Menuju konten utama

Bagaimana Platini Terlibat dalam Dugaan Suap Piala Dunia 2022?

Sembilan hari jelang voting akhir tuan rumah Piala Dunia 2022, Michel Platini dan mantan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy bertemu petinggi-petinggi Qatar. Beberapa bulan kemudian QSI mengakuisisi PSG, beIN Sports membeli hak siar Liga Perancis, dan ada penjualan 50 airbus dari Perancis ke Qatar Airways.

Bagaimana Platini Terlibat dalam Dugaan Suap Piala Dunia 2022?
Presiden UEFA Michel Platini tiba pada konferensi pers, sehari sebelum undian kualifikasi UEFA EURO 2016 di Nice, Prancis tenggara. Lionel Cironneau/AP

tirto.id - Bagi mereka yang hidup dan menyaksikan sepakbola pada medio 80-an, Michel Platini adalah raja tak terbantahkan. Sempat memperkuat klub-klub Perancis hingga Juventus, karier sepakbolanya bak jalan hidup protagonis dari negeri dongeng.

Berasal dari keluarga imigran Italia yang bermukim di Perancis, di akhir 15 tahun karier seniornya, Platini merengkuh berbagai pencapaian individual. Sebut saja tiga Ballon d’Or beruntun, pemain terbaik dunia, sampai pemain terbaik Perancis abad 20.

Di level klub maupun timnas, berbagai capaian juga dia raih. Gelar Liga Perancis, Liga Italia, Piala Winners, sampai Piala Eropa. Maka, tak heran jika saat itu dunia sepakat menjulukinya Le Roi, alias Sang Raja.

"Dia tak banyak berlari seperti Cruyff ataupun mengandalkan fisik, tapi saya menyukai bagaimana dia menjadi otak yang mengatur banyak hal di lapangan. Dia adalah pemain yang menggunakan kepalanya dalam arti lebih luas," kata pesepakbola legendaris Brasil, Pele memuji habis-habisan sosok Platini sebagai pemain.

Namun, bagi mereka yang hidup di abad 21, Platini bukanlah raja. Dia sekadar lelaki tua yang terlalu banyak menghabiskan sisa hidupnya untuk main suap.

Sejak gagal sebagai pelatih dan menjadi panitia penyelenggara Piala Dunia 1998, Platini bergabung dengan komite FIFA pada 2002. Dia lantas menjabat Presiden UEFA sekaligus Wakil Presiden FIFA per Januari 2007 hingga diberhentikan pada Oktober 2015. Selama berkiprah di UEFA dan FIFA, Platini punya lebih banyak rekam jejak negatif ketimbang yang baik.

Puncaknya, pada Selasa (18/6/2019) kemarin, Platini diciduk lembaga anti-korupsi dan Polisi Yudisial (OCLCIFF) di Nanterre, kawasan sub-urban perbatasan barat Paris. Dia lantas dikonfrontir dengan mantan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy. Beberapa jam berlalu, namun hanya Sarkozy yang tampak meninggalkan kantor kepolisian.

Baru pada Rabu (19/6/2019) waktu setempat Platini dibebaskan pihak kepolisian. Kendati demikian, Platini kemungkinan besar masih akan dipanggil penyidik untuk pemeriksaan-pemeriksaan lainnya.

Dari CAF, Perancis Sampai PSG

Dalam pemberitaannya, surat kabar Perancis Le Monde menyebut Platini diperiksa seputar keterlibatannya dalam penentuan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Pemilihan negara kilang minyak itu sebagai penyelenggara pesta sepakbola empat tahunan ini ditengarai kental dengan praktik suap. Apalagi, Qatar punya rekam jejak buruk soal isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang bikin kans mereka menjadi tuan rumah terhitung kecil.

Kecurigaan terhadap adanya suap terendus sejak beberapa bulan sebelum proses pemungutan suara yang dilakukan pada 2010. Saat itu, Qatar —dengan terlihat tidak wajar— tiba-tiba menawarkan diri untuk membantu mendanai pertemuan federasi sepakbola Afrika (CAF) yang dihelat di Libya.

Kolumnis sepakbola dan antropologi Inggris, Simon Kuper menilai tindakan tersebut sangat irasional karena Qatar sebelumnya tak punya rekam jejak hubungan dekat dengan CAF. Dan masih menurut Kuper, dalam sebuah kolom di AskMen, dia menilai pembiayaan itu sebatas lobi Qatar untuk mendapatkan suara dari sejumlah member kongres FIFA yang berasal dari Afrika. Apalagi, pada pemungutan kala itu tidak ada negara dari Afrika yang mencalonkan diri sebagai tuan rumah, sehingga bukan hal yang sulit untuk memenangkan hati para petinggi kongres dari benua hitam.

Saat voting, hasilnya bisa ditebak. Dalam tahap pertama pemilihan, suara Qatar bahkan melebihi jumlah pemilih dua rival sekaligus: Australia serta Jepang-Korea Selatan.

Pada tahap akhir pemilihan yang melibatkan 24 anggota Kongres FIFA, Qatar yang cuma bersaing dengan AS juga menang dengan selisih suara telak, 14:8. Dalam voting terakhir inilah, Platini ditengarai terlibat praktik kotor.

Selain 'mendekati' anggota-anggota kongres dari Afrika, Qatar juga diduga berkonspirasi dengan Platini yang saat itu punya pengaruh besar di kongres.

Cerita bermula saat sembilan hari jelang voting, Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy mengundang Platini untuk menghadiri makan malam di Istana Negara Elysee. Dalam perjamuan itu, Sarkozy memperkenalkan Platini dengan putra emir Qatar (yang saat ini sudah menjabat sebagai emir), Tamin al-Thani serta Perdana Menteri Qatar, Sheikh Hamad bin Jassim.

Platini membenarkan pertemuan ini, meski menampik tuduhan dirinya dibujuk Sarkozy dan al-Thani agar mendukung Qatar.

"Dia [Platini] sama sekali tak terlibat dengan peristiwa tersebut [suap] dan ini sama sekali tidak mengganggunya karena semua kejadian berada di luar pengetahuannya," ungkap kuasa hukum Platini, William Bourdon.

Namun, jika berdasarkan keterangan mantan Presiden FIFA, Sepp Blatter, pertemuan antara Platini, Sarkozy, dan putra emir Qatar, sedari awal memang bertujuan menggiring sejumlah pemilik suara agar mengalihkan dukungan dari AS ke Qatar.

Awalnya Blatter, Platini dan beberapa anggota kongres punya kecondongan menjatuhkan pilihan kepada AS karena negara tersebut memang punya modal infrastruktur yang lebih meyakinkan ketimbang Qatar. Namun, sekitar sepekan sebelum voting, Blatter mengakui mendapat panggilan telepon dari Platini yang berisi ajakan agar mengalihkan dukungan ke AS.

"Platini menelepon saya dan berkata: dengar, presiden, kesepakatan kita [untuk mendukung AS] sepertinya justru akan membuat pekerjaan kita nanti lebih sulit," tuturnya seperti diwartakan kantor berita Associated Press.

Blatter menambahkan, ada setidaknya empat anggota kongres lain yang berubah haluan dari mendukung AS ke Qatar. Semua, tentu saja, atas bujuk rayu Platini.

Upaya Qatar berkonspirasi dengan Sarkozy dan Blatter juga terkesan kian nyata jika melihat pergerakan negara tersebut. Enam bulan usai Qatar mengalahkan AS dalam voting tuan rumah Piala Dunia 2022, klub Perancis yang didukung Sarkozy sejak kecil, Paris Saint-Germain dibeli kepemilikannya oleh Qatar Sport Investermen (QSI), organisasi yang punya hubungan dekat dengan Pemerintah Qatar. Tidak lama kemudian, bos QSI, Naseer al-Kheilafi yang juga berstatus chairman stasiun televisi kabel beIN Sports juga membeli hak siar Liga Perancis.

Transaksi-transaksi ini diduga punya keterkaitan dengan pertemuan antara pihak Qatar dengan Sarkozy dan Platini yang sama-sama orang besar di Perancis. Bahkan, ada dugaan bahwa penjualan 50 pesawat airbus rakitan Perancis kepada Qatar Airways pada 2011 lalu juga berkaitan dengan suap penentuan tuan rumah Piala Dunia 2022.

Terkoneksi dengan Kasus-kasus Lain?

Dugaan suap dalam penentuan tuan rumah Piala Dunia 2022 tentu bukan terjadi tanpa sebab. Jika suap itu benar adanya, maka Tamin al-Thani dan Sarkozy jelas perlu keberanian untuk mendekati Platini. Namun, keberanian ini pada akhirnya bukan masalah besar lantaran sejak jauh-jauh hari, Platini sudah sering didesas-desuskan sebagai salah satu pejabat UEFA dan FIFA yang ‘mudah disentuh’.

Investigasi Komisi Etik FIFA dan Kepolisian Swiss pada 2015, membuktikan hal itu. Platini diketahui menerima dana tak wajar senilai 1,35 juta paun dari rekening mantan Presiden FIFA, Sepp Blater yang saat itu berstatus atasannya.

Di hadapan media, Blatter berdalih pembayaran itu terjadi atas kesepakatan personalnya dengan Platini, sekaligus balas jasa karena Platini bersedia menjadi penasihat pribadinya saat bekerja di FIFA pada 1998 hingga 2002.

Blatter bahkan mengklaim dana tersebut seharusnya ditanggung FIFA. Namun, karena kondisi keuangan FIFA sedang buruk, Blatter akhirnya membayar biaya tersebut dengan dana pribadinya.

Kendati demikian, faktanya investigator FIFA dan kepolisian Swiss tidak menemukan satu pun perjanjian yang membenarkan klaim Blatter. Baik Blatter maupun Platini akhirnya dihukum larangan beraktivitas di dunia sepakbola selama delapan tahun karena tindakan mereka diduga merupakan sikap pengkhianatan terhadap FIFA.

Kini, dengan adanya tudingan suap dalam penentuan tuan rumah Piala Dunia 2022, bukan tidak mungkin jika dana tersebut juga berkaitan dengan perputaran uang dengan Qatar. Namun, apakah itu satu-satunya kemungkinan?

Tentu saja tidak. Pada akhirnya, bukan cuma suap Piala Dunia 2022, Platini belakangan ditengarai juga berada di balik beberapa dugaan kasus lain.

Salah satu yang mulai menyeruak adalah tudingan adanya kecurangan di balik penentuan tuan rumah Piala Eropa 2016. Turnamen tersebut akhirnya dihelat di Perancis, tempat kelahiran Platini, namun ada kecurigaan praktik tak bersih, terutama jika melihat selisih Perancis yang cuma unggul satu suara atas Turki dalam voting penentuan tuan rumah.

Ada pula dugaan Platini punya peran tak lazim dalam penentuan Rusia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018. Faktanya, dia dan Sepp Blatter sempat mengakui bertemu dengan Vladimir Putin puluhan kali sebelum penetapan Rusia sebagai tuan rumah.

Seolah menguatkan peluang melebarnya kasus ini, usai dibebaskan dari pemeriksaan Rabu (19/6/2019) hari ini, Platini tidak menampik bahwa selain Piala Dunia 2022, beberapa pertanyaan yang ditujukan penyidik kepadanya juga menyangkut perhelatan Piala Eropa 2016 serta Piala Dunia Rusia (2018).

"Semua pertanyaan ditanyakan dengan baik-baik dan hati-hati [oleh penyidik]. Jumlahnya sangat banyak, tapi menjadi demikian karena saya ditanyai seputar Piala Eropa 2016, Piala Dunia Rusia, Piala Dunia Qatar, serta soal FIFA," ucapnya singkat dengan wajah lesu.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2022 atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Herdanang Ahmad Fauzan
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Abdul Aziz