Menuju konten utama

Bagi Google dan Produsen Gadget, Ponsel adalah Medium Iklan

Ponsel merupakan medium pendulang iklan digital. Google memanfaatkannya sejak Android ada.

Bagi Google dan Produsen Gadget, Ponsel adalah Medium Iklan
Tampilan antarmuka Android 12. foto/https://blog.google/

tirto.id - Pada pertengahan 2009, Andy Rubin, salah satu orang terpenting di Google, berdiskusi dan bertukar pikiran dengan beberapa petinggi HTC, perusahaan teknologi asal Taiwan yang didirikan oleh Cher Wang dan H. T. Cho 12 tahun sebelumnya. Dalam pertemuan itu, sebagaimana dikisahkan Steven Levy dalam In the Plex: How Google Thinks, Works, and Shapes Our Lives (2011), Rubin mengutarakan niat yang ia paksakan atas nama Google, yaitu mengembangkan dan membuat ponsel sendiri—sebuah ponsel yang ia rencanakan bernama Google Phone.

Tindakan ini dilakukan karena, kilah Rubin, "Google tak memberikan izin soal ide. Andai seorang karyawan Google yakin dengan idenya, lakukan dan hanya lakukan saja." Sebagai perusahaan yang hidup dengan mengembangkan aplikasi berbasis web, Google dianggap tidak memiliki kemampuan mengembangkan ponsel dan HTC dinilai sebagai mitra ideal.

Karena chief executive officer (CEO) pertama Google, Eric Schmidt, selalu menolak asumsi bahwa perusahaannya hendak masuk ke bisnis produksi ponsel, aksi Rubin ditentang. Namun, karena Rubin didukung oleh Komite Google, rencana pembuatan Google Phone akhirnya jalan juga. Dukungan dari Komite Google tercipta karena Rubin berhasil memercik sentimen Google pada pelbagai perusahaan telekomunikasi yang kala itu dianggap busuk karena melakukan praktek bisnis tak terpuji, terutama karena mengikat pengguna untuk terus-terusan menggunakan layanan mereka di ponsel dengan cara mengunci jaringan telepon (lock phone).

Rubin menegaskan bahwa Google Phone adalah ponsel yang tidak akan mengunci jaringan (unlock), alias yang dapat digunakan provider mana pun sesuai kehendak penggunanya kelaksuatu kebijakan yang dianggap Rubin (dan Komite Google) berpihak pada masyarakat.

Maka, dengan bantuan HTC dan dukungan Komite Google, Nexus, nama proyek sekaligus nama merek Google Phone, lahir. Per Januari 2010, proyek yang dipelopori Rubin ini akhirnya merilis Nexus One ke pasaran. Bersama Android, sistem operasi ponsel buatan Rubin yang dibeli Google, Nexus One mencoba mengalahkan iPhone, ponsel buatan Apple yang, menurut klaim sang pendiri Steve Jobs, berhasil mendeskripsikan ulang apa itu ponsel.

Yang menarik, merujuk laporan Miguel Helft untuk New York Times pada 2010, Google tidak mematok margin keuntungan yang besar dalam menjual Nexus One. Lalu, tatkala Google merilis Nexus edisi ke-5, Nexus 5, Google bahkan menjual ponsel buatannya dengan harga produksi, bukan harga yang dapat menguntungkan perusahaan. Lantas, didukung dengan kenyataan bahwa Android, sistem operasi yang terpasang pada ponsel Nexus, pun dibagikan Google secara cuma-cuma kepada pelbagai perusahaan teknologi, Google seakan-akan tidak menarik uang sepeser pun dari pembeli produknya.

Strategi bisnis ini dianggap sebagai "bodoh" sebagian kalangan. Tetapi, sebaliknya, justru menguntungkan. Kenapa?

"Kami memang tidak menjual produk yang kami ciptakan," terang Rubin. "Kami hanya menjual para pengguna produk kami. Ketika pengguna produk kami kian membesar, kami dapat memanfaatkannya sebagai peluang untuk menjual iklan pada mereka."

Dengan tidak mengambil untung dari Nexus serta menggratiskan Android digunakan pelbagai produsen, ponsel semakin terjangkau. Karena terjangkau, masyarakat akhirnya berbondong-bondong membeli ponsel. Karena di Nexus (lalu Pixel karena semenjak 2015 Google akhirnya menghentikan program Nexus) beragam aplikasi milik Google telah terpasang secara default dan pelbagai produsen ponsel yang menggunakan Android diwajibkan memasang aplikasi-aplikasi Google, secara otomatis, pelbagai aplikasi serta layanan berbasis web milik Google akhirnya kebanjiran pengguna. Kebanjiran arus iklan digital.

Strategi bisnis ini, sebagaimana dipaparkan Tim Hwang dalam Subprime Attention Crisis: Advertising and the Time Bomb at the Heart of the Internet (2020), berhasil menopang 87 persen total pendapatan Google.

Infografik Menjaring data pengguna untuk iklan

Infografik Menjaring data pengguna untuk iklan

Pendulang Uang

Kesuksesan bisnis iklan digital tentu tak cuma terjadi karena semakin banyak masyarakat yang hadir di dunia maya. Faktor lain adalah beragamnya sensor yang terpasang di ponsel guna dirangkum dalam satu kesatuan bernama Android Advertising ID (atau iOS Identifier for Advertising atau IDFA untuk iPhone) untuk menciptakan "fingerprinting", yakni teknologi untuk mengidentifikasi tiap pengguna. Iklan digital menjadi sangat personal, unik, dan berbeda bagi tiap individu.

Di satu sisi iklan digital seperti ini terasa menguntungkan karena sesuai dengan apa yang dikehendaki. Namun, di sisi lain, ia membuat masyarakat terasa hanya menjadi medium perusahaan-perusahaan untuk mendulang uang; membuat masyarakat seakan-akan dipaksa membeli produk-produk pelbagai perusahaan di dunia melalui iklan yang sangat personal.

Bahkan, melalui tragedi bernama Cambridge Analytica, iklan personal dapat dimanfaatkan sebagai alat propaganda politik paling bengis dalam sejarah manusia dengan berhasil menjadikan Donald Trump, lelucon terbesar dalam sejarah perpolitikan Amerika Serikat, sebagai presiden.

Nahas, iklan personal yang berbahaya ini baru disadari mudaratnya oleh Apple melalui fitur App Tracking Transparency yang baru saja hadir pada iPhone. Google, beserta pelbagai produsen ponsel Android, tampaknya masih terlalu sayang melepaskan ponsel sebagai medium pendulang uang melalui iklan.

Baca juga artikel terkait PONSEL PINTAR atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Rio Apinino