981 dan gelar doktor bidang organisasi industri pada 1984.

Tak lama setelah pulang ke Indonesia, Bambang dipilih menjadi Direktur Institut Keuangan dan Akuntansi Departemen Keuangan pada 1988. Karirnya terus menanjak hingga dipromosikan jadi Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan pada 1992.

Saat krisis melanda pada Januari 1998, Presiden Soeharto menunjuk Bambang sebagai Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) atau Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA) yang pertama.

Akan tetapi, jabatan tersebut cuma bertahan selama satu bulan. Penyebab pencopotan Bambang baru terungkap dua dekade kemudian.

"Saya hanya satu bulan, bahkan belum punya staf. Saya berhenti karena Presiden Soeharto tidak setuju dengan usul saya," ujar Bambang saat menjadi saksi pada sidang kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (6 Juni 2018).

Bambang resmi menjabat Menteri Keuangan pada Kabinet Reformasi Pembangunan dan mulai bertugas sejak Sabtu, 23 Mei 1998. Di tengah kecamuk krisis moneter, Presiden B.J. Habibie menitipkan misi besar kepada Bambang.

Pada biografi berjudul Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006), B.J. Habibie membeberkan strateginya untuk membalikkan situasi perekonomian kala itu.

Setelah bertekad membentuk kabinet secepat mungkin pascareformasi, Habibie langsung tancap gas merumuskan tugas-tugas pokok skuat pembantunya. Mulai dari bidang politik, hukum hingga ekonomi.

Untuk bidang perekonomian, presiden menekankan percepatan penyelesaian undang-undang yang berfungsi mengikis praktik monopoli dan iklim persaingan usaha tidak sehat.

Selain itu, pemerintahan B.J. Habibie juga bertekad menaruh perhatian khusus terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), revitalisasi lembaga perbankan dan keuangan nasional, serta program-program yang menyentuh kepentingan masyarakat banyak.

Presiden Ketiga Republik Indonesia itu juga berkomitmen melanjutkan program reformasi ekonomi yang telah disepakati dengan pihak asing, termasuk Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).

Dengan komposisi kabinet yang tepat, B.J. Habibie optimistis mampu mengembalikan dinamika pembangunan dalam negeri dalam waktu singkat. Setumpuk target itulah yang harus dituntaskan Bambang dan rekan-rekannya di kabinet.

"Prioritas utama Kabinet Reformasi Pembangunan adalah mengatasi krisis ekonomi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya," tulis B.J. Habibie.

Infografik SC Bambang Subianto

Infografik SC Bambang Subianto. tirto.id/Mojo

Dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Oktober 1999, B.J. Habibie memaparkan terobosan dan capaian yang telah ditoreh selama 512 hari setelah dilantik sebagai presiden.

Tekanan inflasi nasional sempat tembus 85,47% Januari-September 1998. Namun akhirnya drop jadi 2% pada periode yang sama 1999. Pada September 1999 saja, Indeks Harga Konsumen (IHK) naik 1,25% secara tahunan (year on year/yoy). Sedangkan pada September 1998, kenaikannya mencapai 82,4% (yoy).

Pelambatan inflasi diikuti kenaikan tingkat konsumsi. Pemerintah berhasil mendongkrak pertumbuhan Produk Domestik Bruto secara berturut-turut, yaitu 1,31% dan 0,46% pada Triwulan I/1999 dan Triwulan II/1999. Pertumbuhan ekonomi juga meningkat 1,81% pada Triwulan III/1999 (yoy).

Pada indikator lain, nilai tukar Rupiah juga menguat. Pada Juni 1999, US$1 hanya setara Rp6.700. Padahal, mata uang Garuda ini sempat terjun bebas ke Rp15.000 per US$1 pada Juni 1998.

Seiring penguatan Rupiah dan pengendalian inflasi, suku bunga Bank Indonesia juga relatif turut menurun hingga 13%. Padahal, suku bunga pada Agustus 1998 sempat tembus 70%.

Sementara itu, cadangan devisa kotor mencapai US$26,9 miliar pada akhir September 1999 atau setara 10,4 bulan impor. Jumlahnya meningkat ketimbang Mei 1998 yang hanya US$19 miliar atau setara dengan 6,7 bulan impor.

Kemudian, investor asing juga sudah kembali menanamkan modal di Indonesia. Pada September 1998, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya sekitar 250 poin. Namun pada Juni 1999 meningkat jadi 600 poin.

"Semua indikator ini menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia sudah memasuki tahap pemulihan," kata B.J. Habibie.

Penuh Ujian, Banjir Pujian

Pada Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara (2014), Sri Bintang Pamungkas tak segan memuji tangan dingin Bambang dalam mengendalikan nilai tukar Rupiah pascareformasi.

Bambang beserta Gubernur Bank Indonesia kala itu, Syahril Sabirin, dianggap berperan besar. Keberhasilan Bambang sekaligus pembuktian bagi B.J. Habibie bahwa pilihannya tepat.

Konon, penunjukan Bambang dipengaruhi ketidakpercayaan B.J. Habibie terhadap konsep pembangunan ala Widjojo Nitisastro. Widjojo sendiri merupakan orang kepercayaan Presiden Soeharto kala berkuasa.

Habibie menolak berbagai buah pemikiran Widjojo beserta kelompoknya. Faktor ini pula yang disebut-sebut melatarbelakangi keputusan berani B.J. Habibie mencopot Fuad Bawazier dan lebih memilih Bambang sebagai menteri keuangan.

Pada kenyataannya, menurut Bintang, kebijakan Habibie mampu menurunkan kembali nilai tukar dolar AS. Sebelum Habibie berkuasa, greenback sempat menguat lima kali lipat pada Januari 1998. Namun berkat kelihaiannya, dolar AS kembali melemah menjadi Rp6.500 pada September 1999.

"Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, yang diangkat Soeharto lalu dipertahankan oleh B.J. Habibie, serta Bambang Subianto, tentu mempunyai kontribusi besar dalam mendongkrak nilai Rupiah," tulis Bintang.

Selama 17 bulan menjabat, berbagai cerita negatif menerpa B.J. Habibie berserta jajaran. Nama Bambang dan beberapa lainnya sempat disebut-sebut dalam kasus BLBI Bank Bali, skandal keuangan terbesar di Indonesia yang dijuluki Baligates.

Dugaan keterlibatan itu kemudian menjadi dasar bagi anggota Panitia Khusus Penyelidikan Kasus Bank Bali Eki Syachruddin mengusulkan Presiden B.J. Habibie memecat Bambang beserta Kepala BPPN Glenn Yusuf.

Tak hanya itu, Eki juga berharap presiden mencopot Arnold Achmad Baramuli dari kursi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Akan tetapi, usulan Eki ditolak mentah-mentah oleh B.J. Habibie.

"Tetapi Habibie tidak setuju Baramuli dipecat karena menurut presiden, Baramuli selama ini telah berjasa. Presiden juga tidak setuju Pak Bambang dan Glenn Yusuf dipecat; mereka orang baik," kata Eki yang terbit di Kompas edisi Rabu (22/9/1999).

Kini, Bambang Subianto telah pulang ke pangkuan Sang Pencipta. Bambang menghembuskan nafas terakhir pada usia 77 tahun Jumat, 4 November 2022 pukul 16:54 WIB di RS Pondok Indah Jakarta.

Walau raga tak lagi mengada di dunia fana ini, sumbangsih Bambang akan selalu diingat sepanjang masa oleh mereka yang mengerti jatuh-bangun ekonomi makro, seperti halnya Menteri Keuangan RI Sri Mulyani.

"Selamat jalan, Pak Bambang. Jasamu dalam membangun kembali fondasi ekonomi di era awal reformasi sungguh luar biasa. Semoga Allah SWT memberikan balasan terbaik atas amalan beliau di alam barzakh, dan mendapat tempat terbaik yaitu Jannah," tulis Sri Mulyani melalui akun Instagram @smindrawati, Sabtu (5/11/2022).

Baca juga artikel terkait OBITUARI atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Mild report
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono