Menuju konten utama

Bahkan Air Hujan Tak Lagi Aman Dikonsumsi Akibat Kontaminasi PFAS

Zat PFAS yang sulit terurai kini mencemari air hujan. Tak hanya di wilayah padat penduduk, tapi juga di wilayah terpencil seperti Antartika dan Tibet.

Bahkan Air Hujan Tak Lagi Aman Dikonsumsi Akibat Kontaminasi PFAS
Ilustrasi Hujan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Saya ingat sekali sewaktu kecil di Magelang, ketika musim hujan tiba, penduduk desa berbondong-bondong keluar rumah. Anak-anak mandi hujan dengan riang. Menengadahkan kepala dan merasakan rintik air jatuh ke dalam mulut mereka.

Sementara itu, orang dewasa sibuk menadah hujan dalam ember dan penampungan sebagai bekal air minum. Nantinya, air tadah hujan itu diendapkan, kemudian disaring secara sederhana dengan kaus bekas dan alat saring buatan—tersusun dari batu, kerikil, dan pasir.

Kami mengandalkan air tadah hujan bertahun-tahun lamanya karena air tanah sering kali kering saat musim kemarau, sementara sistem air perpipaan baru memasuki desa di era 2000-an.

Akibat kelangkaan air, sejumlah wilayah di Indonesia sampai sekarang masih menggunakan air hujan dari sistem penampuangan untuk konsumsi harian. Wilayah Nusa Tenggara atau Gunung Kidul adalah sebagian contohnya.

Tirto pernah mengulas bahwa ketersediaan air di sebagian besar wilayah Pulau Jawa dan Bali sudah tergolong langka hingga kritis. Sementara itu, ketersediaan air di Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan diproyeksikan akan menjadi langka atau kritis pada 2045.

Bappenas mencatat, kerusakan tutupan hutan akan memicu terjadinya kelangkaan air baku, terutama untuk pulau-pulau yang tutupan hutannya sangat rendah seperti Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

Lain itu, kapasitas sistem penyediaan air minum (SPAM) juga masih terbatas. Sistem air perpipaan di Indonesia baru menjangkau 21,08 persen penduduk. Artinya, hanya sekitar 2 dari 10 orang di Indonesia yang saat ini menggunakan air dari sistem perpipaan nasional.

Kelangkaan air bersih juga berlaku untuk air minum. Menurut RPJMN 2020-2024, hanya 6,87 persen rumah tangga yang memiliki akses air minum aman. Sungguh ironis mendapati rakyat kesulitan mendapat akses air bersih di negara yang dijuluki sebagai negara maritim ini.

Penderitaan ini tak lekang berakhir sebab bumi semakin tak ramah bagi penghuninya. Baru-baru ini, sebuah studi pun mengungkap bahwa kita tak lagi bisa mengosumsi air hujan akibat kandungan “bahan kimia abadi” dalam jumlah besar.

Tak Ada Tempat yang Lolos dari Air Hujan Berbahaya

“Bahan kimia abadi” adalah julukan untuk zat perfluoroalkil dan polifluoroalkil (PFAS). Zat ini merupakan zat kimia buatan manusia yang sangat sulit terurai sehingga dijuluki “abadi”. Ia terdiri dari molekul yang saling terhubung dan terurai sangat lambat ketika larut dalam air.

PFAS lazim digunakan sebagai bahan pembuat perabotan rumah tangga sejak dekade 1940-an. Ia juga umum dipakai untuk membuat alat masak antilengket, kain antinoda, dan baju antiair. Mikroplastik—hasil akhir dari semua produk plastik dan limbah industri yang kita buang—adalah salah satu sumber PFAS.

Sebuah studi dalam jurnal Environmental Science & Technology (2022, PDF) menyebut bahwa air hujan yang tercemar PFAS tak hanya terdapat di wilayah padat penduduk, tapi juga di daerah terpencil seperti Antartika dan Dataran Tinggi Tibet.

“Kadar ‘bahan kimia abadi’ di atmosfer terlampau tinggi sampai-sampai air hujan berbahaya bagi manusia karena paparannya melebihi standar yang ditentukan,” begitu simpulan para peneliti.

Infografik Air Hujan Tak Lagi Aman

Infografik Air Hujan Tak Lagi Aman. tirto.id/Fuad

Standar yang dimaksud para peneliti itu adalah batas aman planet, yakni batas yang ditetapkan agar bumi tetap layak huni. Jika batasan ini dilampaui, akan timbul kerusakan serius pada ekosistem bumi.

Mulanya, para peneliti menguji hipotesis dengan membandingkan kadar empat jenis asam perfluoroalkil (PFAAs)--yakni PFOS, PFOA, PFHxS, dan PFNA—di berbagai media lingkungan global (air hujan, tanah, dan air permukaan).

“Berdasar pengamatan pada empat jenis PFAAs, kami menyimpulkan kadar PFAS pada air hujan, air permukaan, dan tanah di berbagai daerah telah melampaui batas aman planet.”

Di lain sisi, Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) justru baru merevisi ambang batas PFAS menjadi 37,5 juta lebih rendah dari standar sebelumnya. Pedoman baru tersebut keburu rampung sebelum hasil studi keluar.

Sampai di titik ini, Anda mungkin bertanya-tanya, bagaimana PFAS bisa ada di air hujan?

Banyak negara sebenarnya sudah menghentikan produksi bahan-bahan dengan PFAS, kecuali Tiongkok. Mereka sadar bahwa PFAS terbukti berbahaya bagi lingkungan. Namun karena sifatnya yang sulit terurai, PFAS masih berkitar di permukaan Bumi dan atmosfer.

Siklus PFAS berputar dari laut ke udara melalui penguapan air laut. Arus udara membawa butiran uap air ini ke atmosfer, membentuk awan hujan, kemudian berakhir kembali ke Bumi melalui hujan.

Teknologi untuk memfilter PFAS dari air memang sudah ada, tapi sangat mahal dan tidak cukup untuk mengurangi paparannya sampai ke batas aman. Pun manusia belum menemukan cara untuk benar-benar menghilangkan kadar PFAS dalam air.

“Kita cuma bisa pasrah menunggu ia terurai secara alami dalam waktu beberapa dekade mendatang,” kata Profesor Ian Cousins dari Departemen Ilmu Lingkungan Universitas Stockholm, penulis utama studi tersebut.

Air hujan tak lagi layak diminum sebab PFAS berdampak buruk bagi tubuh. Ia terbukti bisa merusak sistem imun, berefek pada sistem kardiovaskular, memengaruhi kesuburan dan perkembangan anak, juga menekan respons anak terhadap vaksin dengan membikin vaksin jadi kurang efektif. PFAS juga diduga menyebabkan kanker.

Memang, air minum industri tidak dibuat dari air hujan. Namun, masih banyak orang di seluruh dunia yang memasok kebutuhan air hariannya dari air tadah hujan. Karenanya, peneliti turut mendesak industri yang masih menggunakan PFAS dalam produksinya untuk membayar kerugian pencemaran ini, termasuk menghentikan aktivitas produksinya.

Baca juga artikel terkait AIR HUJAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi