Menuju konten utama

Bagaimana Merayakan Natal di Betawi Pinggiran

Ciri khas budaya Betawi mewarnai perayaan Natal, nilai-nilai keberagaman dan toleransi ada di dalamnya.

Bagaimana Merayakan Natal di Betawi Pinggiran
Ribuan pasang mata Jemaat Katolik yang sedang menjalani misa natal di Gereja Katolik Santa Servatius, Kampung Sawah, Bekasi, Jawa Barat. Rabu (25/12/2019). tirto.id/Alfian Putra Abdi

tirto.id - Ribuan pasang mata Jemaat Katolik yang sedang menjalani misa Natal di Gereja Katolik Santa Servatius, Kampung Sawah, Bekasi, Jawa Barat mengarah ke pintu utama. Delapan pria berpakaian pangsi hitam lengkap dengan selendang dipundak, kopyah di kepala, dan golok di pinggang menjadi magnet perhatian.

Sepintas para penampilan pria berkopiah itu bak jawara dalam film karya Nawi Ismail berjudul Si Pitung (1970): terkesan sangar nan arogan.

Delapan pria itu tak goyah meski diterjang pandangan. Tampilan memang serupa jawara, namun kehadiran mereka bukan untuk membikin keributan. Mereka hendak mengantarkan pastor tiba di altarnya. Lalu berbaris di belakang amphitheater jemaat.

Delapan pria bak Jawara Betawi itu adalah Krida Wibawa yang bertugas sebagai pengawal pastor.

"Itu cuma bagian dari menonjolkan budaya. Bukan untuk kekerasan," ujar Koordinator Krida Wibawa Livinus Gunawan Napiun (57) menjelaskan maksud pakaian mereka kepada saya usai perayaan misa di lokasi, Rabu (25/12/2019).

Penamaan Krida Wibawa berasal dari bahasa sanskerta. Krida berarti kerja, sedangkan Wibawa berarti berkekuatan atau bersinar. Bisa artikan Krida Wibawa merupakan salah satu tugas yang kompeten dalam pelaksanaan misa di gereja tersebut.

Tidak sembarang orang yang bisa menjadi Krida Wibawa. Mereka haruslah keturunan Betawi Ora atau Betawi pinggiran Kampung Sawah. Livinus sendiri merupakan generasi ke-enam dari marga Napiun yang menjadi pengawal pastor dan termasuk generasi ketiga Krida Wibawa.

Livinus menjadi Krida Wibawa bukan lantaran terlahir dari keluarga Betawi Katolik Kampung Sawah. Ia mendaku memiliki beban budaya yang harus dibayar dengan ikut serta dalam organ pasukan pastor tersebut.

"Karena untuk mengangkat tradisi. Jadi kita otomatis harus tanggung jawab," ujarnya.

Tugas Krida Wibawa bukan hanya mengantarkan pastor sampai altar. Menurut Livinus, mereka juga ditugaskan untuk menjaga ketenangan saat pelaksanaan misa berlangsung.

Meskipun Gereja Katolik Santa Servatius sudah berdiri sejak abad 19. Namun Krida Wibawa baru didirikan pasca renovasi gereja di tahun 1996. Ketika itu menurut Livinus, keuskupan di Vatikan memperbolehkan akulturasi budaya dengan agama.

"Supaya menyatulah, gereja menyatu dengan tradisi lokal. Nuansa budayanya itu ditonjolkan," ujarnya.

Saat ini terdapat 32 orang yang menjadi Krida Wibawa. Mereka rata-rata berusia di atas 40 tahun. Sekali penugasan misa, delapan orang dikerahkan.

Menjadi Krida Wibawa ialah perihal pengabdian kepada kebudayaan dan keyakinan. Itu yang diakui Livinus meski dirinya tidak mendapatkan upah sama sekali. Bahkan Krida Wibawa tidak punya batas waktu untuk pensiun.

"Maksimal [bertugas] sampai dia nggak bisa begerak. Meninggal lah," ujarnya.

Tiga Teologi Dalam Satu Jalur

Matheus Nalih Ungin (55) Wakil Ketua Dewan Paroki Gereja Santo Servatius berdiri di depan gerbang Gereja. Ia menyalami satu per satu jemaat misa natal yang hendak pulang dengan suka cita.

Sekitar 500 meter dari tempatnya berdiri, jemaat Protestan dari Gereja Kristen Pasundan bersamaan membubarkan diri setelah merayakan hal sama. Lalu sekitar 700 meter lagi, para santri Yayasan Pendidikan Fisabilillah (Yasfi) hilir mudik ke Masjid Agung Al Jauhar. Begitulah penampakan keragaman dalam sekali waktu.

Bahkan adakalanya antara kumandang azan masjid bergantian dengan bunyi lonceng gereja, syahdu.

Ketiga rumah ibadah bagi tiga agama itu berada dalam satu jalur yang sama, Jalan Raya Kampung Sawah.

Meskipun dalam satu wilayah terdapat tiga agama yang dianut warga Kampung Sawah. Nalih mendaku tidak pernah ada perselisihan di antaranya.

Apabila perselisihan terjadi, lebih dikarenakan motif pribadi. Tidak menyinggung agama atau kesukuan.

Hal tersebut merupakan buah laku hidup yang diturunkan secara turun temurun. Bahkan Ia mendaku masyarakat Kampung Sawah sudah tidak perlu lagi menghapal butir-butir Pancasila, sebab telah diaplikasikan sejak awal terbentuknya komunitas masyarakat Betawi Nasrani di sana.

"Soal ketuhanan yang maha esa. Itu urusannya sendiri-sendiri. Silakan menjalankan soal keagamaannya masing-masing tanpa harus memberi tekanan dan mencurigai," ujarnya kepada saya di Gereja Katolik Santa Servatius.

Keharmonisan umat beragama tak lepas dari ramuan toleran yang diturunkan para terdahulu, kuncinya hanya komunikasi.

Nalih berujar masyarakat Kampung Sawah terbiasa melakukan komunikasi kehidupan. Ketika ada warga yang sakit akan saling jenguk, begitu juga dengan warga yang baru melahirkan. Begitu juga praktik saling mengisi manakala ada yang kekurangan.

Selain itu komunikasi budaya. Mayoritas masyarakat Kampung Sawah merupakan keturunan Betawi. Ia menyebutnya Betawi Ora atau Betawi Pinggiran karena letaknya tidak di tengah kota dan memiliki tutur gaya bahasa berbeda.

Betawi Ora menggunakan kata "ora", "Ge", "Go" dalam berbicara. Berbeda dengan Betawi Kota yang hanya mengganti huruf "a" menjadi "e".

Kesamaan asal usul budaya tersebut yang turut menyumbang keharmonisan warga Kampung Sawah dari yang secara pandangan teologis berbeda.

"Kami satu kebudayaan dan satu nenek moyang. Ya ayo bangun bareng-bareng. Itu yang dibangun di luar hari-hari keagamaan," ujarnya.

Selain keharmonisan di tatanan warga. Nalih mendaku peran serta tokoh-tokoh agama di Kampung Sawah juga berkontribusi menciptakan keharmonisan umat.

Para tokoh agama kata dia kadang saling berkunjung rumah ibadah atau saling membentuk forum pertemuan. Tujuannya tak lain dan tak bukan untuk mempererat kepercayaan antar masyarakat.

"Kata kuncinya adalah kepercayaan. Para pemimpin agamanya saling percaya, bahwa mereka akan memberikan yang terbaik. Dan tak akan merusak kami sebagai saudaranya. Hubungan saling percaya itu dibangun sehingga kita tidak menaruh curiga satu sama lain," ujarnya.

Upaya-upaya tersebut dimaksudkan juga untuk merobohkan tembok eksklusivisme di antara umat beragama, serta melunturkan kepicikan dan ego dalam umat beragama.

Sederhananya ketika seseorang berada dalam lingkup kemasyarakatan, identitas keagamaannya tidak dipakai. Maka bersikaplah selayaknya masyarakat pada umumnya. Kecuali jika sedang berada di rumah ibadah masing-masing.

"Dalam setiap pertemuan kita hampir tak pernah menunjukkan keunggulan agama masing-masing. Kita hanya lebih sering menggunakan konsep bagaimana kita menjaga kearifan lokal kampung sawah, yaitu saling rukun dan perduli. Konsep ini yang harus dipahami orang dari luar," tandasnya.

Beda Agama Tetap Saudara

Ragam merek mobil satu per satu masuk dan memadati pelataran parkir Masjid Agung Al Jauhar pada Rabu (25/12/2019) pagi. Pria-wanita dan tua-muda tampil dengan busana yang necis serta tata rias wajah yang aduhai.

Mereka berbondong-bondong berjalan kaki untuk melaksanakan misa di Gereja Katolik Santa Servatius yang jaraknya sekitar 700 meter lagi.

Pemandangan itu dinikmati dan dianggap biasa oleh Rahmaddin Afif. Pria 75 tahun yang kerap disapa Abah Afif merupakan Ketua Yayasan Pendidikan Fisabilillah (Yasfi) yang kediamannya tak berbatas dengan pelataran parkir tersebut.

"Masjid penuh pada parkir, mereka yang mau Natal. Karena di sini ruang parkir, bukan akidah. Mobil itu benda. Ada juga yang fanatik kan, kok orang Kristen parkir di masjid? Bukan orang Kristen yang parkir, tapi mobilnya," ujar Abah Afif kepada saya dikediamannya.

Ia memegang prinsip pada Ayat 6 surah Al-Kafirun yang berbunyi lakum dinukum waliyadin atau untukmu agamamu, dan untukku agamaku. Sehingga menurutnya akan percuma jika agama dijadikan bahan perbandingan apalagi perdebatan.

"Sekarang yang perlu dirukunkan itu umatnya. Kalau agama tidak akan sama," ujarnya.

Oleh sebab itu juga ia tidak terlalu mempersoalkan kehadiran umat Nasrani di Kampung Sawah. Apalagi sampai mempermasalahkan boleh atau tidaknya mengucapkan selamat Natal kepada mereka.

"Kenapa harus dipermasalahkan. Yang penting kita akur, tidak saling marah, dan baik pada sesama," ujarnya. "Saya biasa ngucapin, 'Selamat yah', sudah gitu saja. Siapa yang tidak ingin selamat?"

Kerukunan umat beragama di Kampung Sawah menurut Abah justru malah sering kali membikin heran masyarakat luar. Para tamu sering kali tak percaya bahwa ada tatanan masyarakat yang bisa hidup harmonis meski di dalamnya terdapat tiga agama berbeda.

Abah juga pernah punya pengalaman menegur seorang tamu penceramah manakala materi dakwahnya menyinggung tata cara beribadah agama lain. Abah tidak mau tatanan keharmonisan Kampung Sawah yang sudah langgeng harus goyah begitu saja.

"Dia kan tidak mengerti lingkungan sini. Tidak bisa, harus kita hentikan. Dia kan habis ceramah pergi. Yang disampaikan ya tentang akhlak saja, ibadah, bukan hal-hal yang membuat perpecahan," ujarnya.

Pernah juga pada masa kampanye pemilihan umum di era Presiden Suharto ada masa dari partai tertentu yang berteriak-teriak dari atas truk di depan Gereja Katolik Santa Servatius. Meski Abah juga orang Islam, Ia tidak mendukung perbuatan masa kampanye tersebut.

"Gereja tersinggung. Akhirnya ditantangin, disuruh turun kalau pada berani. Itu kan bukan masalah agama, itu soal kampanye," ujarnya.

Sejak zaman leluhur Kampung Sawah pada Abad awal 19, Abah sudah terlatih untuk bersikap toleran dengan umat agama lainnya. Terlebih lagi kebanyakan warga di sana semua bersaudara meski keyakinannya berbeda.

Terlebih lagi pada zaman dahulu praktik nikah silang beda agama masih marak terjadi. Sehingga tak heran jika ada satu keluarga memiliki anggota keluarga yang berbeda agama.

"Di sini kita memang sudah terbiasa orangtua dulu pada nasehatin: walaupun agama beda, tapi sodara juga," tandasnya.

Baca juga artikel terkait PERAYAAN NATAL 2019 atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Irwan Syambudi