Menuju konten utama

Bagaimana Perang Dingin Melahirkan Demam Fiksi Spionase?

Sampai abad ke-21, dunia telik sandi masih menjadi tontonan yang populer. Statusnya sejajar dengan film superhero.

Bagaimana Perang Dingin Melahirkan Demam Fiksi Spionase?
Ilustrasi agen rahasia. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Spionase sama tuanya dengan sejarah umat manusia. Alkitab menceritakan Musa mengutus dua belas orang untuk mengintai tanah Kanaan (Palestina) demi menyelamatkan bangsa Yahudi. Tiga ribu tahun kemudian, sebuah dinas rahasia dibentuk di Perancis untuk melindungi kepentingan pribadi Raja Louis XIII yang bertahta pada abad 17.

Pada 1844, Alexandre Dumas menciptakan tokoh mata-mata perempuan bernama Milady de Winter yang terinspirasi dari dinas rahasia Raja Perancis dalam karyanya yang termasyur The Three Musketeers. Gambaran klasik dari karakter femme fatale ini ditampilkan ahli dalam penyamaran dengan tugas memanipulasi orang-orang Inggris. Kebetulan di saat bersamaan Perancis dan Inggris memang sedang di ambang perang.

Tiga puluh tahun setelah Dumas menerbitkan karyanya, genre sastra penyerbuan muncul di Inggris sebagai dampak peperangan di Eropa. Letnan Kolonel George Tomkyns Chesney dari dinas militer Kerajaan Inggris menerbitkan cerita pendek tentang invasi “musuh” ke tanah airnya setelah menyaksikan kemenangan Jerman atas Perancis tahun 1870. Chesney tidak pernah merinci siapa musuh yang dia maksud.

Menurut Tom Reiss dalam paparannya di The New Yorker, fiksi berjudul The Battle of Dorking itu berhasil mempengaruhi opini publik tentang pertahanan nasional dan tetap menjadi genre yang populer sampai awal abad ke-20. Seolah mengikuti jejak Chesney, novel-novel politik yang muncul setelahnya pun lebih banyak ditulis oleh jebolan dinas intelijen Inggris, seperti halnya John le Carré atau Ian Fleming yang tidak lain adalah bapak dari agen 007.

Perang Dunia I lantas menandai kebangkitan awal novel dan film yang secara spesifik menceritakan aktivitas dinas rahasia dan aksi pengintaian. Puncaknya pada dasawarsa 1960-an, jumlah fiksi agen rahasia mengalami ledakan di tengah suhu Perang Dingin yang semakin memanas. Dr. No (1962), debut film James Bond yang diadaptasi dari novel keenam Fleming, muncul bersamaan dengan film-film thriller politik berlatar Perang Dingin lainnya.

Satu tahun setelah film 007 yang berjudul Never Say Never Again dan Octopussy dirilis tahun 1983, Leslie H. Gelb menulis artikel yang berjudul “Real Spies Shoot Down Spy Movies”. Mantan pejabat Departemen Pertahanan Amerika Serikat itu mengkritisi film mata-mata buatan Hollywood yang kelewat flamboyan, dangkal, dan tidak masuk akal.

“Bagi mereka, memata-matai adalah latihan otak dan mereka melihat diri mereka sebagai jurnalis investigatif yang menyusun potongan teka-teki,” terang Gelb dalam artikelnya yang terbit di The New York Times (2/9/1984).

“Tidak ada mata-mata wanita telanjang, tidak ada pelajaran karate bagi mereka yang dikirim ke lapangan, hampir tidak ada pembunuhan atau darah kental, dan cuma ada sedikit gadget untuk melarikan diri karena terlalu mahal. Dengan kata lain, tidak menyenangkan bagi penonton bioskop,” lanjutnya.

Hollywood tentu punya berbagai macam cara mengubah hal membosankan menjadi tontonan pembangkit adrenalin. Sampai abad 21, dunia intelijen dan perteliksandian masih menjadi tontonan yang populer di Amerika Serikat, bahkan disamakan dengan demam superhero.

Tahun 2015 saja terdapat sedikitnya lima judul film tentang dinas rahasia. Beberapa di antaranya seperti 007 Spectre, Kingsman The Secret Service, dan Mission Impossible Rogue Nation menunjukan betapa mata-mata adalah orang yang mulia dan serba bisa. Segala keahlian bertempur yang bertentangan dengan realitas praktik mata-mata sungguhan justru dipercaya menjadi kenyataan.

“Jika James Bond benar-benar bekerja di MI6 hari ini, dia akan menghabiskan banyak waktu di belakang meja mengerjakan dokumen dan memastikan semuanya telah dibersihkan dan disahkan dengan benar,” tulis BBC yang mengutip keterangan anggota dinas intelijen Britania Raya.

Setelah mengetahui dinas intelijen bukanlah organisasi paramiliter, pertanyaannya tentu menjadi sederhana. Jika film mata-mata cenderung tidak masuk akal, mengapa sampai saat ini kita masih menyukainya?

Perang dalam Pikiran

Latar belakang politik riil sangat mempengaruhi dinamika genre film mata-mata. Saat tensi Perang Dingin ada di titik tertinggi akibat pembangunan Tembok Berlin tahun 1961, novel dan film bertema spionase yang menggambarkan buruknya hubungan antara negara-negara Blok Barat dan Blok Timur tumpah ruah begitu saja ke pasaran. Media-media Barat menyebutnya sebagai fenomena Spy Mania.

“Film thriller mata-mata, serial TV, dan novel menemukan tempat berkembang biak yang ideal dalam iklim Perang Dingin. Mereka bergantung pada atmosfer pengawasan antara dua kubu yang sama-sama sedang gelisah, operasi terselubung di satu sisi dan siaran yang bersifat permusuhan di sisi lain,” tulis Christoph Classen, peneliti di Pusat Sejarah Kontemporer Potsdam.

Menurut Classen, fiksi spionase dan agen rahasia pada dasarnya adalah bentuk dari peperangan dalam pikiran. Para penikmat genre mata-mata secara tidak sadar disedot ke dalam proyeksi dari kemungkinan terburuk saat berhadapan dengan musuh yang tidak terlihat. Itulah mengapa, katanya, mayoritas film spionase layaknya James Bond hanya memanfaatkan segala bentuk kegaduhan politik sebagai latar belakang sehingga terkesan dibuat-buat.

James Bond sendiri yang merupakan mata-mata yang bekerja pada dinas rahasia pemerintah nyatanya memang lebih sering diperlakukan bak pahlawan alih-alih sebagai “gray man”--sebutan para agen intelijen untuk diri mereka sendiri. Classen memperjelas bahwa film spionase produksi negara-negara Barat sangat berbeda dibandingkan negara-negara Eropa Timur. Di Barat, mata-mata adalah individu heroik yang dianggap dapat bertindak di tengah paranoia Perang Dingin.

Eva Horn, profesor Sastra Jerman Modern di University of Vienna, menggunakan telaah terhadap The Spy Who Came in from the Cold untuk menjelaskan mengapa thriller politik sering kali ampuh dalam membantu pemirsa menjawab pertanyaan seputar dunia rahasia yang gelap. Novel spionase karya John le Carré, anggota MI6 yang pernah berdinas di Jerman Barat, itu diadaptasi ke layar lebar tahun 1965 dan dinilai sebagai film mata-mata era Perang Dingin yang paling mendekati kenyataan.

“Yang menarik bagi le Carré bukanlah detail sejarah yang tepat tetapi lebih pada logika situasi politik, dalam hal ini, logika Perang Dingin sebagai perang rahasia yang dilancarkan bukan dengan persenjataan tetapi dengan infiltrasi, penipuan, pengkhianatan dan pemerasan,” paparnya.

Infografik Film Spionase

Infografik Film Spionase. tirto.id/Quita

Ancaman Hilangnya Privasi

Ketertarikan masyarakat terhadap fiksi tentang orang-orang yang beroperasi dalam bayangan sebenarnya sudah terbentuk sejak periode pra-Perang Dingin. Orang-orang telah lama terpesona dengan kerahasiaan dan pengkhianatan tatkala Perang Dunia I berakhir dengan menyisakan permasalahan yang lebih gawat.

Sepanjang warsa 1930-an, Alfred Hitchcock mempopulerkan tema pengintaian ke seluruh penjuru Inggris dan Amerika Utara melalui film-filmnya yang berjudul The Man Who Knew Too Much (1934) dan The 39 Steps (1935). Keduanya melibatkan karakter tidak bersalah yang tercebur ke dalam intrik internasional.

Berbeda dengan fiksi dengan tokoh mata-mata sungguhan yang dibuat setelahnya, pengintaian dalam film-film Hitchcock merupakan bentuk lain dari pengawasan, kontrol, dan terkadang mengarah kepada voyeurisme. Dengan kata lain, mata-mata versi Hitchcock adalah orang jahat yang berusaha mengumpulkan informasi secara diam-diam hingga membuat masyarakat sipil merasa terancam.

“Dalam pandangan Hitchcock, kehidupan seorang mata-mata seringkali norak dan membunuh di saat-saat terburuk,” kata Donald Spoto kepada Los Angeles Times (16/2/1987). Penulis biografi The Dark Side of Genius: The Life of Alfred Hitchcock yang pernah mengajar di British Film Institute itu mengimbuhkan bahwa “Hitchcock tidak pernah melakukan pendekatan dari sudut politik, tetapi dari aspek bagaimana tindakan ilegal semacam ini memengaruhi kehidupan individu lain.”

Thomas Leitch, profesor Sastra Inggris di University of Delaware, sependapat dengan Spoto. Menurutnya kontribusi Hitchcock dalam pembuatan film agen rahasia masih sangat dirasakan sepanjang periode Perang Dingin dan setelahnya. Bersamaan dengan berdirinya “tirai besi” yang membelah Eropa menjadi dua kutub, siapapun bisa dituduh sebagai mata-mata yang sedang melancarkan taktik demoralisasi atau pemberontakan.

“Dunia mata-mata adalah dunia di mana setiap orang merasa berada dalam bahaya terus-menerus dimata-matai. Film tentang mata-mata meminjam dan menumbuhkan rasa paranoia global yang merupakan ciri khas kegelisahan abad kedua puluh,” tulis Leitch.

Sejak Edward Snowden mengungkapkan bahwa Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat telah berlebihan mengintip kehidupan warganya, keberadaan mata-mata pemerintah sulit untuk tidak dipikirkan. Kekhawatiran akan kebocoran informasi pribadi di ranah digital juga tidak jarang menimbulkan pertanyaan tentang etiket tindakan memantau ruang pribadi setiap orang.

Film spionase bertindak sebagai barometer budaya dengan menyerap kegelisahan sosial kontemporer semacam itu dan menerjemahkannya menjadi hiburan. Rasa gandrung penikmat film terhadap segala sesuatu yang bersifat rahasia pun semakin memuncak seiring kemunculan ancaman invasi baru di tingkat domestik. Kegelisahan yang paling menonjol saat ini berkisar pada pertanyaan, “Siapa yang mengawasi kita dan mengapa?”

Baca juga artikel terkait PERANG DINGIN atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Film
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Windu Jusuf