Menuju konten utama

Bagaimana Orde Baru Mengatur Narasi Sejarah?

Peralihan kekuasaan pasca G30S diikuti dengan penulisan buku Sejarah Nasional Indonesia untuk melegitimasi Orde Baru.

Header Mozaik Narasi Sejarah Orde Baru. tirto.id/Tino

tirto.id - Gerakan 30 September membuat Sukarno akhirnya tersingkir dari kursi presiden. Tampuk kekuasaannya diambil alih oleh Soeharto. Lewat Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), Soeharto melakukan kudeta merangkak hingga resmi dilantik oleh MPRS sebagai Presiden Republik Indonesia ke-2.

Naiknya Soeharto menjadi orang nomor satu di Indonesia jelas menimbulkan ketidaksukaan dari para pendukung dan simpatisan Sukarno. Bagi mereka, mantan Pangkostrad itu menyingkirkan Sukarno lewat cara-cara tidak sah dengan memanfaatkan panasnya situasi politik.

Dalam Indonesian Politics Under Suharto: The Rise and Fall of the New Order (1999) karya Michael R.J. Vatikiotis disebutkan, Soeharto lantas berkeinginan menguasai politik Indonesia untuk memperkokoh kekuasaannya.

Soeharto lewat pemerintahan Orde Baru kemudian melakukan de-Sukarnoisasi atau penghapusan pengaruh Sukarno. Juga indoktrinasi lewat medium populer seperti film dan lewat ranah pendidikan, salah satunya mengatur kurikulum pembelajaran dan narasi sejarah.

Buku Sejarah Nasional Indonesia

Pemerintah Orde Baru mengatur sejarah untuk melegitimasi kekuasaannya.

“Soeharto ingin memperebutkan kemenangan narasi terhadap peristiwa sejarah yang berdampak pada kemenangan konflik politik,” tulis sejarawan Abdul Syukur dalam “Pengajaran Sejarah Indonesia 1964-2013” (Universitas Indonesia, 2013).

Atas dasar ini, pada 1969 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mashuri Saleh, melontarkan wacana standarisasi materi pengajaran sejarah Indonesia. Kemudian terbit buku berjudul Sejarah Nasional Indonesia yang dibuat berdasarkan hasil diskusi para sejarawan dan ahli lainnya.

Buku tersebut diproyeksikan menjadi standar dan harus dijadikan pedoman dalam penyusunan materi pengajaran sejarah di sekolah berbagai jenjang.

Untuk merealisasikannya, pemerintah menyelenggarakan Seminar Sejarah Nasional II di Yogyakarta pada 26-29 Agustus 1970. Topik seminarnya sederhana, hanya membahas seputar materi sejarah sekaligus menentukan periodisasinya, dari mulai zaman prasejarah sampai zaman Republik Indonesia (tahun 1970).

Para panelis yang berisikan sejarawan, arkeolog, dan ilmuwan sosial lain, lantas mempresentasikan hasil penelitiannya. Hasil seminar inilah yang menjadi dasar pembuatan buku Sejarah Nasional Indonesia.

Panitia penulisan buku ini diketuai oleh sejarawan UGM Prof. Sartono Kartodirdjo. Sementara salah satu editornya adalah Kepala Pusat Sejarah ABRI, Nugroho Notosusanto.

Sosok ini adalah tulang punggung penulisan sejarah Orde Baru. Jika Presiden AS John F. Kennedy memiliki Arthur Schelinger. Jr sebagai sejarawan istana, maka Soeharto punya Nugroho Notosusanto.

Mendikbud Mashuri Saleh memberi tenggat dua tahun untuk proyek penulisan buku ini. Namun kenyataannya penulisan ini penulisan ini molor dan baru selesai enam tahun kemudian.

Pada Maret 1976, Mendikbud baru, Syarief Thayeb, berhasil menuntaskan mimpi lama Soeharto dengan menyerahkan enam jilid buku Sejarah Nasional Indonesia di ruang kerja presiden.

Tanggal 27 September 1976, terbit Surat Keputusan Mendikbud No. 0245/U/1796 yang menetapkan buku standar Sejarah Nasional Indonesia sebagai buku utama pengajaran sejarah di sekolah dan perguruan tinggi.

Masing-masing jilid buku Sejarah Nasional Indonesia berisi satu periode khusus, yakni prasejarah, kuno, kerajaan-kerajaan Islam, Indonesia abad ke-19, kebangkitan nasional dan akhir Hindia Belanda, serta pendudukan Jepang sampai Republik Indonesia.

Sekilas tidak terlihat aneh. Namun jika ditelaah lebih lanjut, materi-materi di dalamnya sudah sesuai dengan kepentingan Soeharto. Adagium “sejarah ditulis oleh pemenang” dapat terlihat di sini.

Pemerintah Orde Baru berhasil menciptakan narasi masa lalu dalam bentuk yang lebih memuaskan untuk menyokong kebutuhan saat itu dan masa depan. Abdul Syukur mencatat ada beberapa narasi yang disetir oleh pemerintahan Orde Baru, yakni anti-komunis, anti-Sukarno, anti demokrasi liberal dan terpimpin, serta narasi pro Soeharto dan Orde Baru.

Saat menceritakan masa kepemimpinan Presiden Sukarno, misalnya, buku ini berupaya menyudutkan Sukarno sebagai tokoh utama meningkatnya tensi politik tahun 1960-an. Bahkan, bisa dikatakan memvonis salah Sukarno atas berbagai kejadian masa lalu sepanjang kekuasannya. Padahal, di balik itu ada banyak faktor yang membuat situasi politik memanas.

Selain itu, terkait peristiwa tahun 1965-1966, buku Sejarah Nasional Indonesia menyebut Soeharto sebagai penyelamat bangsa Indonesia dari ancaman disintegrasi nasional, khususnya ancaman dari PKI yang telah membunuh para perwira TNI AD. Namun tidak ada pemaparan tentang tragedi pembunuhan massal pasca G30S.

Narasi ini diterapkan pada kurikulum pendidikan di jenjang SD, SMP, dan SMA. Buku-buku teks pembelajaran sejarah di sekolah pun mengikuti buku Sejarah Nasional Indonesia.

Untuk memperkuat pemahaman tentang sejarah, pada kurikulum 1984, misalnya, ada dua pelajaran tentang sejarah, yakni Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dan Sejarah. Meski sama-sama membahas masa lalu, keduanya berbeda.

Umasih dalam “Sejarah Pendidikan di Indonesia” (Universitas Indonesia, 2000) menyebut, PSPB lebih bersifat indoktrinasi dan condong ke sejarah militer.

Publik, khususnya para pelajar, di era Orde Baru meresapi materi sejarah yang sudah diatur itu tanpa bisa membantahnya, apalagi mencari sumber belajar sejarah alternatif yang saat itu sangat dilarang.

Infografik Mozaik Narasi Sejarah Orde Baru

Infografik Mozaik Narasi Sejarah Orde Baru. tirto.id/Tino

Penulisan Ulang

Jatuhnya Soeharto yang membawa arus kebebasan informasi berdampak pada perubahan narasi sejarah. Apalagi, satu per satu penelitian baru yang sempat dilarang kian bermunculan.

Menurut Agus Suwignyo dalam “Indonesia National History Textbook After the New Order” (2014) di era reformasi para sejarawan menikmati kebebasan dalam bereksplorasi dan menuangkan pemikiran ilmiahnya. Salah satu bentuknya tertuang dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah.

Buku ini merupakan buku sejarah nasional terbaru yang diterbitkan oleh Kemendikbud pada 2012 dan terdiri dari 9 jilid. Penerbitannya didasari oleh keinginan menghadirkan buku sejarah nasional selain Sejarah Nasional Indonesia.

Indonesia dalam Arus Sejarah penulisannya lebih seperti bunga rampai. Tiap bab dalam satu jilid ditulis oleh sejarawan berbeda. Menurut Agus Suwignyo, Indonesia dalam Arus Sejarah memiliki lebih banyak topik daripada buku Sejarah Nasional Indonesia, tetapi tidak menawarkan analisis lebih dalam.

“Ketika membahas materi G30S, buku Indonesia dalam Arus Sejarah masih menyebut peristiwa itu sebagai serangan terhadap ideologi negara dan Pancasila. Komunis digambarkan sebagai pihak paling bertanggungjawab. Tidak ada pula pembahasan tentang pembunuhan massal yang terjadi setelah tahun 1965,” tulis Suwignyo.

Lalu, bagaimana nasib buku Sejarah Nasional Indonesia?

Buku ini mengalami pemutakhiran dari segi materi. Pada tahun 2008, terbit Sejarah Nasional Indonesia edisi terbaru menggantikan cetakan tahun 1982.

Sejarawan Leirissa dan arkeolog Soejono selaku editor umum dalam kata pengantar menyebut, pembaruan ini bertujuan untuk mencakup topik-topik baru dalam sejarah Indonesia. Salah satunya, juga membahas permasalahan pelanggaran HAM di masa Soeharto.

Namun, untuk pembahasan sejarah kontroversial seperti isu G30S, tidak mendapat tempat lebih di sini. Komunis tetap dipandang sebagai biang keladi kekacauan.

Negara masih sulit untuk terbuka tentang fakta-fakta masa lalu. Ini tidak hanya persoalan G30S, tetapi juga peristiwa-peristiwa berdarah lain seperti Peristiwa Sinterklas Hitam (1957), Operasi Seroja (1975), dll.

Baca juga artikel terkait SEJARAH ORDE BARU atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Politik
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi
-->