Menuju konten utama

Bagi Para Politikus seperti Risma, Marah Bukan Sekadar Luapan Emosi

Marah bukan sekadar luapan emosi jika yang melakukannya adalah politikus seperti Risma. Ada manfaat yang mungkin mereka pun menyadarinya: menggaet pemilih.

Bagi Para Politikus seperti Risma, Marah Bukan Sekadar Luapan Emosi
Menteri Sosial Tri Rismaharini (kiri) mengikuti rapat kerja dengan Komisi VIII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/8/2021). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/hp.

tirto.id - Panas yang menyembur Balai Wyata Guna, Bandung, Selasa 13 Juli lalu tidak bisa menghentikan kegeraman Menteri Sosial Tri Rismaharini yang sudah di ubun-ubun. Ia memerintahkan aparatur sipil negara (ASN) dari kementeriannya sendiri ke halaman kantor dan mulai marah-marah. Mereka dianggap bermalas-malasan dan tak membantu banyak di dapur umum yang sudah ada.

Luapan emosinya disertai pula dengan ancaman. “Tak pindah semua ke Papua. Saya enggak bisa [me]mecat kalau enggak ada salah. Tapi saya bisa pindah ke Papua sana.” Telunjuknya sesekali melayang ke depan muka ASN.

Tentu saja tidak ada yang berani membantah, misalnya dengan: “Kalau tak ada salah, kenapa dipindah?” Atau, “Kenapa pilihannya Papua?”

Tapi orang-orang di media sosial bukan bawahan Risma yang ketakutan. Omongan mantan Wali Kota Surabaya itu dianggap sebagai ungkapan rasis sekaligus mengindikasikan bahwa Papua tidak penting–memindahkan orang bermasalah ke sana sama saja menyebut daerah tersebut diisi oleh orang-orang “buangan”.

Seorang aktivis yang banyak mencurahkan waktu untuk Papua, Veronica Koman, mencuit di akun Twitter-nya: “Ga kaget. Bu Risma emang rasis sama Papua kok.”

Risma telah lama dikenal sebagai pejabat yang dikenal hobi marah-marah. Dalam sebuah wawancara, ia bahkan mengatakan marah-marah memang hobinya. Murkanya berkali-kali tersebar di media sosial dan pemberitaan.

Taman Bungkul Surabaya adalah saksi bisu pertama kemarahan Risma yang ramai dibicarakan publik. Dia mencak-mencak karena acara bagi-bagi es krim membuat tanaman rusak.

Tiga tahun kemudian, video lawas dari Risma sewaktu menjabat Wali Kota Surabaya menyebar. Pagi-pagi, ketika sedang memimpin apel di Taman Surya Balai Kota Surabaya, Risma yang berada di podium tiba-tiba berteriak: “Jangan Ketawa!” Ia kemudian melompat dan berlari menuju ASN yang tengah bercanda di tengah arahannya, persis seperti guru yang menarik siswa bengal di tengah upacara bendera.

Dua bulan setelah ditegur karena omongannya dianggap rasis, Risma lagi-lagi kedapatan memarahi bawahan. Ketika rapat dengan pejabat pemerintah Provinsi Gorontalo, ia mengacungkan pena dan mendatangi petugas pendamping Program Keluarga Harapan (PKH). Dia merasa tak terima Kemensos dianggap jadi biang kerok bantuan sosial tak tepat sasaran.

“Tak tembak kamu, ya, tak tembak kamu!” kata Risma.

Tak hanya pengguna media sosial, aksi marah-marah Risma akhirnya juga dikritik politikus lain. Fadli Zon misalnya, berkomentar di Twitter bahwa Risma “melampaui batas” dan tindakannya “tidak menyelesaikan masalah.” Sedangkan Gubernur Gorontalo Rusli Habibie mengaku “sangat prihatin.” Dia tidak terima bawahannya harus menjadi sasaran kemarahan dan publikasi Risma. “Saya tidak memprediksi seorang ibu menteri, sosial lagi, memperlakukan seperti itu. Contoh yang tidak baik.”

Infografik Tri Rismaharini

Infografik Tri Rismaharini. tirto.id/Rangga

Teatrikal yang Berpeluang Merusak

Tidak seperti Rusli Habibie yang mengatakan aksi Risma tidak baik, bagi politikus, marah-marah adalah bagian dari pencitraan diri dengan harapan agar timbul timbal balik positif dari hal itu.

Carey E Stapleton dan Ryan Dawkins dalam Catching My Anger: How Political Elites Create Angrier Citizens (2021) mengatakan kemarahan para politikus menstimulasi para pemilih untuk ikut emosional. Mereka mempelajari bagaimana pemilih di Amerika Serikat lebih terikat dan tertarik dengan politik karena digerakkan oleh kemarahan yang disebabkan oleh pidato-pidato para politikus–secara langsung maupun media sosial.

Kemarahan dari para pendukung ini tentu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan elektoral. Orang-orang yang kemarahannya meluap boleh jadi lebih susah untuk berkompromi dan pindah haluan. Mereka adalah pendukung setia dan siap melakukan apa saja agar kandidatnya bisa menang pemilu.

Kemarahan orang-orang AS sebenarnya sudah kronis. Beberapa hal yang menjadi penyebab adalah: rasisme, perbedaan kelas sosial, dan perbedaan kebijakan antar kelompok. Tapi yang membuat mereka lebih terbelah lagi adalah pola pikir yang dipengaruhi oleh elite politik.

“Artinya, bagian dari kemarahan di pemilih Amerika hanyalah fungsi dari publik menanggapi kemarahan elit politik,” catat Stapleton dan Dawkins.

Bukti-bukti nyatanya sudah ada. Misalnya Donald Trump yang mempropagandakan kecurangan Pilpres 2020 menyebabkan pendukungnya mencak-mencak dan menggruduk Gedung Capitol di ibu kota AS, Washington DC.

Di Indonesia, hal serupa bisa ditemui pada figur Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra yang sekarang menjabat Menteri Pertahanan. Sebelum masuk kabinet, Prabowo jadi lawan tanding Jokowi di Pilpres 2019. Dia mengklaim sebagai pemenang dan ada kecurangan sistematis dalam pemilu. Hasilnya, massa tumpah ruah di Gedung Bawaslu pada 21-23 Mei 2019.

Made Supriatma, dalam tulisannya untuk Tirto, menulis, “kemurkaan dan kemarahan seorang pejabat di depan umum adalah alat politik yang ampuh.” Waktu semakin berjalan dan pemikiran ini makin jelas terlihat.

Made kemudian menyoroti politikus lain, yakni Joko Widodo, ketika marah-marah kepada para pembantunya karena dianggap tak berhasil penanganan pandemi Covid-19. Bagi Made, kemarahan Jokowi tak lebih dari aksi teatrikal. Dengan kemarahan itu, Jokowi berusaha memperlihatkan dan menggerakkan pendukung untuk membelanya, bahwa dia adalah bagian berjarak dari kabinetnya–orang-orang yang tak becus dalam menangani pandemi.

“Dia menjadi tontonan menarik. Dan kemarahan itu memang ditujukan kepada anggota-anggota kabinetnya. Namun, yang lebih utama adalah kemarahan itu harus dipertontonkan kepada para pendukungnya,” catat Made.

Sama seperti Made, seorang Politikus Partai Gerindra juga menganggap kemarahan politikus hanyalah pencitraan. “Itu namanya pencitraan drama Korea," katanya dilansir CNNIndonesia.

Risma memang tidak (atau belum) sejauh Trump atau Prabowo. Kita juga tak tahu apakah motivasi kemarahannya sama dengan Jokowi atau Trump dan Prabowo. Tapi semua itu sudah terlihat dampaknya untuk menggerakkan pemilih.

Nama Risma stabil di urutan kedua kader PDIP yang punya elektabilitas menjadi capres pada Pilpres 2024. Dalam survei yang dikeluarkan Charta Politika sepekan lalu, elektabilitas Risma sebesar 4,6%, ada di bawah Ganjar Pranowo dengan 19% dan di atas Puan Maharani yang cuma 1,4%.

Baca juga artikel terkait MARAH atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino