Menuju konten utama
22 September 1917

Balai Pustaka vs "Batjaan Liar": Perang Wacana di Zaman Kolonial

Pemerintah kolonial ingin menghegemoni dunia bacaan Hindia Belanda. PKI melawannya lewat "batjaan liar".

Balai Pustaka vs
Ilustrasi logo Balai Pustaka. tirto.id/Rangga

tirto.id - Balai Pustaka dibentuk ketika pemerintah kolonial mulai khawatir dengan aktivitas kaum pergerakan nasional. Lembaga ini mulanya didirikan dengan nama Kantoor voor de Voolkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat. Tanggal resmi pendiriannya adalah 22 September 1917, tepat hari ini 104 tahun lalu.

Hanya beberapa bulan setelah Balai Pustaka didirikan, kaum kiri segera mencium gelagat tak beres. Semaoen, misalnya, secara tidak langsung menuding Balai Pustaka sebagai lembaga aparatus negara kolonial. Balai Pustaka, bagaimanapun juga, adalah benteng “Politik Etis” dan, lebih jauh, dalam kaitan dengan kekuasaan kolonial, ia langsung berhubungan dengan kepentingan modal. Dengan kata lain, melalui produksi bacaan Balai Pustaka, penerbit kolonial menikmati berbagai fasilitas terbaik untuk operasinya. dan sangat berperan untuk menjamin stabilitas kedudukan kaum modal di Hindia.

Kaum kiri kemudian menerbitkan berbagai buku dan pamflet untuk menandingi dominasi bacaan terbitan Balai Pustaka. Di zaman itu, terbitan-terbitan PKI tersebut lazim dinamakan “bacaan liar”. Sebenarnya, “bacaan liar” yang dicetak dan diterbitkan Komisi Batjaan Hoofdbestuur Partai Komunis Indonesia belum ditujukan untuk melawan dominasi Balai Pustaka, namun untuk melakukan pendidikan bagi kaoem kromo.

Baru pada akhir 1921, ketika PKI mengadakan kongres, Pieter Bergsma, bekas serdadu kolonial yang berubah haluan menjadi organisator PKI, menyatakan perlunya buku-buku bagi orang pergerakan. “Kita memerloekan literatuur-literatuur socialistisch oentoek keperloean pergerakan kaoem kromo,” katanya.

Pada Oktober 1921, Semaoen, di depan Presidium Komintern, merumuskan hambatan-hambatan yang dihadapi kaum pergerakan. Ia merumuskannya dengan inspirasi dari perjalan ke Russia dan pengalaman pemogokan-pemogokan buruh pada 1919-1920. Periode pemogokan sering kali membicarakan peningkatan upah atau “perjuangan ekonomi” dan didukung oleh kekuasaan kolonial di Hindia Belanda. Bahaya tersembunyi dari “perjuangan ekonomi” semata adalah merusak moral dan politik kelas buruh dan akan menyeret mereka ke dalam politik borjuis.

Semaoen maupun para pemimpin pergerakan dari Partai Komunis Indonesia menyadari bahwa kelas buruh di Hindia Belanda sangat beragam, dalam pengertian belum mencapai tingkat class for itself (buruh yang menyadari posisinya sebagai kelas dan memiliki organisasi politik yang otonom). Sebaliknya, kelas buruh di Hindia saat itu masih pada tingkat class in itself (kelas ekonomi yang semata-mata ditentukan oleh proses produksi).

Maka untuk meningkatkan kesadaran kelas buruh dan penduduk bumiputra lainnya yang tertindas untuk mencapai tingkat class for itself, sudah waktunya bagi seksi propaganda dan agitasi PKI membentuk Komisi Bacaan untuk Rakyat Bumiputra. Sebagaimana ditegaskan oleh Semaoen sendiri, “kaoem tertindas disini haroeslah membatja boekoe-boekoenja sendiri jang ditoelis oleh orang dari klasnja sendiri. Begitoelah klas yang tertindas di sini nanti djadi insjaf betoel akan nasibnja.”

Penegasan Semaoen hampir senada dengan harapan Soekindar, salah seorang redaktur Sinar Hindia yang menegaskan bahwa pada “zaman bergerak” diperlukan literatur sosialisme untuk kaoem kromo, “Kita bergerak, tidak sadja sebab kita merasai tindasan dan kesoekaran, tetapi pertama-tama sebab kita soedah sadar akan mengetahoei keadaban doenia.”

Lebih lanjut ia menegaskan, “bahwa tindesan jang timboelkan oleh stelsel doenia sekarang ini, ialah kapitalitisch...moelai timboelnja djaman kapitalisme, maka peratoeran pergaoelan hidoep itoe soedahlah membawa tindesan dan kesoekaran, tetapi pengetahoean wetenschap itoe beloem dipoenjai oleh kaoem kromo.”

Tulisan Soekindar itu telah mendorong Hoofbestuur PKI menerbitkan literatur-literatur bagi kaoem kromo guna memahami pergaulan hidup kapitalisme.

Tulisan itu belum mendapat sambutan dari kalangan pergerakan, tidak lain akibat semangat “Politik Etis” yang masih tetap bertahan. Berangkat dari sini, maka pada kongres PKI, Desember 1921, diputuskan untuk memperbanyak “literatuur socialistisch.” Tetapi bacaan ini pun masih belum diarahkan untuk menentang produk bacaan Balai Pustaka. Mereka masih sekadar mengharapkan melalui bacaan ini kaoem kromo bisa memahami kontradiksi yang aneh: bertambahnya kekayaan bagi satu golongan juga berarti bertambahnya kemelaratan bagi golongan lain.

Dari sini juga dipikirkan bahwa bacaan tersebut dapat membangkitkan massa untuk aksi politik atas ketidaksamarataan. Pekerjaan komisi dengan begitu terus-menerus mengadakan pendidikan teori, tidak saja kepada anggota sendiri, tetapi juga massa di luar partai.

Bacaan sosialisme yang kali pertama terbit adalah Hikajat Kadiroen yang mulanya dijadikan fouilleton di Sinar Hindia pada 1920, yang kemudian dicetak menjadi buku pada 1921 dengan harga jual f.0,25. Kemudian disusul oleh karya Tan Malaka, Parlemen atau Soviet, yang terbit pada tahun yang sama dan dijual dengan harga yang sama pula. Derasnya produksi “literatuur socialistisch” mengungkapkan realitas masyarakat kolonial yang jelas meresahkan kekuasaan Belanda.

Dr. D.A. Rinkes, direktur pertama Balai Pustaka, dengan watak kolonialnya dalam peringatan 25 tahun takhta Wilhemina (1923), mengemukakan:

“Hasil pengadjaran itu boleh djuga mendatangkan bahaja, kalau orang jang telah tahu membatja itu mendapat kitab-kitab batjaan jang berbahaja dari saudagar kitab jang kurang sutji hatinja dan dari orangorang jang bermaksud hendak mengatjau. Oleh sebab itu bersama-sama dengan pengajaran itu maka haruslah diadakan kitab-kitab batjaan jang memenuhi kegemaran orang kepada pembatja dan mamadjukan pengetahuannja, seboleh-bolehnja menurut tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu perlu didjauhkan segala jang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.”

Penegasan Rinkes ini menjadi kebijakan dasar Balai Pustaka dalam menerbitkan buku-buku bacaan. Dengan garis kebijakan dari suatu pemerintahan jajahan seperti itu, amat sukar mengharapkan produk-produk bacaan yang menjadi juru bicara zaman dan masyarakatnya menghadapi dua kepentingan yang saling bertentangan: negara jajahan yang ingin mempertahankan kekuasaan dan pergerakan yang ingin membebaskan rakyat.

Garis kebijakan Balai Pustaka yang ditegaskan Rinkes itu pada satu pihak ditujukan untuk membendung bacaan-bacaan politik produk para pemimpin pergerakan seperti Semaoen dengan Hikajat Kadiroen (1921) atau Soemantri dengan Rasa Mardika (1924) atau Marco dengan Matahariah (1918) atau Axan Zain dengan Apakah Maoenja Kaoem Kommunist? (1925). Buku terakhir adalah saduran dari buku Manifesto Komunis dan beberapa kali pernah dimuat di surat kabar Proletar pada 1924.

Dominasi Balai Pustaka yang ditentang oleh kalangan pergerakan sangat erat hubungannya dengan usaha-usaha PKI untuk memberikan kalangan pergerakan sebuah sense disiplin proletariat. Pimpinan partai selama 1923-1924 penuh semangat terus mengampanyekan perbaikan ideologi dan tingkat organisasi pada cabang PKI dan Sarekat Ra’jat.

Selain itu, secara gencar diselenggarkan kursus-kursus teori marxis, seperti yang dijalankan di sekolah-sekolah SI yang mengubah namanya dengan Sekolah Ra’jat pada April 1924. Rekaman-rekaman tentang program komunis dan prinsip-prinsip bahan bacaan yang diterbitkan, termasuk penerjemahan pertama Manifesto Komunis ke dalam bahasa Melayu, telah menambah sirkulasi terbitan-terbitan berkala yang disponsori PKI.

Pusat propaganda revolusioner didirikan di Semarang yang diketuai oleh Soebakat alias Axan Zain. Bacaan-bacaan yang diproduksi dijual untuk mencari dana dan sekaligus sebagai propaganda partai. Penyebaran biasanya melalui sekolah-sekolah. Keputusan tentang pentingnya bacaan politik kembali ditegaskan pada kongres PKI 1924 yang merasakan kurangnya jumlah jurnal dan bahan bacaan. Kebutuhan bagi kedisiplinan adalah tema yang dibicarakan pada kongres PKI 7 Oktober 1924.

Yang terpenting dari kongres ini adalah dibentuknya Kommisi Batjaan Hoofdbestuur PKI. Tema-tema bacaan yang diterbitkan Komisi Bacaan berkisar pada kedisiplinan, internasionalisme, dan proletarianisme.

Dalam kongres ini, Moesso mengemukakan garis politik kaum pergerakan yang secara frontal menentang Balai Pustaka sebagai institusi kolonial yang hendak menghambat pergerakan melalui produk-produk bacaannya. Produk-produk bacaan Balai Pustaka mengemukakan konsepsi “Politik Etis” tentang negara jajahan, memupuk amtenar dan pegawaiisme. Lembaga ini menjual produk bacaannya dengan harga murah agar para buruh dan tani juga dapat mengonsumsinya dan dengan begitu tentu jangkauannya jadi lebih luas pula.

Para pemimpin pergerakan menyadari bahwa produk-produk Balai Pustaka yang didukung oleh kaum kapital dan negara dapat merusak, membingungkan, dan menyesatkan kaum buruh serta tani yang menjadi pendukung atau aktivis pergerakan. Sebagaimana ditegaskan Moesso sekali lagi mengenai karya-karya Balai Pustaka:

“Dengan boekoe-boekoenja, soerat-soerat kabarnja, goeroe-goeroenja dan lain-lainnja orang jang pandai dan terbajar, kaoem kapital bisa menanam pikiran dalam kepala kaoem boeroeh, bahwa kekoeasa’an kaoem kapital itoe soedah seperti disahkan dari langit dan tidak boleh diroebah lagi. Begitoelah Ra’jat tertindas djadi diam, ia tidak bisa berboeat apa-apa jang keras, karena pikirannja di’ikat oleh boeah-boeah pikiran dan nasehat-nasehat jang diadakan dari pihak sana itoe. Apabila kaoem tertindas hendak bertanding dengan mengharap kemenangan, haroeslah ia melepaskan pikirannja dan pengaroeh pihak sana. Ra’jat jang bertanding mereboet kemerdeka’annja sendiri, haroes mempoenjai pikirannja sendiri tentang baik dan djelek. Tidak seharoesnja ia memakai nasehat-nasehat jang diberikan dari pihak sana.”

Penegasan Moesso di atas bukan hanya serangan terhadap Balai Pustaka, tapi juga timbul dari rasa khawatir karena semakin dalamnya perpecahan di kalangan pergerakan sendiri. Saat itu, Agoes Salim dan kawan-kawan dan Politik Ekonomi Bond (PEB) terus-menerus memborbardir pergerakan buruh yang radikal di bawah pimpinan Semaoen dan kawan-kawan.

Semaoen, pada 1920, menulis sebuah karangan yang khusus ditujukan untuk pergerakan buruh dengan judul Penoentoen Kaoem Boeroeh, yang diterbitkan dan dicetak oleh Drukkerij VSTP. Kelihatan dari judulnya, buku ini ditujukan untuk memandu kaum buruh mendirikan organisasi dan mengurus soal-soal keuangannya sendiri. Atau seperti diungkapkan Semaoen sendiri bahwa buku ini, “teroetama boeat propaganda, dan boeat kaoem boeroeh jang beloem poenja koempoelan vakbond atau jang vakbondnja beloem teratoer beres, maka boekoe ini akan mendatengken faedahnja kalau dipikir dan dioesahakan betoel oleh kaoem boeroeh.”

Penyebarannya hampir pasti untuk kalangan buruh, karena dijual dengan harga yang sangat rendah agar dapat dijangkau kaum buruh, yaitu f.0,15 dan dapat dibeli di toko-toko buku VSTP. Penoentoen Kaoem Boeroeh memberikan penjelasan kepada kaum buruh di Hindia tentang beberapa sumber kemiskinan yang mereka hadapi.

Pertama, dengan ditemukannya mesin uap, kapal api, persenjataan yang lebih maju bangsa Eropa dapat lebih mudah mencapai dan menguasai negeri-negeri terbelakang termasuk Hindia Belanda. Dengan kekuatan tenaga produksi negeri kapitalis Eropa dapat membangun spoor (kereta api) dan tram (trem). Spoor dan tramtelah membuka lebar-lebar negeri Hindia Belanda bagi perdagangan dan penanaman modal negeri kapitalis maju, seperti Inggris, Amerika dan lainnya. Dengan kekuatan tenaga produksinya, kaum kapitalis Eropa dapat menyelenggarakan pertukaran yang tidak seimbang dengan barang-barang yang dihasilkan oleh bangsa Hindia.

Kedua, dengan kekuatan tenaga produksinya, negeri kapitalis maju dapat mendesak mundur industri-industri tradisional yang telah berlangsung lama di Hindia, seperti batik dan kerajinan-kerajinan tangan lainnya. Akibat kemunduran dari produk-produk industri tradisional ini, maka para produsennya kehilangan pekerjaan. Sementara itu, negeri-negeri kapitalis maju dengan tenaga produksinya dapat membuka berbagai onderneming besar, seperti gula, teh, kopi, tembakau, karet dan sebagainya, sedangkan para produsen industri tradisional yang kehilangan pekerjaannya dipaksa untuk bekerja di onderneming-onderneming tersebut sebagai buruh upahan.

Berarti secara sistematis berlangsung proses pemiskinan rakyat bumiputra sekaligus mendesak seluruh hubungan kerja yang merdeka yang telah diupayakan oleh penduduk

bumiputra sendiri. Semaoen, seorang pelopor pemimpin pergerakan buruh di Hindia, menyadari bahwa inilah yang menyebabkan kaum buruh di Hindia hidup sengsara. Dan untuk mengatasi itu mereka harus mendirikan perkumpulan yang kuat, seperti dikatakannya:

“Djadi njatalah, bahwa kemadjoean dan kerameian di Hindia pada djaman sekarang ini mendesak antjoer kemerdikaan pentjarian pengidoepan jang koeno, sahingga kesabaran, ketentreman, kesenengan dan ajemnja nenek mojang kita sama toeroet terdesek mati djoega, dan pendoedoek Boemipoetera sekarang laloe riboet hari berhari dalem kahidoepan soekar serba soesah.”

Penoentoen Kaoem Boeroeh dicetak dan diedarkan sebanyak 300 eksemplar dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh para pembacanya. Ide penerbitan buku ini sangat dipengaruhi

oleh keberhasilan Revolusi Rusia. Di samping itu, Semaoen juga mendapat tambahan literatur dari Belanda yang banyak mengkritik pola gerakan buruh yang mengandalkan spontanitas dan reformis seperti “Troelstra Revolution”.

Dari keterangan di atas dapat dilihat bagaimana beragamnya tema dan persoalan yang dibicarakan dalam “literatuur socialistisch”. “Peluru-peluru” dilancarkan ke segala arah yang dianggap penting dan kadang-kadang pilihannya sangat bergantung pada kondisi politik yang spesifik. Bagi para pengarang dan penulis, proses ini bukan hanya melatih dan mengasah pikiran mereka tentang keadaan di Hindia, tapi secara nyata memaksa mereka mengatur strategi penulisan dan penerbitan. Singkatnya: mengelola sebuah organisasi besar yang terdiri atas ribuan pembacanya.

Infografik Mozaik Balai Pustaka

Infografik Mozaik Balai Pustaka. tirto.id/Rangga

Reaksi Balai Pustaka

Balai Pustaka sebagai benteng kolonial menyebut “literatuur socialistisch” sebagai “bacaan liar.” Untuk membendung pengaruh “literatuur sosialistisch,” maka diproduksi berbagai bacaan. Untuk keperluan itu, Balai Pustaka, yang awalnya adalah Komisi Bacaan Rakyat, pada 1921 mengembangkan sayapnya dan makin kokoh karena memiliki percetakan sendiri.

Sejak 1923 Balai Pustaka menerbitkan majalah Pandji Pustaka yang terbit tiap minggu. Majalah ini berisi berita-berita penerangan dari pihak pemerintah kolonial dan memuat cerita-cerita pendek. Cerita-cerita pendek itu kebanyakan reproduksi dari sastra lisan tradisional yang sudah dikenal sejak lama sebagai cerita pelipur lara. Sifatnya adalah hiburan semata dan dapat dikategorikan sebagai bacaan ringan. Meskipun bacaan-bacaan politik yang dihasilkan oleh para pemimpin pergerakan seperti Hikajat Kadiroen atau Rasa Mardikajuga dimaksudkan untuk menghibur para pembaca, tetapi posisi mereka sangat berbeda.

Penghibur yang pertama adalah untuk melupakan derita dan lari ke alam khayal semata-mata, sedangkan fungsi menghibur yang kedua adalah untuk mengajak berpikir dan serta memberi pengetahuan kepada para pembacanya tentang kontradiksi-kontradiksi kolonial.

Cerita-cerita pendek Pandji Pustaka ini mengambil bahan dari kehidupan sehari-hari yang disajikan secara ringan dan sambil lalu. Ceritanya sering dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa atau perayaan-perayaan yang berulang setiap tahun, seperti Hari Lebaran dan Tahun Baru. Sumber inspirasinya umumnya didapat dari tokoh-tokoh cerita rakyat lama seperti si Kabajan, si Lebai Malang, Djaka Dolok, dan lain-lain. Lelucon-lelucon dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh salah paham, perbedaan bahasa, salah dengar dan anekdot banyak dijadikan tema-tema cerita.

Pandji Poestaka pada 1923 dicetak sebanyak 1.500 eksemplar dan dijual dengan harga yang sangat murah yaitu f.0,20. Pada tahun yang sama, Balai Pustaka mulai menerbitkan majalah Kadjawen dan Parahianganyang pada penerbitan pertamanya dicetak dengan tiras yang sama seperti Pandji Poestaka. Kadjawen yang terbit dalam bahasa Jawa dan Belanda selalu menonjolkan nasionalisme Jawa yang mengagung-agungkan zaman keemasan sejarah Jawa pada masa kerajaan Majapahit.

Di samping itu, Balai Pustaka juga mencetak dan menyebarkan naskah-naskah terjemahan cerita rakyat seperti Hikajat Sri Rama yang dikarang oleh W.G. Shellabear. Kebanyakan cerita rakyat ini diterjemahkan ke berbagai bahasa daerah. Sejak 1920, Balai Pustaka menerbitkan dan menyebarkan karangan-karangan yang ditulis oleh orang bumiputra sendiri, seperti Abdoel Moeis, Merari Siregar, dan Nur Sutan Iskandar yang pada 1919 bekerja pada redaksi Melayu dan kemudian menjadi anggota redaksi sampai akhirnya menduduki jabatan kepala redaksi Balai Pustaka.

Untuk penerbitan buku, Balai Pustaka menaikkan anggarannya sejak 1921 sebanyak 10%, sedangkan anggaran pendapatannya terus menurun. Dari produk-produk Balai Pustaka, tampak jelas eksploitasi yang dilakukan oleh kekuasaan kolonial tidak ditunjukkan apalagi ditonjolkan. Yang lebih dominan justru sikap menyerah terhadap nasib dan mengikuti aturan.

Dalam banyak novel ditunjukkan bagaimana “kebaikan” mengalahkan “kejahatan”. Pihak yang “baik” diwakili oleh tokoh kolonial atau pro-kolonial. Wataknya memang digambarkan baik, sabar, dan bijaksana (tentu dalam ukuran dunia kolonial), sedangkan lawannya seperti Datuk Meringgih dalam Sitti Noerbaja digambarkan sebagai tokoh yang luar biasa jahat. Dengan gambaran ini, posisi Datuk Meringgih sebagai orang yang menentang pajak dan kekuasaan kolonial secara terbuka pupus.

Untuk mengawasi perkembangan pers orang-orang pergerakan, Balai Pustaka mengikuti dan mendokumentasikan tulisan jurnalis-jurnalis bumiputra dan berita-berita. Usaha ini dimulai pada 1918 dan menjelang 1925 ada sekitar 200 terbitan yang didokumentasikan. Bahan-bahan yang dikumpulkan ini kemudian terbit dengan judul Inlandsche Pers Overichten.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya kenapa dan bagaimana anggaran Balai Pustaka yang terus ditingkatkan pada 1921, justru pendapatannya terus merosot hingga pendudukan Jepang pada 1941?

Hal ini karena adanya kecenderungan dari para petugas Balai Pustaka untuk memupuk para amtenar negara kolonial dengan memberikan harga cicilan produk-produk bacaannya. Di pihak lain, Balai Pustaka gagal menembus audiens para pendukung bacaan politik pergerakan, karena Balai Pustaka menjual produknya dengan harga yang lebih mahal ketimbang produk “literatuur socialistisch.”

Bila dilihat dari angka-angka, produksi bacaan Balai Pustaka pada 1923 saja mencapai dua ribu judul lebih. Jumlah ini memang mendukung usaha Balai Pustaka membendung gagasan-gagasan progresif dalam “bacaan liar.” Namun sejak lahir, Balai Pustaka tidak mempunyai hubungan yang nyata dengan para pembacanya–tidak ada ikatan politik antara pembaca dan pengarangnya. Berbeda halnya dengan penulis dan penerbit pergerakan yang jelas membentuk ikatan melalui organisasi formal. Balai Pustaka sendiri tidak pernah secara terbuka menyatakan diri sebagai corong pemerintah dan kepentingan kolonial, sehingga tidak membuka kesempatan bagi pembacanya untuk membentuk satu ikatan sebagai “pembaca terbitan Balai Pustaka”.

Jika kita lihat motto-motto yang terpampang di halaman depan surat kabar pergerakan maka perbedaannya jelas. Balai Pustaka bisa dibilang tidak punya pembaca yang well-organized dan hanya terbatas sebagai langganan yang tidak “terjamin” aspirasi politiknya. Produk Balai Pustaka tidak dapat disejajarkan dengan produk bacaan politik, sebab struktur produksi, konsumsi, distribusi dan konsumsinya berbeda dengan bacaan pergerakan yang lebih dekat dengan kehidupan para pembacanya.

Sejak dimulainya pergerakan pada awal abad lalu, kalangan pergerakan telah menghasilkan puluhan surat kabar dan bacaan yang tidak dapat dipisahkan dari pembentukan perkumpulan atau partai politik yang disuarakannya, seperti SI Semarang yang memiliki Sinar Hindia, SI Surabaya dengan Oetoesan Hindia, IJB dengan Doenia Bergerak, Insulinde dan Medan Muslimin, Indische Partij dan De Exprees, dan PKI dengan Njala.

Cara Balai Pustaka mendistribusikan produknya di samping penjualan, juga melalui Taman Poestaka. Sejak 1912 telah ada 170 Taman Poestaka dan pada 1916 telah mencapai 700. Namun produknya tidak bersambut dengan para pembacanya. Banyak produk yang saat beredar mengalami kemacetan, karena gagasan dan bentuk yang dilontarkan telah usang, seperti kawin paksa, kisah-kisah babad yang direproduksi serta cerita- cerita yang tidak mencerminkan kenyataan.

Sulit bagi terbitan Balai Pustaka yang “halus dan lembut”—karena senantiasa disensor dan dipaksa bersuara dalam bahasa Melayu Tinggi yang terbatas—untuk bersuara di tengah dunia pergerakan yang "keras dan garang".

==========

Artikel ini disaripatikan dari Bab 4 Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan, buku yang diterbitkan pada akhir September 2021 karya penulis artikel.

Razif adalah sejarawan lulusan Jurusan Ilmu Sejarah Fak. Sastra UI (sekarang FIB UI) dan Komisaris PT Balai Pustaka.

Baca juga artikel terkait BALAI PUSTAKA atau tulisan lainnya

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Razif
Editor: Ivan Aulia Ahsan