Menuju konten utama

Bahaya Izin Impor Bahan Baku Pabrik Gula Konsumsi ala Kemenperin

Pabrik gula akan diizinkan untuk mengimpor bahan baku. Kebijakan ini disinyalir akan merugikan petani yang komoditasnya tak terserap industri.

Bahaya Izin Impor Bahan Baku Pabrik Gula Konsumsi ala Kemenperin
Pedagang menyusun bungkusan gula di Pasar Senen, Jakarta, Selasa (21/4/2020) ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.

tirto.id - Menteri Perindustrian Agus Gumiwang tengah merevisi Permenperin Nomor 10/2017 untuk memperluas siapa saja yang bisa mengimpor bahan baku gula. Dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (9/2/2021), ia mengklaim kebijakan ini demi “mendorong agar pabrik gula bisa beroperasi baik dan utilisasi tidak berkurang.”

Semula Permenperin 10/2017 hanya mengizinkan impor pada pabrik baru yang kebun tebunya belum siap memasok bahan baku gula. Agus ingin peraturan itu diubah agar pabrik gula yang sudah punya kebun tebu juga dapat mengimpor. “Pabrik gula yang sudah eksisting, yang kebetulan kebun tebunya mengalami kesulitan panen akibat cuaca, bencana, dan sebagainya, kami revisi agar juga bisa mendapat fasilitas bahan baku,” ucap Agus.

Agus memastikan tak akan sembarang memberi izin importasi bahan baku. Ia mengklaim Kemenperin akan memverifikasi, misalnya apakah benar pabrik gula yang mau impor mengalami gangguan panen pada kebun tebu atau tidak.

Rencana ini ditolak Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen. Dia bilang pemerintah seharusnya mengutamakan penyerapan hasil panen gula petani dulu. “Saat ini ada puluhan ribu ton belum terserap,” ucap Soemitro kepada reporter Tirto, Rabu (10/2/2021).

Awal tahun 2021 saja ada kelebihan stok 240 ribu ton dari hasil panen selama 2020. Kelebihan stok ini tidak lain disebabkan karena derasnya impor gula dengan dalih kelangkaan dalam negeri.

Statistik Tebu Indonesia milik BPS mencatat pada 2019 perkebunan petani rakyat/mandiri menyumbang 57% dari total produksi gula 2,23 juta ton. Sebanyak 29% dari perkebunan swasta dan sisanya 14% dari perkebunan negara. Sementara konsumsi gula masyarakat diperkirakan berkisar 2,6-2,7 juta ton.

Permintaan Soemitro agar mengutamakan serapan gula petani bisa dimengerti karena jika pabrik gula diizinkan mengimpor bahan baku, praktis akan lebih banyak produksi petani yang tidak terserap. Dus, semakin rendah juga harga yang akan diterima mereka sehingga semakin banyak yang tak akan tertarik menanam lagi.

Kebijakan itu semakin tak relevan diterapkan saat ini karena berdasarkan catatan Soemitro di luar pasokan 240 ribu ton gula petani yang tadi disebutkan, sudah ada kelebihan stok gula impor tahun 2020 sebanyak 1 juta ton. Ini belum termasuk izin impor gula konsumsi yang masih akan masuk di tahun ini sebanyak 685 ribu ton untuk swasta dan 150 ribu ton untuk BUMN. Belum lagi potensi gula rafinasi yang merembes ke pasar gula konsumsi.

Selain itu Soemitro juga memastikan petani masih sanggup berproduksi gula dengan jumlah yang tak jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Kendati klaim Kemenperin produksi tebu terganggu cuaca dan bencana, ia mengatakan angka produksi tetap mampu di atas 2 juta ton tahun ini. Kalaupun ada penurunan, itu lebih banyak terjadi di kebun tebu swasta.

Data BPS memang menunjukkan selama 5 tahun terakhir atau 2015-2019 produksi kebun tebu swasta turun 161.685 ton dari 816.740 ton (2015) ke 655.055 ton (2019), sementara produksi gula kebun petani hanya turun 53.183 ton atau dari 1,32 juta ton (2015) ke 1,26 juta ton (2019).

Guru Besar IPB University Dwi Andreas Santosa menambahkan, kebijakan Kemenperin ini akan menambah karut-marut pergulaan nasional. Sebelum revisi Permenperin ini mencuat saja Indonesia sudah sangat bergantung pada impor gula--bahkan pada 2017 melampaui angka Cina. Ia memperkirakan sekitar 60-70% kebutuhan gula Indonesia dipenuhi dari impor. Bukan tak mungkin rasio ini bisa memburuk seperti kedelai dan bawang putih yang mencapai 90%.

“Lama-lama habis ini industri gula Indonesia. Nanti jadinya industri ‘importir gula mentah’. Kerjaannya olah bahan baku saja,” ucap Dwi kepada reporter Tirto, Kamis (11/2/2021).

Menurut Dwi, banyaknya kebun tebu yang tak berproduksi lebih banyak disebabkan faktor kesejahteraan. Ia mencontohkan harga beli gula tingkat petani hanya Rp9.700/kg, padahal biaya produksinya bisa menyentuh Rp10.500/kg. APTRI bahkan mencatat mandeknya perbaikan harga pembelian petani ini sudah terjadi selama 5-6 tahun terakhir.

Timpangnya harga itu tak ayal menyebabkan petani beralih ke tanaman lain sehingga banyak perusahaan akhirnya kesulitan memperoleh bahan baku tebu. Tak heran menurut data BPS selama 5 tahun terakhir produksi gula terus turun, dari 2,53 juta ton (2015) ke 2,22 juta ton (2019).

Dwi bilang penyelamatan harga tingkat petani memang mengharuskan adanya penyesuaian harga gula tingkat konsumen. Ia menilai harga eceran tertinggi (HET) gula konsumen perlu naik ke level Rp18.000/kg dari posisi saat ini Rp12.000/kg. Dengan demikian, harga pembelian petani bisa mencapai Rp12.000/kg.

Dalam jangka pendek, kebijakan ini memang akan menimbulkan gejolak harga. Namun begitu pada akhirnya akan menjadi kesetimbangan baru. Pemerintah dan industri akan diuntungkan karena tak lagi kesulitan bahan baku. “Jadi kebutuhan gula dari impor semakin lama bisa kita kurangi,” ucap Dwi.

Baca juga artikel terkait IMPOR GULA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino