Menuju konten utama

Bahaya Mengonsumsi Daging Anjing

Kebiasaan mengonsumsi daging anjing di beberapa wilayah di Indonesia sudah menjadi tradisi kuliner. Namun, di balik itu ada catatan persoalan kesehatan yang perlu diperhatikan.

Bahaya Mengonsumsi Daging Anjing
Aktivis penyayang anjing peliharaan yang tergabung dalam Dogsters Indo bersama artis Pong Harjatmo (ketiga kanan) membentang spanduk saat kampanye di Jalan Slamet Riyadi, Solo, Jawa Tengah, Minggu (26/2). Dalam kampanye tersebut mereka mengajak masyarakat untuk berhenti mengkonsumsi daging anjing. ANTARA FOTO/Maulana Surya/pd/17.

tirto.id - Umumnya orang-orang di Indonesia Timur sering memanggilnya dengan sebutan RW atau rintek wuuk. Sebuah kudapan yang berasal dari daging anjing. Di daerah tertentu hidangan semacam ini ihwal wajib ketika ada perhelatan pesta.

Di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) misalnya, sangat mudah untuk mendapatkan masakan RW. Beberapa rumah makan menyediakan menu masakan RW dari harga mulai Rp20 ribu per porsi. Apa yang terjadi di Kupang juga terjadi di kota lainnya di Indonesia yang punya tradisi kuliner dari daging anjing. Namun, persoalan mengonsumsi daging anjing ini mendapat sorotan media asing.

Beberapa waktu lalu, New York Times menurunkan laporan soal tingginya permintaan daging anjing di tiga kota di Indonesia, yaitu Yogyakarta, Bali, dan Jakarta. The Bali Animal Welfare Association memperkirakan setiap tahun ada sekitar 70 ribu ekor anjing dibunuh dan dikonsumsi dagingnya di Bali.

"Dalam investigasi kami, 60 persen pelanggan adalah perempuan Bali. Mereka menganggap, daging anjing merupakan penghangat dan sumber protein yang tinggi. Mereka mempercayai jika daging anjing dapat menyembuhkan asma dan beberapa penyakit lainnya," kata pendiri The Bali Animal Welfare, Janice Girardi kepada The New York Times.

Setiap hari, diperkirakan ada sekitar 215 ekor anjing dibunuh untuk dikonsumsi di Yogyakarta. Bila dihitung setahun, jumlahnya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Bali. Di Jakarta misalnya, di satu bisnis kuliner daging anjing milik Juniatur Silitonga yang sudah ada sejak 1975, membutuhkan sekitar 20 ekor anjing dalam satu minggu.

Permintaan daging anjing yang tak sedikit di beberapa kota Indonesia terjadi di saat negara Asia lainnya mulai meninggalkan tradisi memakan daging anjing. Ini memang sesuatu yang ironis. Namun, permintaan ini selain dipicu karena sudah bagian dari tradisi kuliner, juga ada faktor ekonomi masyarakat yang terbatas menjangkau bahan protein hewani lainnya. Namun, apapun alasannya, mengonsumsi daging anjing memiliki sisi dampak kesehatan yang tak baik karena kandungan dalam daging anjing.

Infografik Konsumsi Anjing

Kandungan Gizi Daging Anjing

Seberapa banyak kandungan gizi yang terdapat pada daging anjing? Ahli Gizi Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya, Lathifah Nurlaela mengacu pada buku Tabel Komposisi Pangan Indonesia yang diterbitkan Persagi 2010 mengungkapkan kandungan gizi daging anjing. Nilai gizi per 100 gr daging anjing mengandung air 60,8 gr, energi 198 kkal, protein 24,6 gr, karbohidrat 0,9 gr, kalsium 1071 mg, abu 3 gr, besi 4 mg, natrium 1604 mg, kalium 226 mg, tembaga 0,1 mg, seng 2,8 mg tiamin 0,35 mg, dan riboflavin 0,2 mg.

“Anjing tinggi natrium jadi jika dikonsumsi terus menerus dalam jangka waktu lama bisa menjadi pemicu hipertensi atau tekanan darah tinggi,” kata Lathifah Nurlaela kepada Tirto.

Selain memicu hipertensi, daging anjing juga berisiko mengandung cacing pita. Infeksi dari cacing pita pada anjing dapat menimbulkan penyakit yang menyerang sistem pencernaan bagi orang-orang yang mengonsumsi daging anjing.

Laporan One Green Planet juga mengungkapkan daging anjing salah satu penyebar rabies kepada hewan dan manusia. Di Filipina setiap tahun ada sekitar 10.000 anjing dan 300 orang meninggal karena rabies. Catatan ini tentu cukup mengerikan, sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah berupaya mencegah penyebaran rabies dengan program vaksinasi. Di Bali, anjing liar harus divaksin untuk mencegah rabies. Sayangnya, penyebaran anjing liar yang cukup masif membuat pengawasan serta pencegahan rabies menjadi sangat sulit.

Celakanya, kondisi peternakan anjing yang memiliki lingkungan tidak sehat makin menambah risiko. Tempat tinggal bagi anjing yang tidak layak, dan makanan yang tidak sesuai dengan nutrisi yang pas dan lainnya, bisa menyebabkan anjing mudah diserang penyakit. Pada akhirnya berisiko pada kesehatan manusia yang mengonsumsinya.

Selain itu, pemberian antibiotik serta vaksin yang berlebih untuk mencegah munculnya penyakit pada anjing bisa juga jadi bumerang. Besarnya kandungan antibiotik pada daging anjing ini berbahaya bagi manusia. Jika manusia mengonsumsi daging anjing tersebut, maka sistem kekebalan tubuhnya akan berubah. Ketika mereka jatuh sakit sakit, maka penyakit di tubuh mereka tidak akan mempan diobati dengan menggunakan antibiotik.

Konsumsi daging anjing juga berpotensi pada infeksi akibat parasit seperti E. Coli 107 dan Salmonella. Ada juga bahaya bahwa infeksi bakteri seperti anthrax, brucellosis, hepatitis dan leptospirosis dapat menyebar melalui daging anjing kepada manusia.

Laporan Change For Animal Foundation mengungkapkan bahwa konsumsi daging anjing, dan barang-barang yang disajikan dengan daging anjing terkait dengan penyebaran kolera. Perwakilan WHO di Vietnam, Jean-Marc Olive, memperingatkan bahwa makan daging anjing dapat meningkatkan 20 kali lipat pada risiko diare akut yang umumnya disebabkan oleh bakteri kolera.

Mengonsumsi daging anjing memang punya berbagai dampak. Di sisi lain ada persoalan isu animal welfare akibat proses penyediaan kebutuhan daging anjing--yang menjadi perhatian para aktivis penyayang binatang. Fakta lainnya, ada tradisi kuliner daging anjing yang juga tak bisa diabaikan. Namun, kata-kata mutiara yang berbunyi "mulut adalah tempat awal terjadinya sebagian besar penyakit dalam tubuh manusia" selayaknya patut dihayati.

Baca juga artikel terkait DAGING ANJING atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Suhendra