Menuju konten utama

Bahaya Satpam di Bawah Komando Polri: Bukan Sekadar Warna Seragam

Satpam semakin berada di bawah kontrol Polri. Ini berbahaya baik bagi masyarakat atau bagi satpam sendiri.

Bahaya Satpam di Bawah Komando Polri: Bukan Sekadar Warna Seragam
Contoh pelatihan penggunaan Drill Borgol POLRI yang dilaksanakan pada Pelatihan Gada Pratama di SECOM Training Center Ciawai. foto/siapsecurity.co.id

tirto.id - Kapolri Idham Azis menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa. Salah satu unit yang diatur di dalamnya adalah satuan pengamanan (satpam).

PAM Swakarsa sebetulnya sudah ada di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Nasional. Sementara mengenai satpam, ada Perkap Nomor 24 Tahun 2007 tentang Sistem Managemen Pengamanan. Di dalamnya mengatur mekanisme perekrutan satpam, pendidikan kilat, hingga keterlibatannya dalam Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP).

Beberapa di antaranya mencakup jasa konsultan pengamanan, jasa diklat satpam, jasa penyedia tenaga kerja satpam, jasa penyedia peralatan keamanan, hingga jasa pengamanan distribusi uang, emas, dan barang berharga.

Yang membuat peraturan baru itu berbeda adalah diubahnya seragam satpam jadi warna cokelat dan disertai pangkat seperti anggota kepolisian. Di aturan itu juga diatur bahwa satpam bisa berlatar belakang purnawirawan Polri dan TNI--sudah menjadi warga sipil.

Karo Penmas Divisi Humas Polri Awi Setiyono mengatakan “filosofi baju satpam warna cokelat muda dan cokelat tua untuk celana, identik dengan warna tanah atau bumi, kayu dan batu yang berarti warna alami,” Senin (14/9/2020) lalu.

Cokelat merupakan warna netral yang melambangkan kebersahajaan, stabilitas, kehangatan, rasa aman dan nyaman, rasa percaya, keanggunan, ketabahan, serta kejujuran. Kemiripan warna diharapkan dapat menimbulkan kedekatan emosional dengan warga dan memuliakan profesi satpam.

Ketua Asosiasi Profesi Satpam Indonesia (APSI) Azis Said, yang terlibat dalam rancangan peraturan tersebut, menilai setidaknya ada lima pengaruh yang muncul dari peraturan baru ini. Pertama adalah pengubahan “satpam” menjadi “satkamling.” Mereka hanya akan direkrut dan dilatih di bawah BUJP dan perusahaan. “Di luar itu tidak bisa. Orang kaya kalau mau punya satpam, harus order lewat BUJP. Ini agar satpam memperoleh hak-haknya: UMP, BPJS, upah lembur, dan sebagainya,” kata Azis saat dihubungi, Rabu (16/9/2020) sore.

Kedua adalah berubahnya warna seragam. Ketiga, satpam memiliki pangkat dan jenjang. Selama ini satpam memiliki tiga tingkat: satpam pelaksana, supervisor satpam, dan manajer satpam. Di peraturan yang baru, tiap tingkatan akan memiliki tiga golongan berbeda. Azis mengatakan pembedaan itu untuk memastikan jenjang karier dan penghargaan terhadap kompetensi.

Keempat adalah pengukuhan. Kelima adalah satpam memiliki emblem dan lencana, sebagai tanda kewenangan Polri secara terbatas, kata Azis.

Azis menilai perubahan warna seragam satpam menjadi mirip Polri bisa membikin masyarakat “merasa aman.”

Bukan Hanya Masalah Warna

Berubahnya warna seragam satpam rentan menimbulkan masalah, menurut peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto. Ia rentan disalahgunakan penggunanya, juga oleh polisi mengingat institusi ini kerap menyebut “oknum” ketika ada anggota terkena kasus.

“Potensi itu sangat ada,” kata Bambang saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu siang.

Azis Said mengatakan para satpam memang bisa membantu kerja polisi. “Istilahnya Mabes Polri, sebaran polisinya bisa lebih banyak,” kata Azis. “Rasio anggota polisi kita masih rendah. Ketentuan PBB, satu banding empat ratus. Di Indonesia, masih satu banding tujuh ratus. Nah, satpam ini bisa membantu.”

Di sisi lain, perubahan warga seragam ini akan mengurangi rasa percaya diri anggota Polri yang merasa disamakan dengan satpam. Jika demikian, lanjutnya, bukan tak mungkin akan ada usulan ganti seragam polisi dan berujung pada kenaikan anggaran.

Hal senada diucapkan oleh Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati. Ia menilai pengubahan warna seragam satpam menjadi mirip dengan polisi semacam strategi Polri untuk semakin memperpanjang tangan di masyarakat. “Justru semakin bahaya karena tak bisa dibedakan. Penyalahgunaannya besar sekali,” kata Asfin, Rabu sore.

Ia juga berbahaya bagi satpam itu sendiri. Faktanya sejak 2010 anggota Polri rendahan kerap menjadi sasaran terorisme. Kata Asfin, anggota Polri saja kerap tak mampu menghindar dari serangan teroris, apalagi sekelas satpam yang “tidak punya pelatihan melawan teroris, senjata api, dan wewenang yang beda.” Asfinawati menyayangkan Kapolri Idham tak berpikir sejauh itu.

Azis Said sedikit tak sepakat. “Untuk kasus itu, tergantunglah. Lama-lama kan warga bisa membedakan mana satpam dan mana polisi,” katanya.

Bambang menilai daripada membuat peraturan yang malah menimbulkan masalah baru, Polri harusnya lebih membantu pemerintah yang sedang giat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cara memberantas pungutan liar (pungli) yang banyak terjadi di bisnis jasa pengamanan.

“Pungli di bidang satpam ini sangat besar sekali. Nilainya bisa ratusan miliar rupiah per tahun untuk seluruh Indonesia. Modusnya bisa mulai dari perizinan BUJP hingga pelatihan satpam,” jelas Bambang.

Kata dia, kendati sudah diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 tahun 2016 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), realitas di lapangan sangat berbeda. “Faktanya di lapangan perizinan itu biayanya membengkak, bukan hanya untuk PNBP di pusat, tapi juga di masing-masing polda,” katanya.

Baca juga artikel terkait SATPAM atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino