Menuju konten utama
11 Desember 1946

Bagaimana UNICEF Membantu Anak-anak Korban Perang dan Kemiskinan?

UNICEF didirikan setahun setelah Perang Dunia II. Mulanya hanya menanggulangi anak-anak korban perang. Kini cakupan kerjanya lebih luas.  

Bagaimana UNICEF Membantu Anak-anak Korban Perang dan Kemiskinan?
Ilustrasi Mozaik Unicef. tirto.id/Nauval

tirto.id - Perang Dunia II berakhir pada 1945. Setahun kemudian, yakni pada 11 Desember 1946, tepat hari ini 73 tahun silam, United Nations Children’s Fund (UNICEF) didirikan. Lembaga ini dibentuk sebagai respons Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) terhadap anak-anak yang menjadi korban perang.

Selama enam tahun (1939-1945), perang ini memakan korban lebih dari 50 juta jiwa, menjadikannya konflik dengan dampak paling destruktif sepanjang sejarah. Dan anak-anak menjadi kelompok yang paling terdampak. Mereka banyak yang terbunuh. Atau jika selamat, mereka dihantui trauma fisik maupun psikologis.

Hari-hari mereka dibayangi ancaman kematian. Banyak yang selamat dari pertempuran, tapi harus menerima cacat fisik seumur hidup. Setiap konflik bersenjata pecah dan bom-bom berjatuhan, muncul jiwa-jiwa kecil yang terluka. Mereka siap angkat senjata, dieksploitasi tenaganya, tumbuh dalam psikologis balas dendam tak berkesudahan karena melihat orangtuanya mati dalam perang.

Sementara anak-anak perempuan hidup dalam ketakutan lain: menjadi korban pemerkosaan tentara musuh. Mereka dijadikan simbol penundukan sekaligus senjata untuk menekan semangat lawan.

Wolf Dieter, seorang "kriegskinder" atau "anak-anak perang" yang tumbuh di masa Nazi Jerman berkuasa, seperti dilaporkan BBC pernah mengutarakan pengalamannya.

Dieter dilahirkan pada 1941. Umurnya belum genap lima tahun saat ia melihat tentara-tentara Rusia mengobrak-abrik rumah dan vila di seberang rumahnya. Setelah mereka meninggalkan rumah tersebut, neneknya pergi melihat keadaan tetangganya.

Sang nenek mendapati pemandangan keji. Jasad seorang anak perempuan dan ibunya terbaring di tempat tidur, telanjang, dengan kondisi tenggorokan yang sudah terpotong.

“Ibu saya dokter, ia bilang kedua perempuan itu sudah meninggal, kami mengubur mereka di taman,” ujarnya.

Orang dewasa yang bertikai juga sering meluapkan emosinya kepada anak-anak dari pihak musuh. Ranee, seorang kriegskinder perempuan keturunan Jerman, pernah diungsikan ke rumah neneknya di Swiss karena kekurangan gizi dalam masa perang. Suatu hari saat berjalan-jalan di tengah desa, ia mendapat tamparan dari orang yang tidak dikenal.

“Dia berteriak ‘Kau orang Jerman menjijikkan!’ dan saya menangis,” ujarnya mengenang kembali trauma masa kecilnya.

Sejarah Pembentukan

Akhir dari Perang Dunia II sudah terlihat sejak tahun 1942, saat negara-negara Blok Poros (Jerman, Italia, Jepang) mengalami sejumlah kekalahan dalam pertempuran dengan pasukan Sekutu. Konflik ini kemudian ditutup dengan menyerahnya kekaisaran Jepang pada tahun 1945. Setelah itu, Eropa menghadapi masa-masa suram.

Pada musim dingin 1946-1947, jutaan orang tidak memiliki tempat tinggal, terjadi kekosongan bahan bakar, pakaian, dan makanan layak. Anak-anak menjadi kelompok paling menderita: setengah dari bayi yang lahir, meninggal sebelum bisa merayakan ulang tahunnay yang pertama.

Pihak Sekutu sudah memprediksi kondisi ini sehingga mereka mendirikan United Nations Relief and Rehabilitation Administration (UNRRA), yakni lembaga filantropi yang bertugas memberi bantuan umum kepada wilayah terdampak perang.

Namun, saat itu Amerika Serikat menolak memberi bantuan kepada negara-negara Eropa Barat dan Timur. Pembentukan UNICEF bermula dari sini. Saat UNRRA hendak ditutup, sebuah pertemuan digelar di Jenewa, Swiss.

“Ludwik Rajchman, delegasi dari Polandia vokal meminta sisa sumber daya UNRRA dipergunakan untuk anak-anak korban perang,” tulis laman resmi UNICEF.

Usulan Rajchman akhirnya diterima dan terbentuklah UN International Children's Emergency Fund--akronim pertama dari UNICEF (1946–1953). Saat itu, Rajchman sebagai pendiri dan Maurice Pate selaku Direktur Eksekutif pertama, sepakat bahwa UNICEF tak akan mendiskriminasi bantuan.

Lembaga ini menolong anak-anak di negara yang kalah maupun menang perang. Tak ada satu negara pun yang bisa mengintervensi ke mana bantuan disalurkan, termasuk Amerika Serikat. Program awal mereka didirikan di negara-negara Eropa Timur seperti Polandia, Rumania, dan Yugoslavia. Sebagian besar bantuan adalah susu kering yang diberikan untuk mengatasi masalah anak kurang gizi.

Di akhir periode 1940-an, UNICEF mulai memperluas wilayah kerjanya ke Cina dan Yunani, yang saat itu sama-sama tengah perang saudara. Mereka juga memberi bantuan kepada anak-anak di Timur Tengah akibat pendudukan oleh Israel.

Persoalan Belum Selesai

Pada tahun 1950, sejumlah negara anggota PBB berniat menghapus UNICEF karena menganggap situasi sudah kondusif, sehingga UNICEF dinilai tak lagi punya tugas berarti di luar darurat pascaperang.

Hal ini membuat beberapa negara lain melakukan sejumlah lobi untuk memperpanjang keberlangsungan UNICEF. Pakistan misalnya, mereka angkat bicara soal penderitaan jutaan anak di Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang kelaparan dan dijangkiti penyakit akibat kemiskinan yang mengakar.

“Bisakah tugas aksi internasional dianggap selesai dengan fakta tersebut?”

Pada tahun 1953, Majelis Umum PBB secara resmi menempatkan UNICEF dalam struktur kelembagaan mereka. Tugas UNICEF mulai saat itu diperluas, tak hanya membantu anak-anak yang terkena dampak perang dan konflik, tapi juga kekeringan, kelaparan, atau keadaan darurat lain.

Pada awal tahun 1960, Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, ikut mendesak program pengentasan kemiskinan di negara berkembang atau negara-negara yang baru merdeka. Anak-anak dipilih sebagai fokus utama program karena mereka menjadi kelompok paling menderita akibat kemiskinan, sekaligus barometer kemiskinan yang paling sensitif.

Infografik Mozaik Unicef

Infografik Mozaik Unicef. tirto.id/Deadnauval

Periode ini menjadi titik balik kedua dalam sejarah UNICEF. Setelah sebelumnya mereka bergulat melawan ancaman penyakit epidemi pada anak seperti TBC, frambusia, trakoma, kusta, dan malaria.

Pada 1960-an, UNICEF mulai berpikir untuk membangun kehidupan anak secara menyeluruh dengan gerakan pembangunan, mentransfer modal dan teknologi dari negara kaya ke negara miskin.

Atas usahanya memperjuangkan kehidupan layak bagi anak di seluruh dunia, UNICEF dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1965.

Dekade 1980-an, UNICEF menginisiasi pengurangan kematian anak dari kondisi yang dapat dicegah, misalnya diare dan campak. Mereka juga membantu perancangan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) pada tahun 1989. Konvensi ini menjadi perjanjian hak asasi manusia paling banyak diratifikasi dalam sejarah. Dari 184 negara anggota PBB, hanya dua negara yang gagal meratifikasi perjanjian, yakni Somalia dan Amerika Serikat.

Kini UNICEF fokus untuk meningkatkan kesehatan, gizi, pendidikan, dan kesejahteraan umum anak-anak. Perannya yang paling besar adalah memasok vaksin untuk negara-negara berkembang. Sekitar 40 persen vaksin anak di dunia disediakan oleh UNICEF. Mereka mengalokasikan seperempat anggaran tahunan khusus untuk program penyediaan vaksin dan imunisasi.

Di lebih dari 100 negara berkembang, UNICEF bekerja sama dengan pemerintah memastikan anak-anak dapat mengakses layanan imunisasi yang efisien, aman, dan berkelanjutan. Pada tahun 2003, lebih dari 60 ribu nyawa diselamatkan dengan program vaksinasi darurat pada 50 juta anak di negara dengan krisis kemanusiaan kompleks seperti Angola, Afghanistan, Pantai Gading, Ethiopia, Sudan, dan Uganda.

Kiwari, UNICEF masih gencar mengampanyekan imunisasi, terutama di negara berkembang dan tertinggal. Mereka percaya imunisasi adalah langkah awal melindungi anak dari berbagai penyakit yang dapat merenggut hidup.

Baca juga artikel terkait UNICEF atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Irfan Teguh