Menuju konten utama

Bahaya "NKRI Harga Mati" vs Sentimen "Anti-Cina"

Slogan "NKRI harga mati" sangat sering didengungkan untuk menjawab beragam problem di Indonesia. Obat mujarab ini lazim dipakai buat membunuh pemikiran dan anti-gagasan.

Bahaya
Avatar windu jusuf

tirto.id - Semboyan “NKRI Harga Mati”, yang terus-menerus bergaung, bukan jawaban atas gelombang sektarianisme agama dan rasisme—biarpun yang sedang dibela adalah kebhinnekaan dan biarpun yang dilawan adalah kelompok-kelompok intoleran terorganisir dan Islamis transnasional.

Apakah “NKRI Harga Mati” berdiri di atas kemerdekaan, kesetaraan, dan keadilan? Sejarah menunjukkan sebaliknya.

Konsep dan slogan “NKRI Harga Mati” kerapkali digaungkan untuk menjustifikasi aksi-aksi militer saat membunuhi pemuda Papua, memperkosa perempuan Aceh, memancing pembakaran toko-toko Tionghoa, membedil ratusan demonstran muslim Tanjung Priok, sekaligus mengiringi mitos-mitos pandir tentang "kebangkitan PKI" belakangan ini.

Slogan macam itu adalah genderang perang yang sedikit lebih canggih dari jargon oportunis “NKRI Bersyariah” yang menyampaikan pesan tersirat: Barang siapa menolak NKRI, berarti menentang syariah; dan barang siapa yang menolak syariah, artinya menentang NKRI.

Keduanya merupakan alat untuk menyeleksi (dan menggebuk) siapa-siapa saja yang dianggap "bukan-Indonesia" berdasarkan klasifikasi agama, ras, dan keyakinan politik. Seakan-akan ada sebuah watak keindonesiaan yang sejati sejak Homo sapiens mulai beranak-pinak dan keluar dari Afrika.

“NKRI Harga Mati”, singkatnya, adalah sebentuk politik rasa takut yang diproduksi dengan rumor-rumor murahan tentang ancaman asing yang merasuk ke tubuh bangsa.

Siapa yang bukan-Indonesia itu bisa berganti tiap zaman, tergantung rezim yang berkuasa, dan tergantung kepada siapa Anda bertanya.

Jika pada hari ini sejumlah kalangan berusaha mempromosikan keindonesiaan yang mengecualikan warga Tionghoa dari tubuh bangsa, pada awal kemerdekaan dulu keindonesiaan dibangun atas apa pun yang bukan Belanda. Tentu, yang nasibnya jadi sulit di sini adalah warga berdarah campuran Indonesia-Belanda, yang sudah dianggap warga kelas dua sejak zaman kolonial—tidak diakui kaum ‘londo’, tapi juga ditolak ‘pribumi’. Namun lebih luas dari yang menimpa kalangan Indo, pengasosiasian dengan Belanda menjadi dalih untuk menyerabut suatu komunitas atau kelompok politik dari tubuh bangsa.

Ada sebuah cerita menarik dari James Siegel dalam A New Criminal Type in Jakarta (1998). Sukarno berkisah, Belanda menebar gosip bahwa ia lahir dari buah cinta tuan perkebunan Belanda dan perempuan petani setempat yang kemudian diadopsi oleh kaum "pribumi". Menurut Siegel, rumor yang tersebar di kalangan Belanda dan intelektual kota ini masih terdengar hingga tahun 1960-an.

"Karena Sukarno bisa mengalahkan Belanda, pastilah ia bagian dari kami, orang Belanda," demikian Siegel membaca logika rumor tersebut. Efek dari rumor ini jelas merusak, mendelegitimasi Sukarno sebagai orang yang umum dipandang sebagai "Bapak Bangsa"—dan otomatis sebagai simbol bangsa itu sendiri.

Tapi sialnya Sukarno termakan pancingan murahan itu. Ia menuturkan, dalam Sukarno: An Autobiography (1965), “Dari generasi ke generasi, darah Indonesia bercampur dengan India, Arab, segelintir Polinesia murni dan tentu saja, orang Cina. Pada dasarnya kami rumpun Melayu. Dari akar Ma, muncullah Manila, Madagaskar, Malaya, Madura, Maori, Himalaya. Nenek moyang kami bermigrasi ke seluruh Asia, menetap di 3.000 pulau dan menjadi orang Bali, Jawa, Aceh, Ambon, Sumatera, dan sebagainya.”

Di sinilah masalahnya. Sukarno tidak menyebut “Belanda” atau “Eropa”. Ia mengabaikan warga indo yang tak sedikit di antaranya berkontribusi dalam perjuangan anti-kolonial. Berdarah campuran, tulis Siegel, “adalah sumber legitimasi, selama Eropa tak masuk hitungan.” Dalam hal ini, baik rumor jahat maupun tanggapan Sukarno adalah dua sisi dari mata uang yang sama.

Pengasosiasian dengan Belanda

Ketika Sukarno tumbang, orang Tionghoa dan orang Komunis masuk dalam kategori "bukan-Indonesia". Bahkan semakin ke sini, keduanya dicampuradukan dalam propaganda-propaganda kaum Islamis dan ultra-kanan. Namun, pengasosiasian dengan Belanda kerap dipakai untuk memasukkan siapa pun dalam kotak "bukan-Indonesia."

Dalam “Haul Akbar Menyoroti G 30 S PKI: Jaga NKRI dari Pengauh Liberal dan Syiah” yang diadakan di Jakarta, 30 September 2015, misalnya, Rizieq Shihab mengarang cerita yang tidak punya dasar faktual sama sekali, bahwa PKI pada dasarnya mengabdi pada kepentingan Belanda dan didesain untuk menghancurkan gerakan anti-penjajahan, alih-alih sebuah gerakan berbasis buruh dan tani yang memiliki garis politik anti-kolonial yang tegas.

Hal yang sama menimpa etnis Tionghoa. Pengasosiasian komunitas Tionghoa dengan Belanda telah menjadi motif yang umum dalam narasi anti-Cina di Indonesia. Guna mendukung narasi ini, yang sering dikutip adalah sejak sistem kewarganegaraan Hindia Belanda memposisikan komunitas Tionghoa setingkat di bawah warga kulit putih dan di atas warga ‘pribumi’.

Namun, rujukan atas fakta sejarah ini mengabaikan pembantaian VOC terhadap 10.000 warga Tionghoa yang mengawali peristiwa Geger Pecinan (1740) ketika komunitas Tionghoa dan bumiputera di sejumlah kota di Jawa bahu-membahu memberontak melawan Belanda kurang lebih selama dua tahun. Mitos itu mengabaikan perlawanan orang-orang Tionghoa pada 1912 yang menolak bayar pajak kepada pemerintahan kolonial di Kalimantan Barat. Mitos yang sama juga melupakan berdirinya Partai Tionghoa Indonesia sebagai salah satu pelopor perjuangan anti-kolonial modern di Indonesia.

Narasi pengistimewaan warga Tionghoa sebagai kelas pedagang oleh Belanda pun akhirnya menutupi keterlibatan sejumlah besar ningrat ‘pribumi’ lokal yang menjadi kolaborator Belanda, mengisi jajaran birokrasi dan praktis, menjadi bagian dari struktur negara kolonial. (Dan bukankah mereka, elit-elit bumiputera yang diuntungkan oleh kolonialisme ini, tetap langgeng dalam birokrasi pasca-kemerdekaan lantas mengekalkan korupsi dan kapitalisme rente?) (Baca: "Indonesia Statistik", Benedict Anderson, Indonesia, April 2000)

Barangkali Anda akan menyanggah: Bukankah orang Tionghoa membentuk milisi Poh An Tui yang melakukan kekerasan terhadap bumiputera?

Poh An Tui terbentuk karena Republik dianggap gagal melindungi komunitas Tionghoa—tentu tak semua warga Tionghoa tergabung dalam milisi tersebut. Dan, kalaupun terjadi kerjasama taktis antara Poh An Tui dan Belanda, pertanyaan yang sama semestinya diajukan kepada siapa pun yang gemar menggembar-gemborkan klaim keutamaan "Pribumi": Bukankah ketika gelombang anti-kolonialisme sudah pasang setinggi dada, sebagian kalangan "pribumi" justru bersikeras membela Belanda dan masuk ke dalam Tentara Kerajaan Belanda (KNIL)? Bukankah Soeharto dan A.H. Nasution adalah didikan KNIL?

Pada 1980, sensor Indonesia mengizinkan sebuah film untuk beredar di Indonesia setelah digunting habis-habisan. Max Havelaar, judul film tersebut, empat tahun tak boleh diputar lantaran menggambarkan persekongkolan administrator Belanda dan ningrat pribumi yang menindas warga Lebak, Banten.

Demikian, para paria kebudayaan yang duduk di lembaga sensor mencampakan sebuah film yang diadaptasi dari novel karangan Douwes Dekker, yang telah mempermalukan Belanda di mata dunia, mendorong kebijakan Politik Etis di Hindia-Belanda, yang kemudian turut melahirkan gerakan anti-kolonial modern, lantas membuka mata orang-orang seperti Sukarno dan Agus Salim.

Kita tahu bagaimana kebijakan sensor Orde Baru membikin para pembuat film menggambarkan Belanda sebagai karakter mahakejam, dan orang "pribumi" (apa pun kelas sosialnya) sebagai kaum nelangsa yang tanpa kompromi memerangi Belanda.

Model imajinasi kebangsaan yang dipopulerkan Orde Baru ini merupakan cerminan tentang bagaimana narasi pembentukan bangsa direduksi sebagai kisah pertarungan rasial, alih-alih perlawanan atas eksploitasi ekonomi. Penyederhanaan realitas era kolonial itu oleh Orde Baru, lewat mesin militernya, digambarkan sebagai kisah mempertahankan teritori yang dibayangkan eksis sejak Majapahit, alih-alih bagian dari perjuangan kaum jelata di dunia jajahan menuntut kemerdekaan, kesetaraan, dan keadilan.

Dan kita pun ingat, slogan "NKRI Harga Mati" sudah terlalu sering keluar dari mulut para elite kulit cokelat yang punya lebih banyak kesamaan dengan elite kulit putih dan elite segala bangsa lain ketimbang dengan massa-rakyat.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.