Menuju konten utama

Balada Amir Sjarifuddin Selalu Gagal Kuasai Militer & Intelijen

Saat jadi Menteri Pertahanan, Amir Sjarifuddin bikin badan-badan khusus untuk menguasai militer dan intelijen. Semua berakhir gagal.

Balada Amir Sjarifuddin Selalu Gagal Kuasai Militer & Intelijen
S.K. Trimurti diapit oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin dan Presiden Sukarno setelah dilantik sebagai Menteri Perburuhan pada Oktober 1947. Foto/Dok. Perpustakaan Nasional

tirto.id - Di antara tokoh-tokoh gerakan bawah tanah anti-Jepang, Amir Sjarifuddin pastilah salah satu yang paling membenci Jepang. Pasalnya, Amir pernah merasai sendiri pedihnya siksaan tentara fasis Jepang. Amir juga hampir dihukum mati setelah jaringan bawah tanahnya terbongkar pada 1943.

Amir selamat dari hukuman mati berkat lobi Sukarno dan Hatta. Tapi, dia baru bebas dari penjara pada Oktober 1945, setelah Jepang kalah. Pemerintah Indonesia yang baru terbentuk kemudian menunjuk Amir menjadi Menteri Penerangan. Amir adalah politisi yang paling jelas memperlihatkan sifat aslinya dibandingkan kebanyakan politisi Indonesia di zaman apapun.

Ketika Sutan Sjahrir naik menjadi Perdana Menteri Indonesia pada 14 November 1946, Amir ditunjuk menjadi Menteri Keamanan Rakyat. Pada awal 1946, nomenklatur kementeriannya diubah menjadi Kementerian Pertahanan.

Sebagai menteri, Amir berusaha mengendalikan lembaga-lembaga di sekitar kementeriannnya—dalam hal ini adalah militer dan intelijen. Namun, para petinggi militer saat itu tidak menyukainya karena Amir dipandang sebagai agen komunis. Maklum, para petinggi militer saat itu kebanyakan adalah orang-orang antikomunis didikan militer kolonial Belanda maupun militer fasis Jepang.

Pada 24 Januari 1946, nomenklatur Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) diubah menjadi Tentara Republik Indonesia. Tak hanya berubah nama, sebuah panita reorganisasi militer pun dibentuk di bawah pimpinan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo.

Menurut Ulf Sandhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967 (1986, hm. 18), panitia itu kemudian menciutkan organisasi tentara yang mulanya ada 16 divisi menjadi 10 divisi. Jumlah resimennya juga makin berkurang. Di luar itu, sebenarnya masih banyak “kesatuan siluman” yang beroperasi dengan jumlah personel dan persenjataan yang tidak sesuai dengan tingkat satuannya.

Di zaman Amir menjadi Menteri Pertahanan itu, Oerip yang merupakan pensiunan mayor KNIL (tentara kolonial Hindia Belanda) dipertahankan sebagai kepala staf. Sementara itu, jabatan panglima tentara nasional dipegang oleh Jenderal Sudirman. Sudirman terpilih berdasarkan hasil pemungutan suara para komandan resimen, bukan pilihan Presiden.

Amir rupanya sulit akur dengan Jenderal Sudirman. Pasalnya, Amir punya sentimen tersendiri terhadap Sudirman yang merupakan bekas daidancho (komandan batalyon) Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang.

“Tentara penjajahan Belanda dan Jepang karena berjiwa kolonialis gampang bertindak fasis, sewenang-wenang dan kejam terhadap rakyat,” kata Amir dalam keterangan yang dimuat majalah Boeroeh (15/04/1947) dan dikutip ulang oleh Soe Hok Gie dalam Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan (1997, hlm. 93).

Pernyataan Amir itu membuat Panglima Divisi Siliwangi Kolonel Abdul Haris Nasution tersinggung karena merasa dicap sebagai Agen NICA. Menurut Soe Hok Gie, periode 1945 hingga 1948 memang merupakan tahun-tahun penuh ketegagangan antara tentara nasional dan kelompok kiri.

Usaha Mengimbangi Tentara

Menurut Sundhaussen, Amir ingin menempatkan tentara di bawah pengawasannya, tapi usahanya mentok karena ketidakakurannya dengan para pimpinan tentara antikomunis. Karena itulah, dia kemudian mengakomodasi satuan-satuan laskar yang kuat untuk mengimbangi kekuatan tentara nasional. Amir terang lebih bisa mengakrabkan diri dengan kelompok laskar karena mereka bukan berasal dari KNIL yang dianggapnya kolonialis atau PETA yang fasis.

Kelompok kiri di Kementerian Pertahanan lalu membangun Biro Perdjungan untuk membina laskar-laskar. Menurut Hok Gie, Kementerian Pertahanan mengucurkan bantuan kepada laskar-laskar itu dengan maksud mengikat kesetiaannya. Kementerian Pertahanan juga menugaskan orang-orang kepercayaannya untuk menjadi koordinator laskar di daerah.

Di Jawa Barat, ada Kolonel Soetoko. Lalu, ada pula Jenderal Mayor Djoko Soedjono untuk Jawa Tengah dan di Jawa Timur ada Jenderal Mayor Koesnandar. Ketiganya adalah tokoh dari Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang dekat dengan Amir. Biro Perdjuangan lalu berkembang menjadi TNI Masjarakat.

Di samping TNI Masjarakat, Amir juga mengadakan jabatan perwira politik yang mirip dengan jabatan komisar di Uni Soviet. Ia adalah seorang perwira yang mendampingi komandan pasukan untuk urusan politik di lapangan. Pada awal 1946, Amir membentuk sebuah “sekolah” khusus untuk mendidik calon-calon perwira politik.

Lembaga itu kemudian dikenal sebagai Pendidikan Perwira Politik alias Pepolit. Amir pun mendudukkan beberapa tokoh sosialis untuk menjadi koordinator Pepolit, di antaranya Jenderal Mayor Soekono Djojopratiknja, Jenderal Mayor Wijono, dan Soemarno. Lain itu, ada pula orang Masyumi seperti Haji Ma’ruf dan Haji Mukti, eksponen Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) seperti Anwar Tjokroaminoto, dan Dr Moestopo.

Pada 30 Mei 1946, Amir melantik sebanyak 55 perwira politik dari Pepolit. Di hadapan publik, Amir menyatakan harapan agar Pepolit bisa merapatkan hubungan antara tentara dan rakyat. Namun, para perwira politik itu jelas tak mampu merapatkan rakyat dan tentara—bahkan tidak pernah membuat tentara tunduk di bawah Amir.

Ambisi Amir menguasai tentara benar-benar pupus kala dia terdepak dari kursi Perdana Menteri pada 1948. Kebanyakan tentara tetap lebih taat kepada perwira mereka di Markas Besar Tentara Yogyakarta, bukan Kementerian Pertahanan yang dipimpin Amir.

Gagal Pula di Lapangan Telik Sandi

Pada Juli 1946, Menteri Pertahanan Amir membentuk sebuah badan intelijen yang disebut Badan Pertahanan B. Bekas Komisaris Polisi Soekardiman ditunjuk menjadi kepalanya. Pembentukan Badan Pertahanan B itu sebenarnya agak aneh karena saat itu telah ada Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI) yang juga berfungsi sebagai badan telik sandi.

Kepala BRANI Kolonel Zulkifli Lubis tidak suka akan eksistensi Badan Pertahanan B itu. Dia adalah salah satu tentara didikan militer Jepang generasi pertama. Dia pernah bergabung dengan PETA dan mendapat pendidikan intelijen.

Belakangan, dalam sebuah wawancara dengan wartawan majalah Tempo (29/7/1989), Lubis menyebut Amir berambisi mengendalikan badan intelijen negara. Buktinya, BRANI kemudian di lebur ke dalam Badan Pertahanan B dengan sebutan baru: Bagian V. Amir yang tidak mempercayai bekas perwira didikan Jepang itu lantas menunjuk Abdurachman Atmosudirdjo—bekas letnan cadangan Angkatan Laut Kerajaan Belanda—untuk mengepalai Bagian V.

Penunjukan itu pun aneh karena menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007, hlm. 7) Abdoelrachman “tidak memiliki latar belakang pendidikan formil di bidang intelijen”. Dalam Bagian V itu pun Amir lagi-lagi menempatkan beberapa orang kiri sekutunya.

“Saya jadi wakil Abdoelrahman. Di situ ikut orang-orang PKI, seperti Fatkur, Tjoegito,” aku Lubis.

Tjoegito yang disebut Lubis itu adalah penasihat Bagian V. Tjogito adalah bekas pemimpin Pesindo yang dulunya pernah jadi tahanan Jepang pula seperti Amir.

Usia Bagian V tidak lama karena ia segera bubar seiring jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin pada awal 1948. Lagi pula, kinerja Bagian V juga kerap dikritik hanya menguntungkan orang-orang sayap kiri seperti Amir.

Laporan Kementerian Pertahanan RI Nomor 883 (tanggal 5 Maret 1948) dalam koleksi Arsip Nasional Indonesia menyebut, “Dari beberapa laporan-laporan yang tertentu di Bagian V, yang turunannya hanya dikirimkan kepada kliknya sendiri, tidak hanya di jawatan resmi, akan tetapi juga di badan yang tidak resmi, tidak hanya kepada Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertahanan Bagian C (ALRI), Markas besar Polisi Tentera Laut (MBPTL), Biro Perjuangan Djokosujono, akan tetapi juga kepada pucuk pimpinan Pesindo, Politibiro Partai Sosialis, Markas Besar PKI.”

Setelah habis karir politiknya di pemerintahan, Amir terlibat petualangan bersama Front Demokrasi Rakyat (FDR) di sekitar Madiun. Setelah tertangkap dalam petualangannya yang suram, Amir dihukum mati di Ngalihan bersama tokoh kiri lain yang terlibat.

Baca juga artikel terkait MENTERI PERTAHANAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi