Menuju konten utama

Bahaya The Good Girl Syndrome & Tuntutan Selalu Jadi Anak Baik

Bagaimana langkah yang mungkin dapat dicoba untuk sembuh dari sindrom Good Girl Syndrome?

Bahaya The Good Girl Syndrome & Tuntutan Selalu Jadi Anak Baik
Ilustrasi platonic parenting. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kita kerap mendengar tuntutan dari keluarga atau juga lingkungan sekitar, seperti “Jadilah rajin”, “jangan buat malu ayah”, “duduk lah di sini, dan diam, jangan ribur”, atau ungkapan lain yang mendikte contoh-contoh perbuatan baik yang harus Anda lakukan.

Sejak dini, ekspetasi banyak orang menentukan kita untuk selalu bersikap baik, mengikuti aturan, tidak banyak tingkah. Namun, mari coba dilihat lebih jauh lagi.

Sebagaimana ditulis dalam Psychcentral, aturan-aturan yang menuntut diri menjadi seseorang yang baik atau dikenal dengan The Good Girl Syndrome tersebut telah memaksa setiap orang untuk menyesuaikan diri, mengakui, dan bermain aman di setiap hal. Oleh karena itu, good girl syndrome justru membuat diri menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri.

Orang yang memiliki good girl syndrome cenderung melakukan sesuatu dengan aman, dengan menghindari kritik, penolakan, konflik, dan kesalahan.

Setiap melakukan sesuatu, sindrom tersebut memaksa seseorang untuk menyenangkan orang lain sehingga diri sendiri bebas dari kesalahan, dan tentu mengorbankan diri sendiri yang sesungguhnya bisa jadi tidak suka untuk melakukan hal tersebut.

Psikolog Beverly Amsel, Ph.D., menulis dalam Good Therapy bahwa ia sering menemukan kasus di mana orang merasa tidak nyaman, bahkan mengalami gangguan kecemasan akibat sikap diri sendiri yang cenderung menyenangkan orang lain.

“Menyenangkan orang lain memiliki dampak serius terhadap kehidupan,” tulis Amsel.

Di sisi lain, adanya tuntutan untuk menjadi baik dalam bentuk teriakan dari orang tua, atau kemarahan baik verbal maupun non-verbal, kepada anak juga dapat memicu good girl syndrome dalam diri seseorang menurut Good Therapy.

Anak akan merasa rendah diri, buruk, bahkan tidak layak, sehingga terus mempertanyakan bagaimana cara untuk membuat orang tua tidak memarahi mereka. Kemudian, muncul lah aksi-aksi yang hanya menyenangkan orang lain akibat good girl syndrome tersebut.

Lantas, bisakah menyembuhkan diri dari good girl syndrome ini? Terdapat lima langkah yang mungkin dapat dicoba untuk sembuh dari sindrom ini menurut Psychology Today, sebagai berikut:

1. Tanyakan kepada diri sendiri apa yang dikehendaki

Sebuah penelitian yang dihelat oleh Universitas Harvard menemukan hanya 7 persen dari perempuan lulusan master yang berhasil negosiasi gaji dengan calon karyawannya. Sementara itu, 57 persen dari laki-laki berhasil melakukannya.

Hal ini menunjukkan bahwa siapapun tidak akan mendapatkan apa yang ia mau ketika tidak memintanya.

2. Bilang tidak

Orang-orang akan selalu minta bantuan. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Namun, ketika Anda tidak mampu untuk membantunya, maka lebih baik bilang tidak.

3. Katakan apapun yang ingin Anda katakan

Jangan acuhkan seseorang yang menunjukkan ketidakhormatannya pada Anda. Bahkan ketika ia tidak sopan, katakan padanya. Jika Anda tidak mengatakan apapun yang ingin Anda katakana dengan jujur, dan terus memendamnya, segala hal tidak akan berubah. Jadilah berani.

4. Tetap di tempat Anda

Tidak ada yang salah dengan nilai kehidupan yang Anda terapkan selama Anda terus belajar. Banyak orang mencoba mempengaruhi orang lain dengan memberikan opini mereka, yang bahkan ngawur. Tetap lah pada pendirian Anda sendiri, namun jangan lupa untuk terus belajar dan memperbaiki diri.

5. Perlakukan orang lain seperti Anda ingin orang lain memperlakukan Anda

Mengubah diri dari seseorang yang “baik” menjadi “kuat” tidak boleh membuat Anda menjadi tidak sopan, dan bahkan tidak empati kepada orang lain. Tetap perlakukan orang lain dengan baik, penuh hormat, dan penuh pertimbangan, namun Anda bukan lah Anda yang dahulu.

Baca juga artikel terkait PARENTING atau tulisan lainnya dari Dinda Silviana Dewi

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Dinda Silviana Dewi
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Agung DH