Menuju konten utama

Bagaimana Polusi Udara Memengaruhi Kemampuan Kognitif Anak?

Balita yang ibunya terpapar polusi udara selama pertengahan hingga akhir kehamilan, cenderung memiliki kemampuan kognisi dan koordinasi motorik yang rendah.

Bagaimana Polusi Udara Memengaruhi Kemampuan Kognitif Anak?
Pengendara motor menggunakan masker saat berkendara di jalan yang diselimuti kabut asap di Kota Dumai, Dumai, Riau, Selasa (10/9/2019). ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/wsj.

tirto.id - Kualitas udara yang buruk telah menjadi ancaman bagi banyak orang.

Polusi udara juga tidak hanya berpengaruh buruk bagi kesehatan - terutama kesehatan paru yang dampaknya selalu melekat pada polusi udara - namun juga bagi kesehatan berpikir.

Para peneliti di University of British Columbia dan University of Victoria telah menunjukkan bahwa hanya dua jam dari paparan knalpot diesel pada orang dewasa, dapat menyebabkan penurunan kemampuan otak untuk berfungsi.

Peserta penelitian tersebut dikatakan mengalami penurunan konektivitas fungsional di wilayah otak yang luas setelah terpapar knalpot diesel. Meskipun perubahan di otak bersifat sementara dan konektivitas peserta kembali normal setelah paparan, namun temuan ini tentu mengkhawatirkan.

Yang menyedihkan, polusi udara ternyata paling mengancam anak-anak, ibu hamil, dan juga lansia. Anak yang terpapar udara yang buruk, dikatakan akan mengalami gangguan pada kemampuan kognitifnya.

Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Environmental Health menyatakan bahwa balita yang ibunya terpapar tingkat polusi udara yang lebih tinggi selama pertengahan hingga akhir kehamilan, cenderung mendapat skor lebih rendah pada ukuran kognisi, koordinasi motorik, dan keterampilan bahasa.

"Otak berkembang secara berbeda pada berbagai tahap kehamilan, dan ketika Anda mengalami gangguan pada jendela kritis, itu dapat memengaruhi lintasan perkembangan itu," ujar Zach Morgan, salah satu penulis dalam penelitian tersebut.

Artikel yang diterbitkan News Medical Net mengatakan bahwa efek paparan polusi udara pada satu periode kehidupan mungkin sangat dipengaruhi oleh paparan sebelumnya dan dampak perkembangannya.

Efek kognitif akibat paparan tersebut dapat bervariasi tergantung pada fase perkembangan dan periode kehidupan. Penemuan saat ini menyatakan bahwa mekanisme kumulatif seperti gesekan neuron yang disebabkan cedera atau peradangan kronis bisa memengaruhi. Namun, faktor-faktor akut lainnya telah terbukti mungkin saja mempengaruhi otak.

Penelitian pribadi Tanya Alderete, yang juga terlibat dalam penelitian bersama Morgan, juga menunjukkan bahwa paparan polusi udara dapat memengaruhi mikrobioma usus bayi dengan cara yang memicu peradangan, yang juga dapat memengaruhi otak.

Studi lain pada anak yang lebih besar telah menemukan hubungan antara paparan polutan pralahir dan pengurangan materi putih, ketebalan korteks dan aliran darah di otak, serta skor IQ yang lebih rendah.

Menurut Alderete, walau perempuan hamil terpapar polusi tingkat tinggi, tidak berarti anaknya akan mengalami defisit kognitif yang bertahan lama.

Namun melakukan pencegahan lebih baik dilakukan sebelumnya. Ia merekomendasikan agar perempuan hamil waspada dalam menghindari polutan udara jika memungkinkan, terutama pada trimester kedua dan ketiga.

Mereka juga harus menghindari berolahraga di luar ruangan pada hari-hari berpolusi tinggi; berinvestasi dalam sistem penyaringan udara di dalam rumah; buka jendela saat memasak; dan menghindari asap rokok.

Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular PB IDI & Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI) mengatakan, rokok dan polutan lainnya, tidak hanya merusak jaringan di saluran pernapasan, jantung, otak, liver, namun juga menimbulkan masalah-masalah hingga ke sistem reproduksi.

“Komponen partikel polusi yang masuk ke pembuluh darah berpotensi menyebabkan terjadinya inflamasi atau peradangan kronis yang berisiko terjadinya penyempitan pembuluh darah, termasuk pembuluh darah ke arah janin, yaitu plasenta. Ketika itu terjadi, maka oksigen dalam plasenta jadi lebih rendah. Akibatnya, bayi akan kekurangan nutrisi dari oksigen dan proses pertumbuhannya jadi terhambat,” papar Prof. Agus.

Karena itu, sebagaimana juga diungkap WHO, risiko pada ibu hamil adalah janin mengalami PJT (pertumbuhan janin yang terhambat).

“Ketika lahir, berat badannya lebih ringan dan tubuhnya lebih pendek. Bayi berisiko stunting. Ini bisa terjadi antara lain jika ibu kena polusi udara seperti rokok. Karena itu, ibu hamil nggak boleh kena asap rokok sekunder maupun tersier,” tegas Prof. Agus.

Sebagai salah satu bukti ilmiah, riset yang dilakukan Prof. Agus pada tahun 2013 menilai janin-janin yang lahir dari ibu yang merokok dan terpajan asap rokok memang lebih pendek dibandingkan dengan bayi yang ibunya tidak terpajan asap rokok, aktif maupun pasif.

“Ini menjadi bukti bahwa indoor pollution bisa memberi dampak negatif pada janin hingga menyebabkan stunting. Sehingga, salah satu upaya menurunkan angka stunting adalah dengan mengurangi polusi di rumah,” kata Prof. Agus.

KUALITAS UDARA JAKARTA BURUK

Kabut asap menyelimuti gedung-gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (25/8/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp..

Prof. Agus mengatakan, polusi udara bisa dikategorikan sebagai outdoor pollution (antara lain emisi kendaraan, manufaktur, proses alam) dan indoor pollution (dalam ruang, paling banyak asap rokok).

Saat ini, ungkap Prof. Agus dalam pertemuan Ikatan Dokter Indonesia bersama media pada Januari 2023 lalu, semakin banyak penyakit yang muncul akibat buruknya polusi udara.

Dari data WHO terungkap, terjadi 7 juta kematian prematur tiap tahunnya akibat polusi udara, baik yang terjadi di luar ruang (terbanyak), dan di dalam ruang (rumah).

Dari data tersebut, terungkap pula gangguan kesehatan yang berujung kematian prematur itu. Sebanyak 21% mengalami pneumonia (infeksi paru), 20% karena stroke, 34% penyakit jantung koroner, 19% karena penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan 7% menderita kanker paru-paru.

Artinya, penyakit paru (infeksi paru, PPOK, dan kanker paru) menyumbangkan sebanyak 47% pada kematian yang berkaitan dengan polusi udara.

Selain itu, WHO menambahkan bahwa faktor genetis, komorbiditas, nutrisi, dan sociodemographic juga memberikan risiko seseorang terdampak polusi udara.

Bagaimana mekanisme masuknya polutan ke dalam jaringan tubuh kita?

Diungkap oleh Prof. Agus, secara sederhana, polutan menyebabkan iritasi dalam jangka pendek, seperti iritasi kulit dan saluran napas atas, namun dalam jangka panjang, polutan bisa menyusup ke alveoli dan pembuluh darah, menjadi semakin berbahaya bagi kesehatan kita, bahkan berisiko kematian.

“Gejala iritasi yang paling sering muncul adalah mata merah, hidung berair, pilek, bersin-bersin, sakit tenggorokan. Kalau dahaknya banyak bisa terjadi induksi infeksi sehingga terjadi ISPA (infeksi saluran pernapasan akut). Kalau dibiarkan akan terjadi penyakit yang lebih berat, seperti paru kronis, asma, bronchitis, PPOK, sel-sel bermutasi, hingga penyakit jantung,” papar Prof. Agus.

Pada dasarnya, polutan ada yang berupa gas dan ada juga partikel (particulate matter/PM), karbon monoksida (CO), ozone (O3), nitrogen dioxide (NO2), dan sulphur dioxide (SO2). Yang saat ini menjadi perhatian khusus adalah PM, yang terbentuk dari proses pembakaran, baik kendaraan, industri, maupun di dalam rumah tangga.

Dalam hal penetrasi ke dalam tubuh, terdapat perbedaan antara polutan dari gas dan PM. Polutan gas yang terhirup akan langsung masuk sampai saluran napas bawah. Sementara, karena ukuran partikel berbeda-beda, maka jangkauan PM berbeda-beda.

PM10 hanya sampai pada zona napas atas dan tengah yang dapat menyebabkan gangguan fungsi paru. Ukuran PM5 lebih kecil, sehingga bisa menjangkau alveoli. Saking kecilnya, PM yang sangat halus (ultrafine) akan sanggup menembus jauh ke dalam paru-paru, masuk peredaran darah, berkelana ke dalam organ-organ lainnya, menyebabkan kerusakan sistemik pada jaringan dan sel-sel, yang mengakibatkan penyakit jantung, stroke, hingga kanker.

“PM masuk menyebabkan inflamasi sistemik dan penyumbatan vaskuler, sehingga akan terjadi risiko serangan jantung. (Jika terjadinya) di otak, maka akan timbul stroke. Di paru, PM menyebabkan terjadinya penyakit paru kronis seperti asma, dan (sifat) karsinogenik akan merangsang terjadinya kanker,” jelas Prof. Agus.

Infografik Penyakit Kronis Polusi Udara

Infografik Penyakit Kronis Polusi Udara. tirto.id/Quita

Bagaimana Mencegahnya?

Perjalanan penyakit-penyakit itu sebenarnya cukup panjang, tidak serta merta terjadi. Secara perlahan dan mengendap-endap seperti pencuri, polutan masuk dan merusak jaringan tubuh.

Karena itu, pada awalnya, para penderita penyakit kronis itu tidak menyadari kerusakan jaringan dan penyakit yang dideritanya, hingga akhirnya muncul gejala-gejala dan dilakukan pemeriksaan medis.

Nah, inilah yang patut kita waspadai.

“Jadi, banyak dampak polusi itu subclinical atau tidak terasa, yang akan terlihat jika penderita sudah masuk rumah sakit, dan serangan-serangan penyakitnya sudah tampak serta berisiko kematian. Subclinical itu misalnya, sudah terjadi gangguan fungsi paru, peradangan atau inflamasi paru, tapi belum ada keluhan dan tidak terdeteksi. Atau, sudah terjadi mutasi sel, tapi belum muncul gejala,” kata Prof. Agus.

Lalu, bagaimana mencegah terjadinya gangguan kesehatan akibat paparan polusi udara?

Mengendalikan sumber polusi dan menghindari area yang tinggi polusi udara adalah dua hal penting. Namun, jika itu tak terhindarkan, misalnya kita tinggal dan bekerja di kota yang cenderung tinggi polusi, maka beberapa upaya perlu kita lakukan.

Yang pertama adalah penggunaan masker. Selama pandemi COVID-19 kita sudah belajar dan terbiasa menggunakan masker sepanjang hari, jadi harusnya ini tidak menjadi hal sulit lagi.

Masker mampu memfiltrasi PM, sementara polutan gas tidak bisa dihambat dengan penggunaan masker biasa.

“Beberapa jenis masker direkomendasikan terutama N95 yang memiliki filtrasi partikel sampai 95%. Penelitian di luar negeri, beberapa masker bedah yang sederhana yang mampu memfiltrasi PM2,5 dapat mengurangi PM masuk ke saluran napas,” kata prof Agus.

Upaya pencegahan berikutnya adalah penggunaan air purifier. Namun perlu diingat, ini hanya bermanfaat terutama untuk indoor pollution.

Air purifier tidak bisa membersihkan udara di area luar yang sangat luas, dan masing-masing memiliki batas jangkauan. Sebelum membeli air purifier, pastikan Anda membaca kemampuan filtrasinya bisa sampai berapa mikron. Makin kecil PM yang bisa difiltrasi, hasilnya lebih bagus.

“Orang yang memiliki kecenderungan allergy desease, saat diberi air purifier, keluhan-keluhannya menjadi jauh lebih sedikit. Karena itu, kualitas udara harus betul-betul dijaga pada orang-orang yang memiliki alergi pada saluran napas,” kata Prof. Agus.

Ketiga, menurutnya adalah berhenti merokok. Tubuh kita akan berterima kasih ketika kita berhenti menjadi perokok aktif maupun pasif. Selain tentu saja, akan menyelamatkan anak-anak, yang paling terancam dari dunia yang terpolusi.

Baca juga artikel terkait CEK KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Gracia Danarti

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Gracia Danarti
Penulis: Gracia Danarti
Editor: Lilin Rosa Santi