Menuju konten utama

Baik-Buruk Sepakbola Indonesia di Bawah Komando Edy Rahmayadi

Prestasi buruk sepakbola Indonesia di kancah internasional hingga kematian suporter adalah beberapa catatan hitam selama Edy Rahmayadi memimpin PSSI.

Baik-Buruk Sepakbola Indonesia di Bawah Komando Edy Rahmayadi
Mantan Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi (kedua kiri) menyampaikan keterangan kepada pers terkait pengunduran dirinya seusai pembukaan Kongres PSSI 2019 di Nusa Dua, Bali, Minggu (20/1/2019). ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana

tirto.id - Dalam Kongres PSSI yang digelar di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Kamis 10 November 2016, Edy Rahmayadi resmi terpilih menjadi Ketua Umum PSSI periode 2016-2020. Waktu itu ia berhasil mengalahkan kandidat-kandidat lain: mulai dari Kurniawan Dwi Yulianto, Limbong, Eddy Rumpoko, Sarman, hingga Moeldoko.

Dari 107 anggota PSSI yang memiliki hak suara yang hadir, Edy berhasil mendapatkan 76 suara, alias lebih dari 50 persen. Pidato kemenangannya diwarnai aura optimisme.

“Kemenangan ini baru awal permulaan untuk maju. Kemenangan ini adalah kemenangan di persepakbolaan, kedaulatan sepakbola harus ada di tangan rakyat. Inilah yang akan kita atur,” kata Edy setelah menang, seperti diberitakan CNN Indonesia.

Ia tak luput menambahkan janji: “mendatang, pada waktu yang sangat singkat ini, kami akan berhadapan dengan yang dinamakan Piala AFF, SEA Games 2017, dan Asian Games 2018. Kemudian dituntut masuk pra Olimpiade pada 2022. [Dan] pada 2024, tuntutannya adalah U-23 harus main di Olimpiade.”

Lebih dari dua tahun setelah pidato itu, janji-janji Edy itu menguap di udara. Karena kondisi sepakbola Indonesia yang semakin buruk, Edy, yang menganggap bahwa menjadi Ketua Umum PSSI sebagai tantangan yang paling berat di sepanjang hidupnya, pun kalah.

Sebagai wujud pertanggungjawaban, dalam Kongres PSSI yang digelar di Nusa Dua, Bali, Minggu (20/1/19), dia memutuskan untuk mengundurkan diri. Ia mengaku gagal dan keputusannya untuk mundur itu berasal dari dirinya sendiri.

“Tidak ada yang menekan saya untuk mundur. Ini adalah keputusan yang terbaik untuk bangsa,” kata Edy, dilansir dari Antara.

Prestasi Buruk dan Rangkap Jabatan

Sepakbola Indonesia lebih banyak mencatatkan hasil tak memuaskan di kancah internasional di bawah komando Edy Rahmayadi.

Dimulai dari kandasnya asa timnas senior Indonesia untuk merebut Piala AFF 2016 lalu, kegagalan-kegagalan lainnya kemudian mengikuti: timnas U-22 gagal meraih medali emas SEA Games 2017 dan timnas U-23 gagal berbuat banyak dalam gelaran Asian Games 2016. Terakhir, timnas senior juga hanya menjadi lelucon dalam gelaran Piala AFF 2018.

Di antara kegagalan-kegagalan itu, kegagalan timnas senior dalam gelaran Piala AFF 2018 jelas paling menampar wajah PSSI. Sebelum turnamen digelar, PSSI gagal memperpanjang kontrak Luis Milla karena PSSI tidak mampu bersikap profesional. Sebagai gantinya, Bima Sakti kemudian ditunjuk menjadi pelatih dadakan. Timnas Indonesia pun tampil jauh dari harapan: tergabung bersama Thailand, Singapura, Filiphina, dan Timor Leste di Grup B, timnas hanya nangkring di peringkat empat.

Lantas, apa respons Edy menyoal kegagalan timnas di Piala AFF 2018 itu? Ia justru menyerang para wartawan. Edy mengatakan, “wartawan harus baik. Kalau wartawannya baik. Timnas juga baik.”

Yang menarik, jawaban Edy tersebut ternyata bukan satu-satunya pernyataan kontroversial yang pernah dilontarkan Edy selama menjabat sebagai Ketua Umum PSSI. Pada 20 Desember 2017 silam, sekitar empat bulan setelah kegagalan timnas U-22 meraih medali emas dalam gelaran SEA Games 2017, Edy juga pernah bertindak kontroversial dengan membulatkan tekad untuk mencalonkan diri sebagai gubernur Sumatera Utara. Apa yang dilakukannya itu memang sah-sah saja, tapi di tengah kondisi sepakbola Indonesia yang masih jauh dari harapan, pilihan Edy tersebut tentu sulit untuk dimengerti.

Keputusan Edy tersebut bahkan membuat John Duerden, pengamat sepakbola Asia, ikut bersuara. “Di banyak negara, hal ini akan dianggap sebagai sebuah lelucon, tapi fans Indonesia tahu lebih baik. Mencampuradukkan antara politik dan sepakbola adalah sama nyatanya dengan mencampuradukkan antara sambal dan saus,” tulis Duerden di Fox Sports Asia.

Duerden kemudian menyarankan bahwa Edy sebaiknya memilih salah satu, antara politik atau sepakbola. Namun, Edy ternyata memilih melahap dua-duanya. Saat ia dilantik menjadi Gubernur Sumatera Utara pada 5 September 2018 lalu, Edy masih menjabat sebagai ketua PSSI.

“Saya tak mau mundur dari PSSI. Karena saya cinta dengan PSSI. Kita punya manajemen. Ada waktu kegiatan kongres tahunan, ada kegiatan evaluasi, setiap periode ada jadwalnya. Jadi di mana pun ketua PSSI berada itu tak masalah,” tutur Edy seperti diberitakan CNN Indonesia pada Desember 2018 lalu.

Dari keputusannya itu, selain gagal membuat timnas senior berprestasi, kurang fokusnya Edy dalam memimpin PSSI juga kemudian menyebabkan masalah yang tak kalah pelik: kematian suporter yang belum diusut secara tuntas hingga kasus pengaturan skor.

Yang Belum Tuntas

Menurut data yang dicatat oleh Save Our Soccer, pada masa kepemimpinan Edy Rahmayadi, suporter tewas mencapai 19 kasus. 13 dari 19 kasus tersebut merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pelaku. Saat ini setidaknya ada empat kasus yang belum diselesaikan secara hukum.

Di antara empat kasus kematian suporter yang belum diusut tuntas, kasus meninggalnya Banu Rusman, suporter Persita Tangerang, tentu paling mendapatkan sorotan. Ia diduga tewas karena dipukuli oleh Kostrad, yang saat itu dikerahkan untuk mendukung PSMS Medan.

Sewaktu kejadian, Edy masih menjabat sebagai Pangkostrad (Juli 2015-Januari 2018). Karenanya, Edy kemudian berjanji akan mengusut kasus itu sampai tuntas.

“Saya berjanji mengusut tuntas aksi kerusuhan yang melibatkan suporter. Kami akan menghukum para personel jika terbukti menjadi pelaku kekerasan terhadap suporter Persita Tangerang. Kami juga akan evaluasi untuk proyeksi kemajuan setiap pertandingan,” kata Edy melalu akun Instagram miliknya.

Sayangnya, hingga Edy mundur dari kursi Ketua Umum PSSI, kasus kematian Banu belum diusut tuntas oleh PSSI.

Selain itu, selama Edy menjabat sebagai Ketua Umum PSSI, kasus pengaturan skor juga merajalela di Indonesia. Menurut laporan Jawa Pos pada 10 Januari 2019 lalu, hampir semua tim yang berkompetisi di Liga 2 musim 2018 bahkan terlibat dalam kasus pengaturan skor. Hal itu setidaknya diungkapkan oleh Muhammad Irham, salah seorang wasit yang bertugas memimpin jalannya Liga 2.

“Saya pastikan banyak klub di Liga 2, hampir semua [terlibat dalam match fixing]. Tapi ada beberapa yang tidak,” kata Irham seusai memberikan keterangan kepada penyidik Satgas Antimafia Bola seperti diberitakan Jawa Pos.

Yang menarik, kasus pengaturan skor itu ternyata juga melibatkan anggota PSSI. Johar Ling Eng (Anggota Komite Eksklusif PSSI), Priyanto (mantan anggota Komite Wasit PSSI), hingga Dwi Irianto (anggota Komdis PSSI) ditetapkan sebagai tersangka.

Lantas apa yang dilakukan oleh PSSI? Mereka justru kalah gesit dari Satgas Antimafia Bola untuk menangani masalah pengaturan skor tersebut.

Pada 8 Desember 2018 lalu, PSSI berencana membentuk Komite Ad Hoc untuk mengatasi persoalan pengaturan skor. Namun, saat Satgas Antimafia Bola yang baru dibentuk Kapolri pada akhir Desember 2018 sudah berhasil menangkap beberapa pelaku pengaturan skor hingga pertengahan Januari 2018 lalu, Komite Ad Hoc PSSI ternyata belum terbentuk. Malahan, pembentukan Komite Ad Hoc tersebut masih dibahas dalam Kongres PSSI 2019, berbarengan dengan mundurnya Edy Rahmayadi dari kursi Ketua Umum PSSI pada Minggu (20/1/19).

Dari sekian banyak catatan negatif tersebut, PSSI di bawah Edy bukan tanpa prestasi sama sekali. Salah satu yang paling mencolok adalah peringkat timnas senior yang naik di ranking FIFA. Per November 2018 atau setelah Piala AFF--di mana timnas tersingkir pada fase penyisihan grup--Indonesia berada di peringkat 159.

Pada November 2016, Indonesia masih berada di peringkat 179, lalu naik delapan peringkat pada Desember 2016.

Selain itu, beberapa prestasi yang pernah diraih adalah Juara Piala Tien Phong Plastik 2017 (timnas U16), juara Piala AFF U16 2018, peringkat ketiga Piala AFF 2018 (timnas futsal putra), dan perunggu SEA Games 2017 (futsal putri).

Baca juga artikel terkait PSSI atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Renalto Setiawan
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan