Menuju konten utama

Bagaimana Strategi Oposisi Lawan Partai Berkuasa di Singapura?

10 kursi parlemen yang direbut Partai Pekerja menjadi sejarah baru dalam kontestasi politik di Singapura.

Bagaimana Strategi Oposisi Lawan Partai Berkuasa di Singapura?
Ilustrasi Singapura. foto/istockphoto

tirto.id - Singapura baru saja menyelesaikan kontestasi politik elektoral pada tahun ini. Pemilu yang terselenggara pada Jumat (10/7/2020) tersebut, kembali memenangkan Partai Aksi Rakyat (People's Action Party/PAP), partai yang berkuasa bahkan sejak kemerdekaan mereka.

Seperti dilaporkan sebelumnya, dalam pemungutan suara tersebut, PAP memperoleh 83 dari 93 kursi parlemen Singapura, sementara sisa 10 kursi menjadi jatah partai oposisi, Partai Pekerja (Workers' Party/WP).

Dalam standar internasional, hasil ini disebut sebagai “kemenangan besar dan mutlak”. Namun, berbeda dengan yang disampaikan PAP. Mereka justru harus ‘kecewa’, karena 10 kursi yang dimenangkan partai oposisi belum pernah terjadi dalam sejarah.

Kemenangan PAP pada tahun ini justru turun dibanding tahun 2015 lalu. Persentase turun dari 70 persen menjadi 61 persen pada tahun ini, yang menurut PM Lee Hsien Loong, hal itu menunjukkan "keinginan jelas akan keragaman suara."

BBC menyebut, hasil pemilu tersebut adalah pertanda demokrasi di negara Singapura menuju ke arah pendewasaan. Wartawan BBC, Sharanjit Leyl, yang melakukan wawancara eksklusif dengan PAP menulis:

“Singapura mungkin adalah salah satu negara terkaya dan 'terpintar' dunia, namun sejak merdeka ada satu hal yang baru terwujud sekarang, partai oposisi yang punya kekuatan.” Nampaknya, hal itu terwujud tahun ini.

Sejak diberikan hak berkuasa secara mandiri oleh Inggris pada 1959, warga Singapura tidak pernah sekalipun merasakan masa PAP absen dalam kekuasaan. Pendeknya, PAP selalu menang.

Walaupun dieluh-eluhkan karena dianggap menjadi kunci kesuksesan Singapura, seperti ditulis BBC, PAP juga dituding menerapkan kebijakan-kebijakan yang mengekang kebebasan publik, seperti aturan terkait media dan aturan mengenai perkumpulan warga (berserikat).

Undang-Undang "berita palsu" pada tahun lalu, contohnya, yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk memerintahkan pengubahan unggahan daring yang dianggap palsu dan berbahaya bagi kepentingan publik. Hal itu turut meningkatkan kerisauan mengenai pembatasan kebebasan berekspresi serta penyensoran.

Lantas, apa yang membuat partai oposisi mampu membuat sejarah dengan cara merebut 10 kursi?

Strategi Oposisi

Dr. Gilian Koh, direktur deputi departemen pemerintahan dan ekonomi Institute of Policy Studies, National University of Singapore, menjabarkan strategi apa saja yang diambil partai oposisi--Partai Pekerja (WP)--dalam merebut suara pemilih.

Dalam opini berjudul “How the Workers’ Party won big this General Election” yang tayang di Channel News Asia tersebut, peneliti senior itu memaparkan, setidaknya ada tiga strategi yang dilakukan WP.

1. Memenuhi janji untuk memberikan suara alternatif di Parlemen

Pasca-Pemilu 2015, dari enam anggota parlemen WP yang terpilih, tiga anggota parlemen non-konstituensi (NCMP) tidak hanya terlibat dalam debat sengit dengan frontbench PAP mengenai kebijakan. Akan tetapi, dalam voting, mereka juga berani memilih menentang UU dan amandemen konstitusi, ketika itu diharuskan.

Hal tersebut, menurut Koh, tidak hanya memberikan profil publik kepada anggota parlemen, tetapi juga menunjukkan betapa seriusnya mereka untuk "menolak cek kosong dari PAP". Hal ini lah yang terus WP serukan selama kampanye. Selain itu, WP juga berkampanye layaknya kandidat oposisi lainnya, yakini menolak “PAP supermajority”, atau 62 kursi.

2. faktor media sosial

Menurut Koh, WP memiliki strategi khusus dengan memanfaatkan media sosial, terutama dalam menjaring pemilih muda dan pemula, serta swing voters atau pemilih independen.

3. Tata kelola

Peneliti senior itu menilai bahwa WP memiliki tata kelola lokal (daerah) yang baik. WP menarasikan, bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan pemerintahan daerah yang baik darinya.

Sekjen WP Pritam Singh, dalam pidatonya, meminta maaf karena merasa gagal di masa lalu dan berjanji akan melakukan yang lebih baik. Gagasan restitusi untuk pemulihan keadaan (karena krisis pandemi), dinilai sebagai motivator yang baik bagi warga negara biasa.

Yang paling penting, dengan latar belakang kemenangan pada banding ke putusan Pengadilan Tinggi terkait kasus AHTC, Singh menggembar-gemborkan narasi terkait Siaran Politik Konstituensi pada 2 Juli 2020 yang menyebut bahwa laporan keuangan mereka bersih dan memenuhi syarat pada tahun 2019.

Faktor ini yang membuat beberapa pendukung dan pemilih merasa nyaman untuk mendukung partai. Alhasil, WP mampu menaikkan suara sebesar 9 persen di GRC Aljunied, yang membuat kemenangan dengan angka tersebut merupakan “kenaikan yang tinggi” dibanding tahun 2015.

Selain ketiga faktor tersebut, yang harus digarisbawahi adalah narasi kampanye Pritam Singh yang berpusat pada premis bahwa pemerintah lebih merespons kerisauan masyarakat ketika kehilangan kursi, seperti pada 2011 misalnya, saat PAP mengalami kekalahan Pemilu terburuk kemudian melakukan perubahan kebijakan di bidang imigrasi.

Kesuksesan WP, disebut-sebut banyak kaitannya dengan pemilih muda dan pemilih pemula, yang berjumlah sepertiga dari seluruh pemilih, serta yang dipandang ingin melihat Singapura berkembang sebagai negara demokrasi.

Dugaan serangan PAP terhadap kandidat dari kubu oposisi diperkirakan juga membuat para pemilih enggan memilih partai berkuasa tersebut.

Eugene Tan, pengamat politik sekaligus asisten profesor hukum di Singapore Management University, berpendapat hasil pemilu menguatkan pandangan bahwa para pemilih, terutama pemilih muda, mulai memandang dominasi satu partai adalah "situasi yang sangat janggal bahkan tidak adil".

Kepada BBC, ia menyebut bahwa hasil Pemilu tahun ini sebagai "tamparan pada wajah PM Lee Hsien Loong yang meminta mandat kuat dari rakyat".

Lain halnya dengan Gillian Koh, yang mencatat tahun ini sebagai “era kemarahan di mana publik di negara-negara demokrasi di seluruh dunia, merasa kekurangan saluran yang efektif untuk menyuarakan perbedaan pendapat mereka.”

Beberapa orang mungkin berargumen bahwa melalui sistem yang ada, rasanya tidak adil melihat kenyataan 61,24 persen dukungan untuk PAP diterjemahkan untuk mengambil 90 persen kursi di Parlemen.

Akan tetapi, imbuh Koh, “kita dapat yakin bahwa di Pemilu 2020, fungsi vital dari pemilihan parlemen ini telah membawa Singapura ke dalam ‘jalur hijau’ demokrasi.”

Baca juga artikel terkait PEMILU SINGAPURA 2020 atau tulisan lainnya dari Ahmad Efendi

tirto.id - Politik
Kontributor: Ahmad Efendi
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Alexander Haryanto