Menuju konten utama

Baik-buruk Penghapusan Isolasi Mandiri Penderita COVID-19 ala Anies

Gubernur Anies bakal melarang isolasi mandiri penderita COVID-19. Kebijakan ini ada positifnya, namun potensi negatif pun mengikuti.

Baik-buruk Penghapusan Isolasi Mandiri Penderita COVID-19 ala Anies
Seorang petugas membersihkan kamar menggunakan disinfektan di Fizz Hotel di Mataram, Lombok, NTB, Selasa (21/4/2020). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/foc.

tirto.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan membuat regulasi pengetatan perawatan pasien COVID-19. Seluruh warga yang positif COVID-19 tidak boleh lagi isolasi mandiri di rumah, tetapi di fasilitas pemerintah.

"Selama ini yang dianjurkan untuk melakukan isolasi di fasilitas milik pemerintah adalah mereka yang tinggal di pemukiman padat. Ke depan semua akan diisolasi di fasilitas milik pemerintah," kata dia saat meresmikan Tugu Peringatan COVID-19 di Sunter, Jakarta Utara, Selasa (1/9/2020). "Masyarakat yang terpapar positif wajib mengikuti ini."

Selama ini pasien COVID-19 yang dapat isolasi mandiri adalah yang tanpa gejala (Orang Tanpa Gejala/OTG). Masalahnya, kata Anies, tidak semua dari mereka "bisa melakukan isolasi dengan baik" dan belum tentu memiliki "kedisiplinan dan pengetahuan tentang protokol kesehatan."

Pasien yang mengalami gejala ringan atau tanpa gejala akan dirawat di Wisma Atlet Kemayoran, sementara yang bergejala sedang dan berat harus dirawat di rumah sakit. Anies mengaku telah berkoordinasi dengan Presiden Joko Widodo untuk merealisasikan kebijakan tersebut.

Baik Buruk

Pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga Surabaya Laura Navika Yamani mengatakan rencana ini patut didukung. "Saya menilai kebijakan itu sangat bagus untuk meminimalisasi dan memutus mata rantai penyebaran virus Corona di perumahan," katanya kepada reporter Tirto, Jumat (4/9/2020).

Anies pun berharap demikian. "Dengan begitu kita akan bisa--insya Allah--memutus mata rantai secara lebih efektif," katanya.

Laura menilai selama ini isolasi mandiri memang kurang efektif, sebagaimana dinyatakan pula oleh Anies. OTG masih melakukan kontak erat dengan orang lain dan beraktivitas di luar rumah selama 14 hari masa isolasi, sehingga berpotensi menularkan virus di lingkungan keluarga, kerabat dekat, sampai tetangga, terutama jika mereka tinggal di kawasan padat.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Faisal Yunus mengatakan selain "meminimalisasi penyebaran virus Corona," kebijakan ini juga membuat para pasien mendapatkan vitamin dan perawatan yang sesuai standar kesehatan, dan dengan demikian memperbesar peluang mereka sembuh.

Namun potensi negatifnya juga ada. Faisal bilang dengan mewajibkan seluruh pasien dirawat di fasilitas pemerintah, beban kerja tenaga kesehatan otomatis akan semakin tinggi. Mereka akan kewalahan bahkan berisiko terpapar virus yang dampak terburuknya adalah kematian. Sudah banyak tenaga kesehatan yang gugur karena virus ini.

"Maka pemerintah harus menambah tenaga kesehatan. Tapi masalahnya, berapa banyak tenaga kesehatan yang mau?" ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat.

Fasilitas kesehatan pun mungkin suatu saat tak akan lagi mampu menampung seluruh pasien. Saat ini saja ketersediaan tempat tidur rawat inap di seluruh RSUD DKI semakin menipis. Pada 4 September pukul 12.23, ruang isolasi tinggal tersedia 178, padahal kemarin saja penambahan kasus mencapai 1.359.

Sementara Wisma Atlet Kemayoran menangani 1.601 pasien yang terkonfirmasi positif.

Oleh karena itu Faisal mengatakan pemprov harus juga mempersiapkan tempat cadangan seperti hotel atau apartemen. "Tapi pertanyaan," katanya, "apakah pemerintah punya anggaran untuk memenuhi itu semua?"

Faisal juga mengingatkan pemprov harus pula memikirkan "memberi biaya hidup keluarga" jika yang diisolasi berstatus tulang punggung. "Dipikirkan juga bagaimana agar mereka tidak stres selama isolasi."

Dengan alasan keterbatasan tenaga medis, anggota DPRD DKI Fraksi PDI-P Gilbert Simanjuntak menilai sebaiknya Anies tak perlu membuat regulasi ini. "Beban tenaga medis menjadi sangat berat," kata dia melalui keterangan tertulis, Kamis. "Kelelahan membuat kewaspadaan tenaga medis berkurang, saat ini sudah lebih dari 100 orang dokter yang meninggal."

Persiapkan Mekanisme Detail

Fraksi lain di DPRD menilai meski tepat, kebijakan ini terbilang terlambat. Namun toh lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Oleh karena itu Anies perlu mempertimbangkan dan mengkalkulasi banyak hal lain.

Ketua Fraksi PSI di DPRD DKI Idris Ahmad misalnya mengatakan mekanisme penjemputan ke fasilitas isolasi harus dipikirkan masak-masak. "Ini sangat sensitif mengingat banyaknya kasus di mana warga menolak dan perlu untuk dijemput paksa," kata dia melalui keterangan tertulis, Kamis.

Hal lain adalah "menyediakan sarana-prasarana yang mencukupi" serta bantuan sosial lain bagi yang diisolasi, terutama jika mereka adalah pekerja harian yang tak bakal dapat uang jika tidak bekerja. "Apakah ada bantuan sosial khusus bagi mereka? Apakah ada perlindungan dari PHK?"

Semua pertanyaan-pertanyaan ini, kataya, "belum dijabarkan" oleh Gubernur Anies.

Baca juga artikel terkait ISOLASI MANDIRI COVID-19 atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino