Menuju konten utama

Bahrain dan UEA Berdamai dengan Israel, Bagaimana Nasib Palestina?

Bahrain dan Uni Emirat Arab berdamai dengan Israel demi menghalau pengaruh Iran di Timur Tengah. Masalah Palestina tidak lagi menjadi isu penting.

Bahrain dan UEA Berdamai dengan Israel, Bagaimana Nasib Palestina?
Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam sebuah pertemuan di kantor Perdana Menteri di Yerusalem, Senin (22/1/2018). ANTARA FOTO/REUTERS/Ariel Schalit

tirto.id - Sebuah pesawat Boeing 737 dengan nomor penerbangan LY971 milik maskapai Israel El AI terbang dari Tel Aviv, Israel, menuju Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada akhir Agustus kemarin. Pesawat itu membawa rombongan delegasi Israel dan Amerika Serikat. Itu adalah momen bersejarah bagi Israel dan UEA karena merupakan penerbangan pertama yang menghubungkan kedua negara.

Sebelumnya, pada 13 Agustus 2020, Israel dan UEA sepakat berdamai dan menjalin hubungan diplomatik. Kesepakatan damai itu adalah salah satu proyek AS untuk menormalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab.

Tidak sampai sebulan, Bahrain mengikuti jejak UEA membuka hubungan resmi dengan Israel. Kesepakatan diplomati itu ditandai dengan panggilan telepon yang menghubungkan Presiden AS Donald Trump dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Raja Hamad bin Isa Al Khalifa dari Bahrain pada 11 September 2020.

Puncaknya, pada 15 September 2020, keempat negara ini menandatangani Kesepakatan Abraham—merujuk pada Nabi Abraham atau Ibrahim yang dihormati dalam Yudaisme maupun Islam—di Gedung Putih, AS. Israel diwakili langsung oleh Netanyahu, sementara UEA dan Bahrain masing-masing mengutus menteri luar negerinya.

"Rakyat Timur Tengah tidak akan lagi membiarkan kebencian terhadap Israel dikobarkan sebagai alasan untuk radikalisme atau ekstremisme," kata Trump sebagaimana diwartakan Aljazeera.

"Perdamaian ini akan meluas hingga mencakup negara-negara Arab lainnya dan pada akhirnya dapat mengakhiri konflik Arab-Israel, sekali dan untuk selamanya," kata Netanyahu.

Kesepakatan itu membuat UEA dan Bahrain menjadi negara kawasan Teluk Arab yang paling awal membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Sedangkan di lingkup Dunia Arab, mereka adalah negara ketiga dan keempat setelah Mesir dan Yordania. Mesir berdamai dengan Israel pada 1979, sementara Yordania pada 1994.

Kesepakatan Abraham mengundang reaksi antipati setelah diresmikan. Sekalangan warga Maroko hingga para intelektual dan oposisi di Bahrain berunjuk rasa mengecam sikap pemimpin dua negara Teluk itu.

Lain itu, Kesepakatan Abraham juga mendapat kecaman keras dari Iran. Pemerintah Iran menyebut Kesepakatan Abraham sebagai pengkhianatan terhadap dunia Islam dan Palestina.

Kandidat doktor Ilmu Politik Lund University Maysam Behravesh dan Hamidreza Azizi dari German Institute for International and Security Affairs dalam paparannya untuk Foreign Policy menilai bahwa respons itu adalah wujud kekhawatiran Iran terhadap potensi menguatnya ancaman Israel.

Terlebih lagi, letak geografis Bahrain dan UEA juga lebih dekat dengan Iran. Hanya dipisahkan oleh Selat Hormuz, Teheran khawatir pulau-pulau terluar UEA dipakai untuk aktivitas mata-mata. Kekhawatiran Iran itu beralasan karena UEA pernah menyatakan minatnya pada Iron Dome—sistem pertahanan rudal rancangan Israel yang terkenal canggih dan ampuh. Bersamaan dengan itu, Trump juga berjanji akan mengarahkan penjualan pesawat tempur tercanggih F-35 ke UEA.

Demi Menghalau Iran

Jika Iran khawatir pada Israel, sebaliknya, AS dan beberapa negara Arab juga ketar-ketir atas politik luar negeri Iran. Maka itu, normalisasi hubungan UEA-Bahrain dengan Israel yang disokong Trump itu juga dimuati misi untuk membendung Iran.

Sekilas, Kesepakatan Abraham jelas membawa keuntungan dalam bisnis, pariwisata, penerbangan langsung, dialog antar agama, hingga kerja sama sains dan teknologi. Di sisi lain, Kesepakatan Abraham juga menyebut soal peningkatan kerja sama keamanan dan stabilitas regional.

Meski tidak dijabarkan secara spesifik, para pandit politik Timur Tengah meyakini maksud poin itu adalah upaya bersama menghalau kekuatan Iran dan kelompok Islam politik transnasional yang dianggap mengancam kedudukan para penguasa Arab.

Jonathan Hoffman, peneliti geopolitik Timur Tengah dari George Mason University, dalam analisisnya yang terbit di Washington Post menjelaskan bahwa terbentuknya aliansi pembendung Iran ini dilatari oleh efek meletusnya Musim Semi Arab pada 2011 yang banyak mengubah peta geopolitik Dunia Arab. Arab Saudi, UEA, Mesir pasca-2013, Bahrain dan Israel adalah negara-negara yang berjuang keras menghalau gelombang revolusi di wilayahnya.

Negara-negara itu membentuk semacam aliansi kontra revolusi dan berhadapan dengan duo Turki-Qatar yang mendukung anasir perubahan di kawasan Arab. Proyek aliansi ini di antaranya adalah membantu penggulingan pemerintahan demokratis pertama di Mesir, serta memberikan dukungan finansial dan militer kepada pasukan anti-demokrasi di Libya, Tunisia, Suriah dan Yaman.

Aliansi ini lalu melebarkan agendanya untuk menghalau pengaruh Iran di kawasan. Langkah-langkah mereka semakin terlihat sejak dihelatnya Konferensi Warsawa pada Februari 2019. Konferensi itu diinisiasi oleh AS dan dihadiri diplomat Arab Saudi, UEA, dan Bahrain. Perdana Menteri Netanyahu dilaporkan turut hadir pula.

Laporan Associated Press menyebut agenda utama konferensi itu adalah membicarakan ancaman yang ditimbulkan Iran lewat proksi mereka di Irak, Suriah, Lebanon dan Yaman. Mereka menekankan bahwa menghadapi Iran menjadi prioritas utama sebelum penyelesaian konflik Israel-Palestina.

"Pembicaraan soal Iran sangat mendesak dibahas dalam Konferensi Warsawa karena kebijakan luar negeri Iran adalah biang utama instabilitas di Timur Tengah saat ini," kata utusan khusus AS untuk Iran Brian Hook.

Empat bulan setelah konferensi, UEA dan Israel mengadakan pertemuan rahasia di Washington, AS. Keduanya membahas keamanan regional, siber, maritim, hingga koordinasi diplomatik soal pengacauan pendanaan terorisme.

Infgrafik Perdamaian Israel dengan UEA dan Bahrain

Infgrafik Perdamaian Israel dengan UEA dan Bahrain. tirto.id/Fuadi

Palestina Semakin Marjinal

Bagi Palestina, Kesepakatan Abraham tentu saja kabar buruk. Palestina memandang kesepakatan itu melemahkan posisi Pan-Arab yang telah lama menyeru agar Israel hengkang dari Palestina dan menerima kemerdekaannya sebagai syarat normalisasi hubungan Arab-Israel.

Kesepakatan Abraham adalah tengara bahwa masalah Palestina tidak lagi menjadi pusat dari konflik Arab–Israel. Sebagai imbalan normalisasi, Israel hanya bersedia menangguhkan klaim kedaulatannya atas Tepi Barat. Bahrain dan UEA pun tidak berkeberatan dengan hal itu. Bahkan, tak ada yang mempertanyakan sampai kapan status penangguhan itu berlaku.

Douglas J. Feith, mantan sekretaris Kementerian Pertahanan AS era George W. Bush, dalam analisisnya untuk Foreign Policy menyebut simpati kepada rakyat Palestina tidak lantas hilang gara-gara Kesepakatan Abraham. Tapi, para petinggi negara-negara Arab kehilangan kesabaran terhadap Palestina yang kacau, politisinya korup, dan pertumbuhan ekonominya rendah.

“Mereka (Palestina) membutuhkan reformasi politik—pemimpin baru, institusi baru, ide-ide baru—atau mereka akan menjadi sama sekali tidak relevan di mata dunia, termasuk dunia Arab yang lebih luas,” tulis Feith.

Namun, bukan berarti kepemimpinan Israel sekarang ini lebih baik kondisinya dibanding Palestina. Penulis politik Awad Abdelfattah dalam opininya untuk Middle East Eye menyebut pemerintah Israel sendiri diguncang gelombang protes atas skandal korupsi dan penyalahgunaan jabatan yang menyeret nama Netanyahu.

Maka itu, Kesepakatan Abraham sangat berarti bagi Netanyahu. Itu adalah amunisinya merebut kembali hati para pendukungnya.

Setelah Bahrain dan UEA, Trump menargetkan akan ada lima negara Arab lagi yang bergabung dengan Kesepakatan Abraham untuk semakin mengisolasi Teheran. Sejumlah analis politik Timur Tengah memprediksi Oman sebagai negara Teluk berikutnya.

Arab Saudi juga masuk kandidat, meski dikenal teguh tak akan mengakui Israel sebelum Palestina merdeka. Kemungkinan ini sebenarnya tak terlalu mengejutkan mengingat Kerajaan Saudi di bawah pimpinan Putra Mahkota Muhammad bin Salman tak malu-malu lagi menutupi ketidaksukaannya terhadap Iran dan revolusi Musim Semi Arab.

Baca juga artikel terkait ISRAEL atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Fadrik Aziz Firdausi