Menuju konten utama

Bagaimana Xi Jinping Menjelma Jadi Mao Zedong KW II

Konstitusi baru Cina menyejajarkan Jinping dengan Mao. Ironisnya, gerakan neo-Maois justru direpresi.

Bagaimana Xi Jinping Menjelma Jadi Mao Zedong KW II
Presiden Cina Xi Jinping. FOTO/Getty Image

tirto.id - Republik Rakyat Cina (RRC) punya dua tokoh legendaris yang dikultuskan bak nabi: Mao Zedong, sang pendiri negara, dan Deng Xiaoping, pemimpin tertinggi yang berkuasa selama era 70-an hingga 90-an.

Baru-baru ini konstitusi Partai Komunis Cina (PKC) direvisi. Hasilnya: secara formal mengangkat Presiden Xi Jinping untuk sejajar dengan dua nama tersebut. Otomatis, Jinping menjadi penguasa Cina terkuat dalam satu dekade terakhir, dan diramalkan hingga satu dekade ke depan.

Dalam laporan Washington Post, Selasa (24/10/2017), elit PKC telah berembug kemudian memilih untuk memasukkan “Pemikiran Xi Jinping tentang Sosialisme dengan Karakteristik Cina di Era Baru” ke dalam konstitusi. Keputusan ini muncul pada hari terakhir setelah satu minggu penuh para anggota PKC melaksanakan rapat lima tahunan. Balai Besar Rakyat di sisi barat Lapangan Tiananmen, Beijing, menjadi tempat pengesahan poin penting yang memperluas otoritas Jinping tersebut.

Dalam sebuah pidato singkat kepada lebih dari 2.200 delegasi partai, sebagaimana dilaporkan Guardian, Xi berkata,

“Hari ini kita—lebih dari 1,3 miliar orang Cina—hidup dalam kegembiraan dan martabat. Tanah kita memancarkan dinamika yang sangat besar. Peradaban Cina kita bersinar dengan kemegahan dan kemewahan abadi... Partai kita menunjukkan kepemimpinan yang kuat, tegas, dan bersemangat. Sistem sosialis kita menunjukkan kekuatan dan vitalitas yang besar. Orang-orang Cina dan negara Cina merangkut prospek yang cemerlang.”

Sejumlah sejarawan dan analis politik memperhitungkan konsep yang dibawa Jinping akan membawanya menuju posisi puncak kepemimpinan PKC dan RRC minimal hingga tahun 2022—bahkan lebih, jika ia bisa menegosiasikan aturan yang menyatakan bahwa usia pensiun pejabat RRC adalah 68 tahun, sementara pada akhir jabatan keduanya sebagai Sekretaris Jenderal PKC mendatang usianya sudah di angka 69 tahun.

Baca juga: Cara Efektif Mengawasi Warga Negara: Beri Mereka Skor

Jinping menolak secara terbuka demokrasi dan prinsip kebebasan berbicara ala Barat. Sikap ini otomatis mengembalikan gaya kontrol penuh partai terhadap kehidupan bermasyarakat di Cina sebagaimana yang terjadi di masa-masa terdahulu. Willy Wo-Lap Lam, ahli politik dari Chinese Unversity di Hong Kong, lebih tegas lagi berkata pada Washington Post bahwa konstitusi baru PKC menandai kelahiran sosok pemimpin bergaya diktator baru yang dipenuhi romantisisme masa lalu, alias tanpa batasan usia.

“Amandemen konstitusi partai secara efektif mengonfirmasi aspirasi Xi Jinping untuk menjadi Mao Zedong abad 21. Artinya, ia akan menjadi pemimpin tertinggi tanpa berhadapan dengan kendala masa jabatan maksimal atau usia pensiun.”

Berani berhadapan dengan Jinping, artinya berani berhadapan dengan PKC. Jinping adalah petahana yang memperoleh jabata Sekjen PKC periode pertama pada 15 November 2012 silam. Ia bisa terpilih lagi karena elite PKC terpesona dengan isi “Pemikiran Xi Jinping tentang Sosialisme dengan Karakteristik Cina di Era Baru” yang Jinping paparkan selama 3,5 jam dalam konferensi partai ke-19 kemarin. Sebuah manuver yang mirip-mirip dengan kelakuan Presiden Vladimir Putin, sosok yang kini kian akrab disebut diktator baru Rusia.

Isi pidato Jinping dipuji-puji anggota PKC sebagai karya yang agung, berani, penuh semangat, mendebarkan, penuh wawasan, memancarkan “cahaya kebenaran Marxis”, dan menggugah lubuk hati mereka yang terdalam. Konsolidasi kekuatan di dalam tubuh partai dan pemerintahan dalam lima tahun ke depan adalah pekerjaan rumah terberat Jinping jika ingin melampaui 2022. Usaha ini sedang dicoba melalui penyusupan pidato Jinping di institusi pendidikan tingkat dasar hingga tinggi Cina sebagai pelajaran wajib.

Baca juga: Winnie The Pooh dan Larangan-Larangan Aneh Pemerintah Cina

Jinping meminjam kebesaran nama Mao untuk kepentingan politiknya. Sejak jadi Presiden RRC di akhir tahun 2012, ia telah menyebut-nyebut nama Mao maupun mengutip pemikirannya jauh lebih banyak dibanding politisi lain. Jinping beberapa kali mengunjungi situs-situs bersejarah terkait revolusi era Mao dan disiarkan stasiun-stasiun televisi Cina. Saat ia mengunjungi Lapangan Tiananmen, tempat terjadinya peristiwa demonstrasi berdarah tahun 1989, Jinping berpesan pada para anggota PKC untuk “selamanya menjunjung tinggi falsafah Pemikiran Mao Zedong.”

Menyandingkan Jinping dan Mao sesungguhnya mengandung dua ironi besar. Pertama, berkaitan dengan masa lalu Jinping saat rezim Mao justru merepresi keluarganya.

Jinping lahir di Beijing, 15 Juni 1953, dari dua orangtua yang berlatar belakang komunis totok. Ibunya, Qi Xin, adalah alumni Marx's Intitute serta pernah jadi kepala departemen propaganda PKC. Ayahnya lebih krusial lagi, Xi Zhoungxun, adalah salah satu tokoh komunis era awal pendirian RRC. Zhoungxun pernah mengepalai sejumlah departemen, termasuk bagian propaganda, wakil Dewan Negara, dan wakil ketua Kongres Rakyat Nasional.

Sayangnya ayah Jinping menjadi salah satu korban “pembersihan” di internal pemerintahan oleh rezim Mao di tahun 1962 dan menghabiskan sekitar satu dekade berada di balik jeruji besi. Jinping baru berusia 13 tahun saat Mao menjalankan Revolusi Kebudayaan pada 1966.

Sebagai anak dari “elemen buruk”, ia dipersekusi, juga pernah dipenjara. Masa di mana Mao berkuasa justru jadi masa kegelapan bagi keluarga Jinping, dan pemulihannya resmi terjadi pada thun 1978 atau dua tahun usai kematian Mao (plus berakhirnya Revolusi Kebudayaan).

Baca juga: Diplomasi Fauna dan Bujuk Rayu Cina

Ironi kedua, apa yang dikerjakan Mao dan Jinping di lapangan sesungguhnya berbeda hampir 180 derajat. Mao adalah revolusioner romantik, sosok yang dipandang sebagai simbol komunisme Cina itu sendiri. Ia menyerukan pemboikotan oleh para buruh dan petani, mempersenjatai mereka, dan berupaya menggulingkan sistem feodal yang telah ribuan tahun berkuasa lewat kerajaan lintas dinasti.

Kekayaan yang terpusat di istana maupun kepanjangan tangannya di daerah-daerah kemudian direbut untuk didistribusikan hingga ke akar rumput, untuk rakyat miskin di daerah-daerah terpencil sekalipun. Menurut para sejarawan, proyek yang dinamai Mao "Lompatan Jauh ke Depan" ini membuat Cina jadi masyarakat yang “miskin bersama,” kendati kesenjangan ekonomi hampir nol kala itu. Kondisi itu tak pernah dirasakan oleh Cina sebelumnya—juga hari ini.

Sementara itu, Jinping adalah pendukung reformasi ekonomi berbasis pasar bebas, sebuah paket kebijakan yang akan membuat Mao naik pitam seandainya masih hidup. Komersialisasi muncul di berbagai aspek kehidupan, sementara hak-hak pekerja dan petani kian diabaikan oleh pemerintah. Di Cina era Jinping, kehidupan sejumlah orang di Cina memang lebih baik secara ekonomi, namun harga yang harus dibayar adalah kesenjangan ekonomi yang kian dalam.

Dalam laporan tentang kebangkitan neo-Maois di Cina era Jinping karya Jamil Anderlini yang dipublikasikan Financial Times bulan September 2016, RRC disebutkan sebagai salah satu masyarakat termiskin tapi paling setara di tahun 1980-an. Kini, RRC adalah salah satu negara paling senjang di mana 1 persen orang terkaya di Cina menguasai sepertiga kekayaan negara. Kesetaraan pendapatan warga RRC kini lebih rendah dibanding warga Amerika Serikat. Di antara raksasa ekonomi lain, dua negara dengan ketimpangan ekonomi lebih buruk dari RRC adalah Afrika Selatan dan Brazil.

Baca juga: Tembok Cina di Dunia Maya

Dua ironi pokok tersebut melahirkan ironi ketiga. Sejak beberapa tahun silam muncul gerakan akar rumput, yang tak terlalu besar massanya, namun tetap dipandang sebagai ancaman. Gerakan tersebut mengusung Maoisme klasik yang muak betul dengan kesenjangan ekonomi RRC kekinian, terutama sejak kendali kepresidenan dan PKC berada di tangan Xi Jinping.

infografik jinping milenium mao

Para Februari 2016 kelompok ini mengadakan pertemuan rahasia selama dua hari di Kota Luoyang, wilayah tengah Provinsi Henan. Pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan dari 13 provinsi dan kota se-RRC itu menghasilkan manifesto politik yang dipublikasikan secara online.

Isinya seruan untuk revolusi penggulingan sistem yang ada, yang mereka klaim telah berevolusi menjadi “kediktatoran borjuis-fasis yang dipimpin oleh birokrat-monopolis-kapitalis.” Cina sekarang, menurut mereka, adalah jenis kapitalisme terburuk yang dulu diperingatkan oleh Mao.

Rezim Jinping merepresi gerakan tersebut dengan keras, cepat, dan diam-diam. Laporan Anderlini menyatakan orang-orang yang terlibat dalam pertemuan tersebut diamankan oleh otoritas setempat, sementara lainnya ada yang dikabarkan masuk penjara. Pemerintah tahu bahwa gerakan tersebut tak akan kuat untuk melawan militer RRC yang kini menjelma sebagai salah satu yang terkuat di Asia Pasifik. Namun, Jude Blanchette, penulis buku tentang kebangkitan neo-Maois berkata pada Anderlini bahwa keputusan Jinping sudah tepat.

Baca juga: Uang yang Mengakrabkan Cina dan Arab Saudi

Kelompok Maois, kata Blanchette, punya akses terhadap senjata yang bisa dipakai untuk menjalankan pemberontakan model gerilya—model yang dulu dipakai Mao dan kamerad-kameradnya hingga mampu berjaya melawan Dinasti Qing. Artinya, pemerintah RRC sadar bahwa bahaya besar bisa timbul dari konspirasi kecil.

“Tebak bagaimana awal mula berdirinya PKC? 12 laki-laki berkumpul di sebuah ruangan di Shanghai dan mengobrol tentang bagaimana caranya mengambil alih kekuasaan negara,” paparnya.

Singkat cerita, kelompok tersebut adalah perwujudan ide Maoisme yang berbeda dengan Maoisme di kepala Jinping.

Jinping ingin menjadi Mao yang tak hanya represif kepada lawan politiknya melalui kampanye anti-korupsi, mengetatkan sensor di dunia nyata hingga dunia maya, atau memanaskan kawasan Laut Cina Selatan. Namun, ia juga Mao yang menjalankan investasi raksasa seperti yang tertuang dalam Belt Road Initiative atau proyek-proyek penting di banyak negara, termasuk Indonesia. Mao yang tak lagi garang pada kapitalisme, tetapi yang ramah pada modal asing.

Baca juga artikel terkait KOMUNISME atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf