Menuju konten utama

Bagaimana Menyikapi Kemunculan Buaya di Pantai Jakarta?

Video kemunculan buaya di pantai Jakarta Utara sempat jadi viral di media sosial. Buaya sempat ditembak, bagaimana merespons menangani hewan liar yang dilindungi ini?

Bagaimana Menyikapi Kemunculan Buaya di Pantai Jakarta?
Mata buaya betina yang ditangkap terlihat, di Desa Lhok Sentang, Kecamatan Julok, Aceh Timur, Aceh, Selasa (13/2/2018). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

tirto.id - Seekor buaya dengan panjang diperkirakan sekitar tiga meter muncul di Dermaga Pondok Dayung, Jakarta Utara, Kamis (14/6/2018) lalu. Seseorang merekam dan menyebarkannya di media sosial, hingga membuat rasa khawatir masyarakat yang beraktivitas di sekitar wilayah tersebut.

Aktivis satwa Singky Soewadji merespons dan menyayangkan tindakan aparat. Buaya tersebut sempat diburu dan ditembak oleh satuan Komando Pasukan Katak (Kopaska) TNI Angkatan Laut. Namun, belum ada kepastian apakah buaya itu masih hidup atau mati.

Menurut Singky, seluruh hewan mempunyai hak untuk hidup dan dilindungi. Apabila terpaksa ditembak, katanya, juga ada syarat-syaratnya.

"Saya tidak mengerti. Tidak ada alasannya dieksekusi kecuali sudah sakit dan sudah menyusahkan dia [hewannya]. Itu pun pakai aturan," kata Singky pada Tirto, Sabtu (16/6/2018).

Setelah upaya penembakan yang gagal itu, TNI menerjunkan Kopaska untuk menangkap buaya. Langkah ini bisa dibilang sangat riskan, sebab buaya punya keunggulan bila di dalam air.

"Tidak mungkin kalau ditangkap dalam air. Kamu jangan lawan buaya dalam air, mati kamu. Dia punya kekuatan lebih," tegas Singky.

Selain itu, penembakan juga dinilai tidak tepat, termasuk soal alasan keamanan. Insinyur kehutanan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) berpendapat makanan buaya itu daging makhluk hidup yang sudah mati. Menurutnya buaya enggan menyerang manusia. Kalau ada manusia yang diserang, katanya, itu karena mereka merasa terancam.

Singky menduga ada alasan khusus kenapa buaya ditemukan di Dermaga Pondok Dayung. Dermaga tersebut dinilai membuat buaya merasa aman karena hanya berisi kapal-kapal. Dengan kata lain, tempat itu memang habitat mereka.

Marison Guciano, pendiri Indonesian Animal Werfare Society, juga menyayangkan tindakan penembakan terhadap buaya.

"Buaya muara tergolong dalam kategori appendix II untuk satwa yang dilindungi. Ia boleh dimanfaatkan dengan penangkaran terbatas dan termasuk jenis yang dilindungi. Membunuh hewan ini tak bisa dibenarkan begitu saja," katanya.

Berdasarkan PP No 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, buaya air tawar Irian, Buaya siam, dan Buaya muara termasuk yang dilindungi. Buaya yang muncul di Dermaga Pondok Dayung, Jakarta Utara, diduga jenis buaya muara.

Ia mengatakan seharusnya, buaya ini bisa dipindahkan ke tempat yang lebih layak setelah sebelumnya dibius agar tak sadarkan diri atau cara lain yang sesuai. Penanganannya bukan dengan cara ditembak atau dibunuh.

"Dengan situasi yang belum membahayakan seperti itu masih ada waktu. Mengirim regu tembak untuk membunuh buaya itu sesuatu yang salah," katanya kepada Tirto.

Namun, ia menggarisbawahi, bila situasinya adalah buaya itu muncul di tempat ramai, misalnya di Pantai Ancol—tempat rekreasi terdekat dari Dermaga Pondok Dayung, atau pemukiman warga.

"Kalau sudah sangat membahayakan nyawa manusia mungkin penembakan bisa dibenarkan. Karena nyawa manusia menjadi hal yang utama. Dalam konteks buaya kemarin itu kan masih bukan di pusat keramaian," katanya.

Langkah Pemprov Tangani Buaya

Pemerintah provinsi DKI punya kewenangan untuk mengatasi masalah kemunculan buaya di wilayah kerjanya. Oleh karena itu Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, berjanji untuk menggerakkan bawahannya, dalam hal ini Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan serta Pemadam Kebakaran. Ia memerintahkan bawahannya untuk mencari tahu musabab munculnya buaya tersebut.

Instansi lain yang berwenang adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta. Lembaga ini juga diajak Sandi untuk berkoordinasi.

"Nanti saya laporkan ke teman-teman BPBD biar dipastikan tidak meresahkan masyarakat," kata Sandi.

Namun Ketua BPBD DKI Jakarta, Jupan Royter, tidak memberikan jawaban tegas apa yang bakal mereka lakukan untuk menangani persoalan ini. Menurutnya, fokus lembaga yang terbentuk sejak tahun 2011 dan mempunyai pegawai kurang lebih 113 orang ini ada pada bencana alam. Untuk masalah buaya, biasanya BPBD mengandalkan anggota Damkar.

"BPBD sendiri kami masih awam untuk tindakan. Mungkin teman-teman dari Damkar sudah berpengalaman," ujarnya.

"Ini jadi bahan untuk pengembangan ke depan bagi pegawai BPBD untuk peningkatan kemampuan, kompetensi."

Di luar itu, Pemda DKI Jakarta seharusnya mengerahkan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta, yang punya tugas melaksanakan pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa, Cagar Alam, Taman Wisata Alam, dan Taman Buru serta konservasi jenis tumbuhan dan satwa liar baik di dalam maupun di luar kawasan.

Baca juga artikel terkait HEWAN DILINDUNGI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino