Menuju konten utama

Bahtsul Masail NU: Modal Ma'ruf Amin Tampil Baik dalam Debat

Tradisi bahtsul masail menjadi salah satu modal Ma'ruf Amin sehingga tampil baik dalam debat putaran ketiga.

Bahtsul Masail NU: Modal Ma'ruf Amin Tampil Baik dalam Debat
Ma'ruf Amin memaparkan visi dan misi saat mengikuti Debat Capres Putaran Ketiga di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Penampilan Ma’ruf Amin pada debat Pilpres 2019 putaran ketiga menuai sejumlah pujian. Ia dinilai tampil di luar perkiraan. Penilaian ini muncul karena pada debat putaran pertama, Ma’ruf Amin amat irit bicara. Ia menjadi kandidat yang paling sedikit ngomong dibandingkan tiga kandidat lainnya.

Pada debat putaran pertama, dari 9.128 kata yang diucapkan oleh semua kandidat, ia hanya menyumbangkan 300 kata. Selain itu, ia juga hanya membahas tema terorisme, sementara tema hukum, HAM, dan korupsi dibahas oleh Jokowi, pasangannya. Pendeknya, penampilan Ma’ruf Amin tidak optimal.

Namun, pada debat putaran ketiga yang digelar di Hotel Sultan, Minggu (17/3/2019), ia mampu tampil lebih baik dan dapat mengimbangi penampilan Sandiaga Uno.

"Ekspektasi awalnya adalah pasangan Joko Widodo berusia 76 tahun itu akan berada di bawah bayang-bayang bekas pebisnis Sandiaga Uno [...] Tapi pada debat hari Minggu [...] Ma'ruf membuktikan ia mampu tampil baik dan bersaing seorang diri," catat media Singapura Straits Times.

Sejumlah pandangan yang meremehkannya, bersandar dari penampilan Ma’ruf Amin pada debat putaran pertama, ternyata mampu ia patahkan.

Seperti dilansir Liputan 6, pujian lain disampaikan Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Rosan Roeslani. Menurutnya, penampilan cawapres nomor urut 01 itu di luar dugaan.

“Saya rasa itu is beyond our expectation. Benar-benar jawaban beliau itu sangat tepat,” ucapnya.

Sebagaimana penampilan sebelumnya, Ma’ruf Amin berbicara tenang dan lambat. Artikulasinya jelas meskipun beberapa kali sempat jeda cukup panjang ketika hendak meneruskan kelimat.

Dalam debat yang berlangsung selama dua jam itu, ia berbicara sebanyak 2.612 kata, sementara Sandiaga 3.555 kata. Namun, hal ini tidak menunjukkan ketimpangan kualitas penampilan di antara keduanya. Tidak seperti prediksi sebelum debat putaran ketiga berlangsung.

Ditempa Organisasi dan Politik

Selain karena faktor usia, keraguan publik terhadap Ma’ruf dalam kontestasi Pilpres 2019, khususnya serial debat yang menonjolkan kecakapan berbicara, sebetulnya bisa dihindari jika melihat riwayat organisasi dan politiknya.

Sesuai dengan usianya yang sudah kepala tujuh, kiprahnya dalam organisasi dan politik juga begitu panjang. Senarai itu dapat dilihat salah satunya dalam Mereguk Kearifan Para Kiai (2018) yang ditulis Jamal Ma’mur Asmani.

Di lingkungan organisasi kepemudaan Nahdlatul Ulama, khususnya pada pertengahan 1960-an saat situasi politik nasional memanas, ia pernah menjadi Ketua Cabang GP Ansor Tanjung Priok (1964-1966) dan Ketua Front Pemuda (1964-1967).

Setelah situasi politik nasional mereda, Ma’ruf Amin menjadi Ketua NU Tanjung Priok (1966-1970), Wakil Ketua NU Wilayah DKI Jakarta (1968-1976), Anggota pengurus lembaga dakwah PBNU (1977-1989), Katib Aam Syuriyah PBNU (1989-1994), dan Rais Syuriyah PBNU (1994-1999).

Lalu pada periode Reformasi, tepatnya di lingkungan PBNU dan MUI, ia pernah menjabat sebagai Mustasyar (1998-2000), Rais Syuriyah (2004-2010 dan 2010-2015), Rais Aam Syuriyah (2015-2020), serta Ketua Umum MUI Pusat (2015-2020).

Selain kenyang berorganisasi, Ma’ruf Amin pun malang-melintang di kancah politik. Ia pernah menjadi Ketua Fraksi Golongan Islam DPRD DKI Jakarta (1971-1973), Ketua Fraksi PPP DPRD DKI Jakarta (1973-1977), dan Pimpinan Komisi A DPRD DKI Jakarta (1977-1982).

Menjelang tampuk kekuasaan nasional berganti dan di era reformasi, ia masih bertahan di dunia politik dengan menjadi anggota MPR (1997-1999), anggota DPR/MPR (1999-2004), Ketua Komisi VI DPR RI (1999-2001), dan Ketua Dewan Syuro DPP PKB (1998-2000).

Pembelahan periode yang disajikan dalam mencatat kiprahnya, baik saat berorganisasi di lingkungan NU maupun ketika bertarung di level politik nasional, menunjukkan ia mampu bertahan dalam tiga gelombang zaman: Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, dengan dinamika dan tantangannya masing-masing.

Digembleng dalam Bahtsul Masail

Kehidupan organisasi dan politik tentu adalah aktivitas yang meniscayakan kecakapan berkomunikasi, keteguhan berpendapat, dan kejernihan berpikir.

Dalam konteks debat Pilpres 2019, hal-hal ini dibatasi oleh durasi, pembagian kerja dengan pasangan, dan program-program yang telah disusun sebelumnya. Namun, bukan berarti tak menyisakan waktu untuk menguji argumentasi yang disusun secara cepat dan tepat.

Seperti banyak dilontarkan sejumlah kalangan, penampilan Ma’ruf Amin dalam debat putaran ketiga secara keseluruhan baik, bahkan dianggap di luar dugaan.

Selain rekam jejaknya yang panjang dalam organisasi dan politik, ia juga terbiasa dengan sebuah tradisi intelektual di tubuh Nahdlatul Ulama yang bernama bahtsul masail.

Infografik Ma’ruf Amin dan Bahtsul Masail
Infografik Ma’ruf Amin dan Bahtsul Masail

Secara harfiah, bahtsul masail berarti “pembahasan masalah-masalah”. Sementara makna secara luas dan ringkas adalah majelis musyawarah resmi para ulama yang membahas persoalan agama, sosial, politik, dan semua aspek kehidupan dari perspektif fikih.

Bahtsul masail digelar untuk membahas persoalan-persoalan kontemporer yang secara tersurat tidak diatur dalam sumber-sumber hukum Islam, yaitu Alquran, hadis, ijma’ ulama, qiyas, serta literatur-literatur klasik yang biasa disebut “kitab kuning”. Singkatnya, tradisi intelektual ini diselenggarakan untuk menghadirkan solusi atas kesenjangan antara teks dengan konteks.

Tradisi ini sudah lama hadir di pesantren-pesantren tradisional dan usianya lebih tua daripada Nahdlatul Ulama—organisasi Islam yang kemudian membentuk Lajnah Bahtsul Masa’il Diniyah.

Ahmad Zahra dalam Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999 (2004) menerangkan, setidaknya ada dua poin penting dari lembaga ini. Pertama, secara teoritis membahas dan memutuskan masalah-masalah kekinian yang mendesak untuk ditetapkan kepastian hukumnya. Kedua, secara praktis sebagai pegangan masyarakat Islam Indonesia, khususnya kaum Nahdliyin.

Untuk membahas persoalan-persoalan hukum dengan cara menjembatani antara teks dan konteks, tentu mensyaratkan keluasan ilmu, kecakapan berbicara, dan terbuka terhadap segala pendapat yang muncul. Dalam iklim intelektual seperti inilah Ma’ruf Amin ditempa.

“Kiai kan sebenarnya tidak terlalu sulit [menghadapi debat]. Latar belakang Kiai pun diajarkan soal debat kebangsaan. Bedanya kan forumnya saja. Biasanya kan bahtsul masail itu di NU,” ujar Ma’ruf Amin beberapa hari jelang debat.

Baca juga artikel terkait NAHDLATUL ULAMA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan