Menuju konten utama

Bahaya Perekrutan Anak oleh NII & Motifnya dalam Kasus Terorisme

Densus 88 Antiteror menangkap 16 anggota Negara Islam Indonesia (NII) di Sumatra Barat guna membongkar jaringan NII.

Bahaya Perekrutan Anak oleh NII & Motifnya dalam Kasus Terorisme
Ilustrasi teroris. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Densus 88 Antiteror menangkap 16 anggota Negara Islam Indonesia (NII) di Sumatra Barat guna membongkar struktur jaringan NII tingkat pusat dan daerah. Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Gatot Repli Handoko menjelaskan tujuan para anggota NII saat ini.

“Secara garis besar keterlibatan 16 tersangka adalah mengubah ideologi negara, berniat menggulingkan pemerintahan yang sah bila NKRI sedang chaos, melakukan berbagai kegiatan i'dad atau latihan ala militer secara rutin,” ucap dia, di Mabes Polri, Senin (28/3/2022).

Tujuan lainnya ialah merencanakan persiapan logistik berupa persenjataan, perekrutan anggota di wilayah Sumatra Barat dengan melibatkan anak-anak, kemudian terhubung dengan kelompok teror di Jakarta, Jawa Barat, dan Bali.

“Ke-16 tersangka disangkakan dengan Pasal 15 juncto Pasal 7 dan/atau Pasal 15 juncto Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018,” jelas Gatot.

Pada 7 Agustus 1949, melalui pertimbangan yang panjang, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo memproklamasikan NII di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Proklamasi NII tersebut disertai dengan sepuluh penjelasan, termasuk penegasan bahwa organisasi ini meliputi seluruh wilayah Indonesia dan seluruh bangsa Indonesia.

Kartosoewirjo juga telah mempersiapkan konsep-konsep bentuk dan sistem pemerintahan serta susunan Dewan Imamah NII. Dalam susunan tersebut, Kartosoewirjo mengangkat dirinya sebagai imam, panglima tertinggi, serta kuasa usaha. Sedangkan untuk wakil imam sekaligus sebagai komandan divisi adalah Karman.

Posisi Menteri Dalam Negeri dan Menteri Penerangan masing-masing dipegang oleh Sanusi Partawidjaja dan Thaha Arsyad; Menteri Keuangan diduduki oleh Udin Kartasasmita, sedangkan Menteri Pertahanan dan Kehakiman, diemban oleh Raden Oni dan Ghazali Thusi.

Perekrutan Anak jadi Anggota NII

Perihal perekrutan anak-anak, Stanislaus Riyanta, Direktur Pusat Studi Politik dan Kebijakan Strategis Indonesia, menjelaskan anak berada pada masa rentan yang mudah dipengaruhi dan mudah untuk diindoktrinasi, anak juga butuh figur. Situasi ini dimanfaatkan oleh NII untuk melakukan perekrutan anggota.

“Apalagi jika perekrut mempunyai relasi kuasa terhadap anak tersebut. Anak-anak ini adalah korban dari kelompok NII,” kata dia kepada Tirto, Selasa (29/3/2022).

Anak lebih mudah direkrut karena adanya relasi kuasa, dan lebih mudah diindoktrinasi karena belum mempunyai pemahaman yang cukup. Apalagi bila orang tuanya tidak melindungi dan berpendidikan sehingga bisa membimbing anak. Kemudahan inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok tersebut untuk menambah kekuatan.

Selain itu, NII menampilkan figur yang dibutuhkan oleh usia anak-anak dan sekaligus memanfaatkan kebutuhan psikologis anak.

“NII adalah organisasi yang berniat mengganti ideologi Pancasila, melawan pemerintah, walaupun saat ini NII belum menggunakan cara kekerasan, tetapi dari informasi yang diperoleh mereka melakukan kegiatan yang arahnya pada persiapan untuk melakukan aksi teror,” sambung Riyanta.

Riyanta menilai NII bisa dikategorikan sebagai organisasi teroris karena kegiatannya adalah persiapan untuk mengganti ideologi Pancasila, melawan negara, dan cara yang akan digunakan adalah kekerasan.

Jumlah anggota NII lebih dari 100 ribu orang dan terus bertambah. Saat ini NII belum siap untuk melakukan serangan, tetapi jika dibiarkan tidak ada tindakan untuk mencegah aktivitas mereka yang melakukan berbagai persiapan termasuk pelatihan, maka serangan teror dari NII bukan hal yang mustahil dirancang untuk beberapa tahun mendatang.

Aksi kekerasan menjadi salah satu jalan bagi kelompok radikal ideologis tersebut, terkait sasaran atau cara serangannya tentu akan berorientasi pada cara-cara kelompok transnasional yang sudah terjadi. Namun, tentu tidak mudah terjadi lantaran aparat keamanan dan Densus 88 akan mencegah kekerasan itu.

“Aksi kekerasan mungkin akan sulit dilakukan, tapi radikalisme dalam arti penyebaran paham radikal kepada masyarakat, bahkan kepada anak-anak, menjadi hal yang paling berbahaya saat ini. Jika yang terpapar paham radikal sangat banyak dan menjadi kelompok mayoritas, maka aksi serangan menjadi sangat mungkin. Aksi teror dari NII sangat mungkin terjadi, namun tergantung apa yang dilakukan pemerintah sekarang untuk mencegah mereka,” jelas Riyanta.

Dalam jumlah kecil serangan bakal sulit terjadi, namun tidak ada tindakan pencegahan radikalisasi dan jumlah mereka semakin banyak, bukan tak mungkin peluang terjadinya teror dan serangan menjadi lebih mudah.

Potensi Teror NII

Sementara, Dosen Universitas Malikussaleh sekaligus analis terorisme Al Chaidar berpendapat 16 orang yang ditangkap itu bukan NII, melainkan anggota Jamaah Ansharut Daulah. “Saya sudah cek ke jaringan di sana. Dharmasraya tidak ada NII, Tanah Datar juga tidak ada NII,” ucap dia kepada Tirto.

Pada perkara ini, Densus 88 bukan salah mengusut pelaku, lanjut Al Chaidar, mungkin yang tertangkap itu mengaku-ngaku sebagai anggota NII. Menurut Chaidar, NII tidak berpotensi menyerang lantaran mereka tak ada senjata, tak ada pelatihan i'dad.

NII tidak berpotensi menyerang karena hingga kini tidak ada perintah untuk menyerang, kecuali jika diumumkan perang. “Pengumuman perang hanya ada jika jumlah NII minimal 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia. 1:10 atau menunggu hingga 1:2, berarti antara 10 persen atau 50 persen,” tutur Al Chaidar.

Meski saat ini NII ada 14 faksi dan pemimpinnya ada 14 imam, serta menyebar di 18 provinsi, NII tidak berbahaya sama sekali.

“Kuota 10 persen itu tidak pernah akan dicapai kalau NII masih dikomandoi oleh manajer yang masih sangat pseudo-birokratik. Jumlah NII saat ini tidak sampai 1 persen, NII sangat kecil. [Malah] JAD kini sudah mencapai 6 persen,” terang dia. NII pun juga berkedok, sama seperti Jemaah Islamiyah yang membentuk Syam Organizer, HASI, One Care dan yayasan ABA.

Meski memiliki ‘dua wajah’ banyak yayasan NII yang tak beroperasi karena sistemnya pseudo birokratik. Sebab, masalah-masalah inilah NII agak sulit dideteksi. Selain itu, untuk mendapatkan anggota, NII biasanya merekrut dengan cara pengajian keluarga, tilawah, tazkiyah, taklim, bahkan dari pintu ke pintu.

Apakah warga Indonesia perlu mencemaskan NII? Al Chaidar menyatakan “tidak perlu dikhawatirkan sama sekali. NII itu sangat pasifis dan sering dipakai oleh pemerintah untuk memenangkan (Partai) Golkar.”

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto pun merespons perihal NII merekrut anak. “Kami berharap kasus ini didalami dan dikembangkan agar anak-anak yang diduga dilibatkan dalam aktivitas jaringan terorisme segera teridentifikasi. Jika ada anak korban tidak teridentifikasi, upaya penanganan lanjutan tidak dapat terlaksana dengan baik,” ucap dia kepada Tirto.

Pola rekrutmen anak oleh jaringan terorisme saat ini semakin canggih dan tidak mudah dikenali oleh orang terdekat anak, maka Susanto meminta agar publik berhati-hati agar anak tidak terpapar ideologi teroris.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri