Menuju konten utama

Bagaimana Raja-raja Asia Tenggara Memperoleh Kekuasaan?

Kontrol atas sungai dan pengaturan aliran air jadi dasar kekuasaan raja-raja Asia. Jawa menjadi anomali karena lingkungan yang berbeda.

Bagaimana Raja-raja Asia Tenggara Memperoleh Kekuasaan?
Ilustrasi Peta Indonesia. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Secara sederhana, tradisi kekuasaan pramodern di Nusantara dapat dibagi dalam dua kategori besar, yaitu tradisi agraris di pedalaman dan tradisi maritim di pesisir. Sebagai konsekuensi dari orientasi agraris yang dipacak Orde Baru selama tiga dekade, alam pikiran masyarakat agaknya lebih terikat pada ingatan kolektif dan kebudayaan agraris dibandingkan memori tentang tradisi maritim.

Padahal, seperti diungkapkan oleh sejarawan Onghokham dalam bunga rampai Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018, hlm. 45), “Kerajaan agraris yang mendekati kemurnian […] baru muncul kira-kira abad ke-17, ketika Kerajaan Mataram […] bersekutu dengan VOC [Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda]”.

Dengan demikian, orientasi negeri kita kepada poros agraris sebenarnya memiliki akar sejarah yang relatif muda. Bagaimana sebenarnya negeri-negeri birokratis dengan corak agraris itu dapat muncul dan bertahan di Asia Tenggara?

Diskusi mengenai hal ini tidak terlepas pada seluk beluk permasalahan dunia petani. Menurut antropolog Eric R. Wolf dalam Peasants (1966, hlm. 4–10), petani Asia Tenggara di masa lalu cenderung mengikuti pola hidup subsisten alias hanya memenuhi kebutuhan minimum. Mereka juga sangat terikat kepada tanahnya untuk memenuhi kebutuhan minimum tersebut.

Dengan demikian, tanah adalah faktor paling penting dalam kehidupan masyarakat petani. Premis itu memunculkan pertanyaan, untuk apa petani yang hidup secara subsisten dan mandiri memerlukan sistem pemerintahan yang sebenarnya membebaninya dengan pajak?

Masyarakat Hidraulik

Karl August Wittfogel berusaha menjawab atas pertanyaan tersebut dalam karya monumentalnya yang berjudul Oriental Despotism: A Comparative Study of Total Power (1957).

Wittfogel menyadari tidak semua wilayah yang menjadi tempat hidup masyarakat petani merupakan tanah yang sempurna untuk ditanami. Sebagian besar tanah di Asia Timur dan Asia Tenggara, misalnya, tidak mendapatkan curahan air yang cukup—syarat penting terlaksananya budaya pertanian. Dengan demikian, dibutuhkan suatu sistem irigasi buatan untuk memenuhi kebutuhan air bagi pertanian mereka.

Pada titik ini, campur tangan suatu sistem administrasi dibutuhkan untuk mengarahkan masyarakat bekerja membangun sistem-sistem irigasi. Wittfogel berpendapat kebutuhan akan pengaturan administrasi inilah yang kemudian melahirkan penguasa-penguasa paling awal dalam masyarakat agraris. Para penguasa ini adalah orang-orang tertentu yang mampu mengkoordinasikan pembangunan sistem irigasi.

Para penguasa ini menempatkan dirinya sebagai pusat dari seluruh sistem administrasi. Kekuasaan riil mereka berasal dari penguasaan atas pengaturan air dan sungai-sungai yang menjadi sumber irigasi. Mereka juga mempertahankan kekuasaannya dengan berlaku secara despotik.

Dihadapkan pada situasi yang demikian, para petani menjadi tanpa pilihan dan harus memenuhi tuntutan pajak yang diminta penguasa. Melalui skema ini, petani bukan membayar pajak atas tanah yang mereka garap, melainkan atas suplai air yang mereka dapat.

Wittfogel kemudian menyebut masyarakat yang terintegrasi dalam ketergantungan pada penguasa-penguasa sungai yang despotik itu sebagai masyarakat hidraulik.

Teori Wittfogel itu kemudian mendapat banyak kritik dan pandangan setelah 50 tahun berlalu. Salah satu kritik yang cukup prominen diajukan oleh antropolog David H. Price dalam artikel “Wittfogel’s Neglected Hydraulic/Hydroagricultural Distinction” yang dimuat Journal of Anthropological Research (1994, hlm. 187–204).

Salah satu aspek yang dipermasalahkan Price adalah hubungan antara kebutuhan sarana irigasi dan terciptanya suatu sistem birokrasi pemerintahan. Pasalnya, beberapa bentuk sistem pemerintahan telah ada sebelum kebutuhan terhadap sarana irigasi muncul.

Meski demikian, hal tersebut tidak mengurangi arti penting penguasaan sungai dan sarana irigasi karena para penguasa memang memanfaatkannya untuk mengikat kesetiaan masyarakat petani pada masa tertentu. Sekalipun tidak melahirkan sistem birokrasi, penguasaan atas sungai tetap merupakan pilar kekuasaan para penguasa atas kaum petani.

Meski sistem semacam itu tampak menjanjikan, kesuksesan penguasaan atas masyarakat hidraulik sebenarnya bersandar pula pada banyak faktor. Salah satu faktor paling utama adalah curah hujan dan sumber air. Jika dia ingin berkuasa penuh, seorang penguasa harus memastikan masyarakat petani tidak memiliki sumber air alternatif.

Pasalnya, keberadaan sumber air alternatif atau curah hujan yang mencukupi untuk kegiatan pertanian akan membuat petani tidak perlu lagi bergantung pada penguasa sungai. Dengan demikian, kekuasaan dan pola kemasyarakatan hidraulik hanya dapat berlangsung pada wilayah-wilayah dengan curah hujan rendah, ketersediaan mata air yang terbatas, dan kondisi geografis sungai yang dapat dikuasai dengan baik.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kemungkinan pola kekuasaan dan kemasyarakatan hidraulik ini berlangsung di Asia Tenggara?

Daniel George Edward Hall dalam A History of Southeast Asia (1955) menyebut wilayah Asia Tenggara secara garis besar terbagi dalam dua rupa geografis, yaitu Asia Tenggara Daratan dan Asia Tenggara Kepulauan. Wilayah daratan dari Asia Tenggara sekarang meliputi wilayah utara Thailand, wilayah bekas Indocina, dan Myanmar. Sedangkan, wilayah kepulauannya sekarang meliputi bagian selatan Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Filipina.

Meski berbeda tipologi, di kedua wilayah itu sama-sama tumbuh negeri-negeri sungai. Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (2008) mengidentifikasi budaya agraris yang kuat berkembang di wilayah Thailand, Myanmar, Angkor, dan Jawa. Masyarakat di wilayah-wilayah agraris itu memiliki peluang yang besar untuk jatuh ke dalam pola kekuasaan hidraulik.

Infografik Negeri Sungai dan Negeri Hujan Asia Tenggara

Infografik Negeri Sungai & Negeri Hujan Asia Tenggara. tirto.id/Quita

Anomali Imperium Jawa

Di Myanmar atau yang dulu disebut Birma, penguasaan atas aliran Sungai Irrawaddy dilakukan oleh Dinasti Pagan (849–1297). Dinasti Pagan pun kemudian menegakkan ibu kotanya di wilayah percabangan sungai itu.

Sejarawan Victor Lieberman dalam Strange Parallels: Southeast Asia in Global Context, c. 800–1830 (2003, hlm. 100–1) menyatakan penguasaan dan penyusunan sistem pengaturan air yang dibuat setelahnya membuat Dinasti Pagan dapat menguasai masyarakat petani di dataran tinggi Birma dan akhirnya juga seluruh negeri.

Namun demikian, kesuksesan semacam ini hanya dapat dipertahankan karena wilayah dataran tinggi Birma memiliki curah hujan yang cukup rendah. Dengan demikian, pada musim kering, satu-satunya sumber pengairan masyarakat agraris adalah sungai yang dikuasai oleh Dinasti Pagan.

Berbeda dengan masyarakat di wilayah bagian utara, masyarakat di wilayah Asia Tenggara bagian selatan umumnya punya ketahanan yang lebih kuat terhadap para penguasa sungai. Karena itulah, dinasti-dinasti penguasa Kerajaan Siam tidak menggunakan kontrolnya atas sungai sebagai alat kekuasaan.

Penyebabnya jelas: wilayah itu punya banyak sumber air selain sungai yang dapat dimanfaatkan secara bebas oleh masyarakat. Dengan demikian, muncul pola kekuasaan agraris yang lebih simbolis dan mistis. Kekuasaan Siam sangat mirip polanya dengan kekuasaan para raja di Jawa.

Lalu, wilayah Jawa dan masyarakatnya adalah pengecualian yang unik. Wilayah Jawa punya curah hujan tinggi dan memiliki banyak mata air sehingga pola masyarakat hidraulik tidak dapat berkembang.

Masyarakat Jawa dapat menghindar dari cengkeraman para penguasa sungai dengan menuju sumber air di dataran tinggi. Masyarakat Jawa juga dapat menerapkan sistem sawah berundak di daerah tertentu yang berbukit untuk menyiasati jumlah pasokan air yang sedikit. Di beberapa wilayah Jawa bagian timur, pengembangan sawah tadah hujan juga sudah berlangsung sejak abad ke-17 atau bahkan sebelumnya.

Dengan demikian, masyarakat agraris Jawa pada masa pramodern telah menunjukkan keberdayaannya dalam mengelola sumber daya secara mandiri. Tidak seperi petani Birma, petani Jawa tidak bergantung dengan sungai yang dikuasai oleh penguasa. Oleh sebab itu, penguasa di Jawa mengembangkan cara lain untuk mengikat masyarakat tani ke dalam kekuasaannya.

Di Jawa—dan kemungkinan juga di Siam—kelompok penguasa membangun konstruksi-konstruksi imajiner untuk mempertahankan kekuasaan. Di Mataram Islam (1586–1755), para rajanya menekankan kepada rakyatnya bahwa kesempurnaan hidup hanya dapat dicapai bila ia menyatukan diri dengan Tuhannya yang di dunia diwakili oleh sosok raja (Onghokham 2018, hlm. 46).

Kekuatan penguasa Jawa bergantung pada konstruksi imajiner yang legendaris itu dan berbagai macam legitimasi. Oleh sebab itu, pendekatan materiel Wittfogel dalam melihat proses pembentukan kekuasaan di Asia sama sekali tidak dapat diaplikasikan untuk konteks Jawa. Di antara tetangga-tetangga Asianya, Jawa merupakan sebuah imperium yang anomali.

Masyarakat petani subsisten Jawa dapat berdiri sebagai kesatuan masyarakat yang sangat mandiri dan tidak memerlukan bantuan penguasa. Namun, raja punya kuasa karena legitimasi dan simbol-simbol yang dibangun di dalam pikiran.

Masyarakat petani Jawa bisa berpindah tempat untuk menghindari kesewenang-wenangan rajanya. Sesuai dengan analisis sejarawan ekonomi Ian Brown dalam Economic Change in Southeast Asia c. 1830–1980 (1997), kemandirian semacam itu baru runtuh setelah integrasi masyarakat petani Jawa kepada pasar global melalui praktik cultuurstelsel yang diinisiasi oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (1816–1942) pada 1830.

Integrasi tersebut menyebabkan masyarakat petani Jawa memiliki ketergantungan terhadap barang-barang konsumsi di pasar yang merupakan bagian dari rantai komoditas global. Dengan demikian, masyarakat Jawa yang sejatinya merupakan bagian dari negeri-negeri hujan yang mandiri juga tak dapat secara ideal memanfaatkan kemandiriannya.

==========

Christopher Reinhart adalah peneliti bidang sejarah kuno dan sejarah kolonial Asia Tenggara dan Indonesia. Sejak 2019 menjadi asisten penelitian Prof. Gregor Benton (School of History, Archaeology and Religion, Cardiff University); sejak 2020 menjadi asisten penelitian Prof. Peter Carey (Fellow Emeritus Trinity College Oxford).

Baca juga artikel terkait RAJA JAWA atau tulisan lainnya dari Christopher Reinhart

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Fadrik Aziz Firdausi