Menuju konten utama

Bagaimana Masyarakat Dunia Bertahan Hidup di Tengah Lockdown?

Lockdown akibat virus Corona membuat masyarakat harus menyiasati hidup demi menjaga kesehatan mental dan finansial.

Bagaimana Masyarakat Dunia Bertahan Hidup di Tengah Lockdown?
Petugas membersihkan bagian dalam gerbong kereta cummuter di Dipo KRT Depok, Jawa Barat, Jumat, (13/3/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Lockdown atau tidak lockdown. Itu masalahnya Indonesia. Sejumlah negara sudah mengambil langkah lockdown untuk mencegah penyebaran virus Corona Covid-19. Seiring bertambahnya pasien positif Corona dan yang meninggal dunia, pemerintah Indonesia mendapat desakan dari sebagian masyarakat untuk mengikuti langkah negara lain: lockdown.

Setelah ramai lockdown di China, lockdown merambah Eropa, tepatnya di Italia. Denmark menyusul menerapkan lockdown satu negara. Beberapa negara lain akhirnya ikut mengunci diri, seperti Spanyol dan Irlandia. Negara Asia Tenggara yang juga melakukan lockdown adalah Filipina.

Tiap negara memberlakukan lockdown secara berbeda. Italia yang setidaknya punya 643 korban jiwa akibat Corona mengimbau warga agar berdiam diri dalam rumah. Sebagian besar klub malam, restoran, sekolah, kampus, dan bioskop berhenti beraktivitas. Restoran yang buka harus tutup pada pukul 18.00 dan makanan dibawa pulang.

Pemerintah juga melarang warga bepergian, apalagi ke luar negeri jika tidak ada urusan mendesak atau urusan keluarga. Peraturan yang sama juga berlaku bagi siapapun yang datang. Mereka yang datang dari negera terdampak, seperti China, tidak diizinkan masuk. Beberapa kota di Italia juga sudah dikurung. Tidak boleh ada warga yang bebas keluar-masuk.

Spanyol memerintahkan warganya untuk bekerja dari rumah. Restoran, bar, dan pusat bisnis lainnya tutup, termasuk sarana pendidikan seperti sekolah dan kampus. Mereka hanya boleh keluar untuk membeli makan, ke rumah sakit, atau bekerja. Jalanan di Spanyol yang biasanya ramai, sejak adanya lockdown hari Sabtu (14/3/2020) menjadi sangat lengang.

Filipina memilih untuk melakukan lockdown di Manila, kota yang dianggap menjadi pusat penyebaran virus Corona. Presiden Rodrigo Duterte memutuskan untuk menutup jalur darat, laut, dan udara dari dan ke Manila. Akibat lockdown, sejumlah transportasi umum menjadi sepi, begitu pula mal dan restoran.

“Kami tidak mau menggunakan [kata] itu karena kalian akan takut dengan lockdown – tapi ini memang lockdown,” kata Duterte seperti dilansir Aljazeera. Sekretaris Kabinet Karlo Nograles kemudian meralat bahwa yang Filipina lakukan sekarang adalah community quarantine.

Menjaga Mental di Tengah Lockdown

Warga Manila, Italia, dan beberapa negara lain harus menerima kehidupan yang tak berjalan normal seperti hari-hari sebelum Corona merebak.

Lagu-lagu yang biasanya muncul dari dalam kafe, kini terdengar di jalanan. Rumah ke rumah, balkon ke balkon, orang-orang bersahutan menyanyikan lagu kegemaran mereka. Sebagian lain memilih menyanyikan lagu nasional untuk menguatkan diri dan tetangga-tetangganya. Momen ini biasa terjadi dari sore hingga malam hari. Siang hari, warga Italia kembali ke jendela untuk sekadar memberi dukungan moral berupa tepuk tangan pada petugas kesehatan yang terus bekerja mengatasi pandemi.

Banyak juga yang menaruh poster bergambar pelangi di jendela mereka saat “pesta balkon” itu berlangsung. Satu kalimat di poster itu bertuliskan harapan sekaligus motto masyarakat bertahan hidup selama setidaknya satu bulan ke depan sepanjang lockdown diberlakukan. “Semua akan baik-baik saja.”

“Kami butuh musik yang kuat, empatik, dan kuat pada masa seperti ini,” kata Marco Rossi, teknisi yang harus bekerja di rumah dan sibuk memainkan musik sepanjang lockdown di Italia seperti dilansir Wall Street Journal (15/3.2020).

Kehidupan sosial di bawah Lockdown semakin virtual. Beberapa memilih menggunakan layanan internet untuk mengontak teman atau kerabat di luar kota. Sebagian juga mendesak penyedia layanan internet agar memberikan layanan gratis bagi 60 juta orang di kota-kota Italia yang dikurung.

Belajar dari China yang terlebih dahulu mengurung Hubei, masyarakat Italia juga mengandalkan internet untuk belajar. Tidak hanya untuk kepentingan akademik, beberapa warga justru berbagi resep memasak dan kegiatan lain untuk bersosialisasi. Sejak lockdown, memasak menjadi salah satu kegiatan rutin karena banyak restoran tidak aktif.

Demi menangani dampak ekonomi akibat lockdown, pemerintah menggelontorkan uang sejumlah 4 miliar dolar AS bagi sektor bisnis terdampak seperti transportasi, pariwisata, dan rumah sakit. Sumbangan dana ini menjadi penting agar masyarakat bisa terus beraktivitas. Sisanya, Italia masih menerima bantuan dari negara lain, termasuk China.

Usaha lain dilakukan oleh penyiar radio di Codogno, salah satu kota yang terdampak paling parah dan disebut “Wuhan-nya Italia”. Di saat jalanan sepi, Pino Pagani, penyiar berusia 82 tahun itu mencari cara membuat masyarakat tetap santai menjalani hari-hari terisolasi dari dunia luar.

Radio terbukti berhasil membuat warganya bertahan menghadapi lockdown. Salah seorang wanita menelepon dan mengaku kesepian di tengah situasi darurat ini. Selama setengah jam Pagani menghiburnya, mengajak sang wanita bicara sampai tertawa. Tak lupa setelah itu dia menghubungi otoritas setempat agar mendatangi wanita itu dan menanyakan apa kebutuhannya.

“Kita tidak tahu kapan karantina akan berhenti. Ini misteri besar. Siapa yang tahu jawabannya layak menggondol beberapa ribu euro,” canda Pagani lewat radio seperti diwartakan Al Jazeera (6/3/2020).

Musuh utama dalam lockdown rupanya adalah kesepian. Masalah ini pula yang diwaspadai China ketika lockdown berlaku di Wuhan, Hubei.

Terlambat atau Terlalu Cepat?

Situasi lebih mengkhawatirkan terjadi di Manila, Filipina. Carino, perempuan berumur 37 tahun, bimbang ketika Duterte memutuskan lockdown Manila selama sebulan sampai 13 April 2020 mendatang. Dia harus memilih pergi ke luar Manila dan meninggalkan suaminya sementara atau bertahan di sana bersama keluarga.

Jika suaminya ikut pergi, tentu tidak akan ada penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan Ely Aboga, petugas keamanan di salah satu pusat perbelanjaan di Manila takut jika tempat kerjanya ditutup sementara, sedangkan empat anak dan istrinya butuh makan selama lockdown.

“Bayaran saya belum keluar sekarang. Saat ini saya tak bisa membeli apapun,” ujarnya dilansir Al Jazeera (14/3/2020).

Warga Manila lain bernama Ryan Amandy merasa frustrasi dan putus asa. Dengan banyaknya korban Corona di seluruh dunia, Amandy merasa cepat atau lambat ia akan terpapar virus. Bagi Amandy, seharusnya pemerintah memberlakukan larangan bepergian sebelum Corona masuk ke Filipina daripada memberlakukan lockdown di ibukota.

Infografik Lockdown

Infografik Lockdown. tirto.id/Quita

“Saya khususnya menyalahkan pemerintah karena lambatnya merespons. Pelarangan bepergian dan karantina seharusnya dilakukan lebih awal. Mereka membiarkan masalah masuk dan sekarang jadi pandemi,” tegas Amandy.

Menyusul Filipina, pada Senin (18/3/2020) Malaysia juga memberlakukan lockdown. Kendati lockdown yang dilakukan secara mendadak belum tentu matang seperti yang terjadi di Filipina, Malaysia tidak peduli. Untuk sementara, Malaysia sudah berjanji akan memberikan diskon tarif listrik untuk bulan April mendatang dan bantuan finansial sebesar 600 ringgit bagi pekerja yang tak mendapat penghasilan akibat lockdown.

“Kami tidak bisa menunggu lebih lama sampai situasi menjadi lebih parah lagi,” ucap Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin, seperti diberitakan SCMP (16/3/2020).

Lockdown di Malaysia akan berlangsung selama dua minggu sejak 18 April. Setelah menuai protes dari masyarakat karena dianggap lambat dalam menangani sebaran Corona, akhirnya pemerintah memutuskan lockdown saat jumlah kasus positif mencapai angka 553.

Indonesia sendiri sampai sekarang belum memutuskan untuk lockdown. Presiden Joko Widodo menegaskan, kepala daerah juga tidak boleh sembarangan ambil keputusan dan harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sempat memberlakukan kebijakan dengan mengurangi sarana transportasi publik dengan harapan masyarakat mengurangi aktivitas di luar rumah. Namun, kebijakan itu justru menjadi bumerang. Minimnya armada membuat antrian pengguna transportasi umum mengular dan menciptakan keramaian. Kebijakan ini akhirnya ditarik.

Apabila lockdown dilakukan setelah 134 kasus, apakah Indonesia siap menghadapinya? Bisakah kita mengatasi kebosanan dengan orkes dadakan seperti di Italia? Akankah Indonesia mengikuti Malaysia yang memberi bantuan finansial pada warganya untuk membeli kebutuhan pangan harian? Atau justru berakhir seperti manila yang warganya waswas karena semakin sulit bertahan hidup?

Baca juga artikel terkait CORONA atau tulisan lainnya

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Editor: Windu Jusuf