Menuju konten utama

Bahaya Pernyataan Kapolri soal 'Ruang Komunikasi' Kasus Soenarko

Tito Karnavian bilang kasus Soenarko masih bisa "dikomunikasikan". Pernyataan ini dikritik karena berbahaya, juga bisa ditafsirkan lain oleh bawahannya--dan lantas bisa jadi blunder.

Bahaya Pernyataan Kapolri soal 'Ruang Komunikasi' Kasus Soenarko
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian memberikan keterangan mengenai penindakan terduga teroris seusai mengikuti rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (22/5/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - “Saya kira masih bisa terbuka ruang komunikasi untuk masalah Soenarko ini,” kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Kamis (13/6/2019) kemarin. Pernyataan Tito menuai kritik karena tidak sesuai dengan koridor hukum, rentan multitafsir, dan bisa jadi blunder.

Tito berkata demikian saat membandingkan antara kasus Soenarko dengan Kivlan Zen, yang sama-sama purnawirawan TNI. Soenarko adalah bekas Danjen Kopassus, sementara Kivlan adalah eks Kepala Staf Kostrad. Kivlan dituduhkan kasus makar, sedangkan Soenarko diduga terlibat dugaan kepemilikan senjata api ilegal.

Semuanya dalam konteks besar kerusuhan 21-22 Mei yang menyebabkan sembilan orang meninggal.

“Senjatanya [Soenarko] jelas dimiliki oleh beliau, waktu di Aceh. Lalu dibawa ke Jakarta, kemudian belum ada rencana senjata itu akan digunakan untuk melakukan pidana tertentu. Dalam kasus Kivlan Zen, grade-nya beda,” lanjut Tito.

Kepala Sub Direktorat I Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes Daddy Hartadi mengatakan senjata yang menyerupai senapan jenis M4 Carbine itu adalah hasil sitaan dari kombatan GAM. Pada 2009, Soenarko meminta senjata itu diserahkan ke Heriansyah, orang kepercayaannya. Pada 2011, saat Soenarko pensiun, senjata masih ada di tangan Heriansyah. Soenarko lantas memintanya membawa senjata itu ke Jakarta. Saat dikirim pada Mei 2019, senjata itu disita polisi.

Daddy bilang Soenarko mengakui kalau itu memang senjatanya. Pun dengan Heriansyah. Senjata itu masih berfungsi dengan baik dan bisa “membinasakan makhluk hidup.”

Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani mengkritik pernyataan Tito dengan menegaskan bahwa dalam hukum tidak dikenal istilah ‘ruang komunikasi’. “Yang ada ialah yang bersangkutan terbukti atau tidak atas sangkaan tindak pidana yang dituduhkan.”

Kepada reporter Tirto, Kamis (13/6/2019), Yati mengatakan jika terdapat bukti yang cukup dan jelas, maka proses hukum dilanjutkan. Jika tidak, kasus dihentikan sebagaimana tertera dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP.

“Sebenarnya apa yang dimaksud masih ada ruang komunikasi? Profesionalisme Polri dipertaruhkan dan dipertanyakan bila proses hukum atau penghentian penyidikan kasus ini tidak mengacu pada aturan hukum yang ada,” tegas Yati.

Kemudian dia bilang pernyataan ini dapat menimbulkan spekulasi, misalnya dugaan munculnya kesepakatan-kesepakatan tertentu, atau sangkaan bahwa polisi tengah diintervensi oleh entah siapa.

“Akan terjadi hal demikian (multitafsir) jika yang dijadikan rujukan bukan aturan hukum dan ‘ruang komunikasi’ tidak jelas maksud dan tujuannya,” katanya.

Sebelum Tito berkata demikian, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengaku ragu jika Soenarko bersalah. “Tidak mungkin seorang Pak Narko yang bekas pangdam meninggalkannya [senjata] begitu saja. Pasti yang mengirim itu juga Satgas BAIS atau BIN,” tuduh Gatot. “Pasti itu,” tambahnya, meyakinkan pewawancara.

Yati lantas mendesak Polri jangan tebang pilih. “Polri wajib profesional dan memegang teguh prinsip agar tidak terseret dalam kepentingan politik.”

Kritik serupa disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana. Dia menegaskan bahwa sangat berbahaya jika ada ‘ruang komunikasi’ untuk kasus hukum yang menjerat orang-orang tertentu.

“Kapolri harus klarifikasi apa maksud ‘ruang komunikasi’ itu. Polri jangan mempolitisasi penegakan hukum, mereka harus independen, transparan, dan akuntabel dalam menyidik peristiwa ini,” kata Arif kepada reporter Tirto.

Arif berpendapat kerja-kerja penyidikan, termasuk penetapan tersangka, harus dipertanggungjawabkan kepada publik melalui pengadilan. Hasil penyidikan semestinya juga tidak diumbar ke publik supaya tidak terjadi trial by press dan menghormati prinsip praduga tidak bersalah.

“Sebaiknya kepolisian segera tuntaskan penyidikan dan bawa tersangka ke pengadilan,” ujar dia.

Sementara itu, Guru Besar Bidang Hukum Acara Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, mengatakan bahwa ‘ruang komunikasi’ bisa jadi senjata makan tuan dan melemahkan proses hukum itu sendiri.

“Kalau Kapolri berkata seperti itu, penyidik di bawahnya bisa blunder. Perkara bisa tidak dilanjutkan, bisa juga jadi mengambang,” kata Hibnu kepada reporter Tirto. “Kalimat itu kurang pas,” tambahnya.

“Kami Akan Seobjektif Mungkin...”

Sejauh ini kasus kerusuhan 21-22 Mei masih gelap. Belum diketahui siapa aktor intelektual di balik itu semua. Pun dengan pelaku penembakan para korban--Komnas HAM menyebut ada empat dari sembilan korban yang tewas karena peluru.

Kadiv Humas Polri Irjen Muhammad Iqbal menegaskan bahwa Polri tengah bekerja objektif, termasuk soal kasus yang menjerat para purnawirawan.

“Kami akan seobjektif mungkin, sedetail mungkin, untuk investigasi seluruh rangkaian peristiwa bukan hanya fokus pada sembilan yang diduga ini yang jadi korban,” kata Iqbal di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (11/6/2019). “Nanti ada waktunya... akan sampikan ke publik,” tambahnya.

Hal serupa diungkapkan Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra.

“Kepolisian itu salah satu tugas pokoknya mengemban fungsi penegakan hukum, segala proses penegakan hukum harus berdasarkan fakta dan tidak boleh berasumsi,” ujar Asep Adi Saputra di Mabes Polri, Rabu (12/6/2019).

Baca juga artikel terkait AKSI 22 MEI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino