Menuju konten utama

Bagaimana Rasanya Jadi Muslimah Tanpa Jilbab di Indonesia Masa Kini

Di tengah tren, mereka bak minoritas. Berkali-kali dikira non-muslim, akrab dengan ajakan berjilbab atas nama “mengingatkan” yang bikin tak nyaman.

Bagaimana Rasanya Jadi Muslimah Tanpa Jilbab di Indonesia Masa Kini
Siswi-siswi Muslimah berhijab. AP Photo / Beawiharta, REUTERS POOL

tirto.id - Wacana jilbab di Indonesia tidak pernah lepas dari kondisi sosial dan politik yang membentuk model konsumsi atau penggunaan jilbab di kalangan perempuan muslim. Maka wajar jika pada satu era jumlah pemakainya sedikit tapi di masa yang lain terlihat membludak.

Menurut penelusuran historis Tirto, berdasarkan arsip foto lawas, perempuan muslim di Indonesia tidak banyak yang memakai jilbab pada akhir abad ke-19. Pengecualiannya ada pada sejumlah tokoh organisasi Islam. Dua diantaranya ialah Nyai Ahmad Dahlan dan Rangkayo Rasuna Said.

Kondisi serupa terlihat hingga jelang dan pasca-kemerdekaan Republik Indonesia. Jilbab biasanya dikenakan oleh anggota organisasi Islam. Memasuki periode 1980-an, penggunaan jilbab mulai marak sampai muncul wacana memisahkan siswi berjilbab dan yang tidak di sekolah-sekolah negeri.

Beberapa pihak menolak kebijakan tersebut. Contohnya siswi-siswi di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bandung. Di tengah makin mengentalnya polemik jilbab, pemerintah Orde Baru merasa perlu turun tangan.

Pada 17 Maret 1982 Dirjen Pendidikan dan Menengah (Dikdasmen) mengeluarkan aturan pelarangan jilbab di sekolah negeri. Aturan ini dicabut pada 1991, atau masa di mana rezim Orba mulai mendekati ormas-ormas Islam untuk kepentingan politis.

Pelarangan jilbab dibahas oleh sosiolog Monash University Australia, Ariel Heryanto, dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar di Indonesia (2015).

Ia mencatat pada 1980-an sebagian pemakai jilbab adalah aktivis dakwah yang menganggap pilihan fesyennya sebagai penegasan sikap politik (Islam). Beranjak ke 1990-an, pakaian berjilbab mulai menjadi tren mode. Perubahan besar terjadi pada masa reformasi, ketika jumlah pemakai jilbab meningkat secara signifikan.

Dua dekade pasca tumbangnya Orba, norma berbusana bagi perempuan muslim di ruang publik dikuasai narasi wajib berjilbab. Setidaknya demikian testimoni narasumber Tirto, Dias Saputri dan Nurina Jihan Yulianti.

Keduanya adalah perempuan muslim yang tidak mengenakan jilbab, dan kini merasa sebagai minoritas di antara perempuan muslim lain. Pengalaman-pengalaman khas pun muncul. Contohnya, sebab tidak mengenakan busana muslimah sesuai kelaziman, mereka sering dikira sebagai non-muslim.

“Terutama di lingkungan baru. Di awal kuliah pernah ikut kerja kelompok seharian. Aku izin salat, lalu ada yang kaget, ‘lho, kamu salat, Put?’,”kata Putri sambil tertawa, Rabu (19/6/2019).

Putri lahir, besar, dan belajar sampai perguruan tinggi di Yogyakarta. Ia alumnus Universitas Gadjah Mada. Pada saat menjalani Kuliah Kerja Nyata pengalaman dikira non-muslim muncul kembali. Kebetulan pada saat itu bulan puasa. Lokasinya di sebuah wilayah mayoritas muslim.

“Aku agak vokal untuk meminta ketersediaan makanan buat teman-teman satu kelompok yang non-muslim. Salah satu yang belum terlalu kenal tanya apa aku puasa. Dikira aku bicara mewakili teman non-muslim lain,” kata perempuan yang kini berprofesi sebagai jurnalis itu.

Jihan bekerja sebagai perawat di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto. Ia mengamati seluruh karyawan perempuan muslim mengenakan jilbab. Bagi yang tidak mengenakan pasti non-muslim. Hingga dua bulan bekerja, ia belum menemukan yang seperti dirinya: muslimah tanpa jilbab.

Pengalaman dikira non-muslim Jihan katakan sering, terutama saat dulu ia bekerja untuk lembaga survei sehingga sering bertemu orang baru. Demikian juga di rumah sakit, di mana beberapa koleganya kaget kala Jihan izin mau melaksanakan salat.

“Kadang bukan karena aku tidak berjilbab saja, tapi secara fisik aku dikira orang chinese, mata sipit. Atau luar Jawa, dari daerah Timur. Nah mereka mengasumsikan orang chinese atau luar Jawa itu non-muslim, sementara dari Jawa sebagian besar muslim,” katanya melalui sambungan telepon, Rabu (19/6/2019).

Perasaan sebagai minoritas tidak terlalu Putri rasakan saat berada di ruang publik, melainkan ketika salat di masjid, terutama yang menjadi basis komunitas muslim konservatif.

Berulangkali ia dipelototi pengunjung masjid lain, dari atas sampai bawah. Muka mereka menampakkan rasa heran mengapa seorang perempuan tanpa jilbab, yang wajahnya sudah basah oleh air wudhu, sedang bersiap-siap mengenakan mukena.

Putri selalu berpikiran positif bahwa barangkali di masyarakat sekitar masjid menafsirkan jilbab sebagai kewajiban yang tidak bisa ditawar untuk perempuan muslim. Meski demikian pengalaman-pengalaman itu membuatnya untuk memilih salat di rumah—kecuali saat kondisi tertentu.

Pada suatu sore, misalnya, ia diantar pacar mampir ke masjid. Putri sempat protes, tapi pada saat itu waktu menunjukkan hampir masuk jam salat Isya, sementara ia dan pacarnya sedang dalam perjalanan dan belum sempat salat Mahrib.

“Bener, diliatin lagi. Haha.. Bikin gak nyaman. Tapi aku cuma bisa cuek, dan mengalihkan pandangan.”

Sosiolog Universitas Negeri Yogyakarta, Amika Wardhana, menerangkan wacana jilbab bisa didedah memakai kajian tubuh dan agama. Masyarakat yang berbasis nilai-nilai keagamaan mengatur tubuh individu mengenai mana yang boleh dipakai dan yang tidak. Dalam Islam, katanya, ini soal halal-haram.

Khusus mengenai naiknya tren penggunaan jilbab pada era kekinian, ia melacak akarnya berasal dari booming jumlah penduduk kelas menengah. Warga kelas menengah dicirikan terdidik serta mapan secara ekonomi. Mereka anak kandung modernisasi yang di berbagai negara menampakkan ciri sekular.

“Tapi kelas menengah kita berbeda. Mereka tidak menjadi sekuler. Mereka justru makin religius sebab pada masa pasca-Orde Baru gelombang Islamisasi juga menguat,” kata akademisi pengkaji gerakan Islam di Indonesia itu, melalui sambungan telepon, Rabu (19/6/2019).

Amika turut memandang tren jilbab teori irisan agama dan ekonomi (economic-religion). Teori ini membayangkan tradisi keagamaan sebagai sesuatu yang tidak monoton. Situasinya berbeda dengan yang terjadi di masyarakat otoriter berbasis hukum syariat seperti di Iran maupun Arab Saudi.

“Di Indonesia lebih dinamis. Kita tidak punya kebijakan seragam mengenai jilbab, Masing-masing pihak ‘menjual’ perspektifnya, tafsirnya, melalui berbagai medium dan ekspresi. Maka lahir banyak jenis jilbab yang menjadi mode tren. Dari yang bermotif syar’i sampai yang menitikberatkan pada tampilan fesyen.”

Ariel Heryanto berselaras pendapat. Ia menyatakan bahwa di Indonesia, sebagaimana di berbagai tempat lain, “tak terlihat bentuan besar antara kapitalisme dan komitmen terhadap ketakwaan beragama.”

“Keduanya dapat berjalan berdampingan untuk alasan-alasan berbeda dan terkadang bertentangan satu sama lain,” catatnya, masih dalam buku Identitas dan Kenikmatan.

Amatan tersebut terbukti melalui manuver para pelaku industri busana muslim. Mereka terlihat bersemangat dalam menyambut kenaikan tren jilbab, sampai di titik turut mendorong makin luasnya pemakaian jilbab.

Dalam beberapa tahun belakangan industri jilbab makin membesar serta meluas. Laporan Tirto sebelumnya mengulas bagaimana bisnis jilbab kini bukan mainan pedagang pasar, tapi dijajaki merek-merek kelas dunia. Model-model berjilbab pun direkrut—sesuatu yang hampir mustahil pada era terdahulu.

Amika menegaskan motivasi dakwah dan bisnis tidak bisa dilepaskan sebab “sepanjang sejarah agama selalu punya kaitan dengan ekonomi.” Jika Ariel menyebut penggunaan jilbab pada era reformasi sebagai “kepatutan politik” (political correctness), Amika memandangnya sebagai bagian dari kontestasi identitas.

“Khas masyarakat Asia yang menyukai hal-hal yang seragam, semua sama. Maka wajar jika ada segelintir orang yang menunjukkan perbedaan. Mereka resisten terhadap tren, bahkan beberapa di antaranya ada yang cukup vokal dalam menyatakan sikapnya.”

Saat ditanya mengapa memutuskan untuk tidak berjilbab, baik Putri dan Jihan menjawab singkat: “Belum ingin”.

Mereka memilih kata “belum” ketimbang “tidak” sebab tidak menutup kemungkinan pada suatu saat rambut mereka akan mengenakan jilbab. Belum untuk sekarang, di usia mereka yang sudah melewati 25. Semua tergantung kesiapan dalam hati, sebab mereka memaknai jilbab lebih dari sekedar fesyen.

“Aku menjalankan perintah-perintah dasar dalam Islam, tapi kurasa belum secara sempurna. Jadi pingin fokus ke arah situ dulu. Pondasinya dulu dikuatin, baru soal jilbab. Sebab Jilbab bukan sekedar pakaian, tapi ada nilai-nilai yang melekat. Ada beban takwa yang mesti dijalankan secara konsisten,” jelas Putri.

Keluarga Putri tidak cerewet soal pakaian. Selama ini mereka menekankan pendidikan agama pada substansi, yaitu bagaimana anak-anak berlaku baik pada orang, pada makhluk hidup, juga pada lingkungan.

Adik-adik Jihan yang perempuan telah berjilbab semua. Ayahnya belum lelah mendorong Jihan untuk berpakaian yang sama. Satu-dua anggota keluarga besarnya juga demikian. Misal, saat belanja bersama, di toko pakaian mereka akan menyarankan Jihan beli baju yang bisa dipakaikan jilbab.

“Selalu kutolak. Belum siap, karena barangkali suatu saat aku ingin keluar pakai baju yang tidak bisa berjilbab. Sementara aku, kan, inginnya ketika pakai saat sudah yakin tidak akan melepasnya saat keluar. Konsisten.”

Infografik Jilbab Era Orba dan Setelahnya

Infografik Jilbab Era Orba & Setelahnya. tirto.id/Sabit

Berhadapan dengan orang-orang yang mengingatkan untuk berjilbab adalah pengalaman yang diakrabi Putri dan Jihan. Pada dasarnya orang-orang ini tidak dianggap sebagai gangguan. Tapi dalam beberapa kasus mereka sempat merasa tidak nyaman, terutama jika pelakunya adalah orang asing atau yang baru kenal.

“Baru kenal, jarang komunikasi, tapi bilang perempuan tuh harusnya begini begitu. Cowok ada, cewek ada. Ada temannya teman yang waktu dia nganterin aku sepanjang perjalanan kayak ceramah. Ini apa sih, jadi risih, enggak nyaman,” kata Jihan.

Amika mengutip sejumlah riset yang menyatakan bahwa penggunaan jilbab di Indonesia tidak otomatis membuat pelakunya religius.

Alasan seseorang memakai jilbab, lanjutnya, bisa karena penegasan identitas sosial, mengikuti tren, agar terlihat cantik, atau sesederhana mengikuti perintah otoritas. Otoritas itu berwujud macam-macam. Bisa ulama, orang tua, pemerintah, dan lain sebagainya.

“Ini soal lifestyle, dan di Indonesia susah untuk membedakan mana yang religius mana yang lifestyle. Selalu terjadi pertarungan tafsir atas jilbab. Juga soal menafsirkan kesopanan, yang pada dasarnya bersifat relatif serta selalu berubah sepanjang zaman.”

Baik Putri dan Jihan bersepakat bagaimana jilbab tidak mendefinisikan karakter seseorang—setidaknya tidak secara sepenuhnya.

Bisa disimpulkan bahwa pandangan mereka mengenai jilbab turut terbentuk dari perilaku para pemakai jilbab, yang kadang terekspose media sebagai pelaku kasus hukum atau pelanggaran norma agama.

“Misal berjilbab tapi, kok, korupsi. Kan, jelas menyusahkan orang lain, ya ironis. Kasus itu bikin aku bertanya ke pelaku, sebenarnya sejauh mana sih kamu memaknai berjilbabmu, beragamamu, perjalanan spiritualmu?” pungkas Putri.

Baca juga artikel terkait HIJAB atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf