Menuju konten utama
21 Maret 2006

Bagaimana Twitter Memengaruhi Opini Publik dan Preferensi Politik?

Burung berkicau.
Ceracau topik bikin
panggung berkilau.

Bagaimana Twitter Memengaruhi Opini Publik dan Preferensi Politik?
Ilustrasi Twitter. tirto.id/Gery

tirto.id - Tersebutlah nama Evan Williams dan Noah Glass, dua sosok dunia startup Amerika Serikat yang bergabung membentuk Odeo pada 2005. Evan William, sebagai orang kaya baru selepas menjual Blogspot pada Google, menjadikan salah satu apartemennya untuk dijadikan kantor.

Produk pertama pun lahir tepat pada Juli 2005 berupa platform podcast, semacam radio berbasis internet. Apa yang mereka ciptakan terbilang baru.

Sayangnya, nasib mujur tak berpihak pada mereka. Tak berselang lama, Apple merilis platform yang mirip di iTunes, yang langsung terpasang di perangkat buatan mereka. Odeo jadi punya saingan yang teramat berat.

Kala itu, Odeo memiliki 14 karyawan, termasuk para pendiri perusahaan. Keputusan pun dibuat: Odeo harus move on dari platform podcast. Guna memiliki produk baru, hackathons—istilah yang merujuk pada aktivitas coding bareng untuk menghasilkan aplikasi—dilakukan. Salah seorang karyawan mereka bernama Jack Dorsey punya ide unik. Ide itu bernama “Twttr” yang kemudian hari berganti menjadi “Twitter.”

Meskipun diragukan, termasuk oleh Dorsey sendiri, Twttr akhirnya dibuat.

“Just setting up my twttr,” cuit Dorsey melalui akunnya @jack pada 21 Maret 2006, tepat hari ini 12 tahun lalu. Secara de facto, Twttr alias Twitter pun lahir.

Twitter versi awal lebih mirip layanan SMS dibandingkan media sosial seperti yang kini terlihat. Sementara versi situsweb menjadi semacam fitur tambahan. Kala pertama kali dirilis, sebagaimana diberitakan Techcrunch, Twitter ialah sejenis SMS “group send”. Pengguna tinggal mengirimkan pesan ke nomor 40404 lalu pesan akan dikirimkan ke grup yang telah diciptakannya melalui SMS.

Karena menebeng SMS, Twitter membatasi para penggunanya hanya dapat berkicau dalam 140 karakter. Semenjak November 2017 batasan tersebut meningkatkan menjadi 280 karakter.

Meski terbatas untuk berkicau, Twitter tak bisa dianggap media sosial sembarangan. Perlahan tapi pasti, banyak orang berpengaruh di dunia menggunakan Twitter. Dari mulai Presiden AS yang punya akun khusus @POTUS, hingga pemimpin keagamaan seperti Paus Fransiskus dengan akun resmi @Pontifex.

Platform-nya Dunia Politik

Dalam artikelnya di jurnal Journalism Practice (Vol. 6, 2012) berjudul “Twitter Links Between Politicans and Journalists” Peter Vermeij menyebut bahwa ada dua perspektif media sosial. Pertama sebagai penyebar informasi dan kedua sebagai pembentuk hubungan. Facebook ialah media sosial dengan perspektif kedua, sementara Twitter merupakan media sosial dengan perspektif pertama.

Salah satu alasan mengapa Twitter dianggap sebagai penyebar informasi ialah kenyataan bahwa setengah dari trending topics Twitter menjadi headline CNN. Karena Twitter punya kekuatan menjadi corong berita media konvensional, banyak pihak lalu memanfaatkannya, terutama dunia politik.

Alex Fame, dalam papernya di jurnal Public Relations Review (Vol. 41, Juni 2015) berjudul “Le Tweet Stratégique: Use of Twitter as a PR tool by French Politicians”, menyatakan bahwa 60 persen anggota parlemen negeri Napoleon Bonaparte punya akun Twitter. Persentase itu terjadi dalam tiga bulan terakhir tahun 2013, alias jelang pemilihan anggota parlemen yang diadakan pada 2014.

Sementara John Parmelee, penulis Politics and the Twitter Revolution (2011), mengatakan pada The Guardian bahwa Twitter dapat mengatur agenda tentang apa yang hendak dunia jurnalistik kerjakan.

“Pikirkan saja cara Trump nge-tweet selama enam bulan terakhir, tentukan agendanya,” kata Parmelee.

“Twitter secara fundamental digunakan politisi untuk mempengaruhi orang berpengaruh lain. Twitter merupakan medium kecil bagi orang, tapi orang-orang itulah yang mampu menentukan agenda berita. Ini seperti mempraktekkan lobi,” tambahnya.

Dalam papernya, Fame bahkan dengan tegas menandaskan bahwa dalam konteks politik kini, “kita adalah apa yang kita kicaukan.” Jika ingin memenangkan pertarungan politik, Twitter ialah cara yang efektif menunjukkan jatidiri kita pada konstituen.

Infografik Mozaik Twitter

Adam Sharp, Kepala Bagian Berita, Pemerintahan, dan Pemilu Twitter Inc. 2010-2016, mengungkapkan pada The Atlantic bahwa kini banyak kalangan dari dunia politik yang menggunakan Twitter. Ini terjadi karena Twitter dianggap sebagai platform komunikasi dan pengorganisasian yang efektif, tanpa memerlukan biaya tinggi yang sebelumnya harus ditanggung para politisi.

Selain sebagai corong politisi menyebarluaskan agenda mereka, Twitter merupakan tempat ideal untuk memonitor sentimen publik. Fame, mengutip Jackson (2011) dalam papernya itu, mengatakan bahwa Twitter dapat berubah bentuk menjadi “layanan konstituen.” Politisi dapat dengan mudah terhubung dengan konstituen dan langsung membaca apa yang mereka suarakan.

Dalam artikelnya berjudul "What’s in Your Tweet? I Know Who You Supported in the UK 2010 General Election" (PDF), Antoine Boutet mengawasi riuhnya dukungan netizen di media sosial berlogo burung biru tersebut. Secara sederhana, Boutet mengidentifikasi tweet dan retweet yang mengacu pada partai politik peserta pemilu, dalam hal ini Partai Buruh, Partai Konservatif, dan Partai Liberal Demokrat di Inggris, berikut tokoh-tokoh yang memiliki preferensi politik tertentu.

Sebagai gambaran, tweet dan retweet yang berhubungan dengan akun resmi partai politik akan dimasukkan ke dalam basis data analisis. Juga tweet dan retweet yang menyebut akun-akun tokoh yang telah diketahui preferensi mereka. Di Indonesia ada contohnya. Akun @pandji yang punya hampir sejuta pengikut jelas-jelas mendukung Anies-Sandi, sedangkan @jokoanwar adalah salah satu akun paling berpengaruh di pihak Ahok.

Penelitian Boutet tersebut mengidentifikasi lebih dari 10.000 tweet yang diklasifikasikan dalam 419 topik. Hasilnya, grafik tweet yang berafiliasi dengan Partai Konservatif dan Partai Liberal cukup tinggi meninggalkan Partai Liberal Demokrat. Sebagaimana diberitakan BBC, Partai Konservatif memenangkan pemilihan umum di tahun 2010 tersebut.

Twitter memang media sosial sederhana, tapi justru itulah kekuatannya. Batasan yang hanya 140—kemudian 280—karakter mampu menggerakkan opini publik dan preferensi politik.

Baca juga artikel terkait MEDIA SOSIAL atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Ivan Aulia Ahsan