Menuju konten utama

Bagaimana Ledakan di Beirut Mengubah Wajah Politik Korup Lebanon

Protes atas pemerintah Lebanon yang dicap korup mengkristal setelah ledakan di pelabuhan Beirut 4 Agustus lalu.

Bagaimana Ledakan di Beirut Mengubah Wajah Politik Korup Lebanon
Sebuah gambar pesawat tak berawak menunjukkan tempat ledakan yang menghantam pelabuhan Beirut, Lebanon, Rabu, 5 Agustus 2020. Sebuah ledakan besar mengguncang Beirut pada hari Selasa, meratakan banyak pelabuhan kota, merusak gedung-gedung di ibukota dan mengirim raksasa awan jamur ke langit. (AP Photo/Hussein Malla)

tirto.id - Perdana Menteri Lebanon Hassan Diab mengundurkan diri Senin (10/8/2020) lalu, enam hari setelah ledakan dahsyat menelan lebih dari 200 korban jiwa, melukai sedikitnya 6.000 orang, serta membuat 300 ribu orang kehilangan rumah.

Saat ini diketahui pemesan amonium nitrat yang meledak adalah Fábrica de Explosivos Moçambique (FEM), perusahaan di Mozambik pembuat bahan peledak untuk tambang. Mereka memesannya dari Georgia. Sementara kapal pengangkutnya adalah MV Rhosus dengan kapten warga Siprus kelahiran Rusia, Igor Grechushkin.

“Ini tidak umum. Satu-satunya pemesanan yang tidak sampai kepada kami. Padahal ini pengiriman dengan sebuah kapal, bukan lewat pos,” kata juru bicara FEM kepada CNN.

Presiden Michel Aoun menerima pengunduran Diab yang disampaikan secara tertulis di Istana Kepresidenan. Kendati demikian, Diab tetap diminta bertugas hingga pemerintahan baru terbentuk, sebut kantor berita Lebanon Nasional News Agency.

Kepada The Lebanese Broadcasting Corporation International (LBCI), Diab berkata dia undur diri karena ia ingin menjadi bagian dari rakyat yang menuntut tanggung jawab kepada Presiden Aoun. Diab menyebut malapetaka ledakan Beirut merupakan akibat dari sikap korup pemerintahan.

"Hari ini kami mendengarkan rakyat dan tuntutan mereka untuk meminta pertanggungjawaban atas bencana yang telah tersimpan selama tujuh tahun," katanya. "Korupsi mereka menciptakan tragedi ini," katanya menambahkan, tanpa menyebut siapa "mereka" yang dimaksud.

Rakyat Lebanon telah turun ke jalan sejak Oktober tahun lalu. Tuntutannya agar para politikus mundur karena dugaan korupsi dan inkompetensi mengurus negara. Desakan tertuju kepada orang-orang lama, para panglima perang yang 'berganti baju', yang masih bercokol sejak tahun 1990an atau usai perang saudara.

Laporan Al Jazeera dari Beirut menyebut sistem pemilihan Lebanon dibuat agar elite politik terkuat tetap berkuasa. Perubahan sistem akan sulit karena harus lewat persetujuan mereka.

Ledakan Beirut mengkristalisasi desakan publik tersebut.

Presiden Perancis Emmanuel Macron, yang berkunjung sehari setelah ‘malapetaka Beirut’, juga disambut protes. "Lebanon tidak sendirian," kata Macron. Lebanon punya ikatan historis dengan Perancis sebagai sebuah koloni.

Meski demikian, ia menegaskan tidak akan memberikan 'cek kosong' kepada pemerintah Lebanon. Saat ini diperkirakan ada 300 juta dolar AS bantuan internasional akan diberikan ke Lebanon dari seluruh pemimpin dunia dan organisasi internasional. Macron mendorong pemerintah transparan soal ini.

Ketika Macron datang, bentrokan pecah antara demonstran dengan pasukan keamanan di pusat pemerintahan. Pendemo melemparkan batu dan kembang api ke arah aparat. Sebuah mobil terbakar. Demonstran mendesak agar bisa masuk ke gedung parlemen yang dijaga ketat. Pendemo juga membawa replika tiang gantungan dan sebuah patung kertas berwajah Michel Aoun, seperti dilaporkan LBCI.

Dalam sebuah demonstrasi, 728 demonstran terluka dan seorang polisi tewas dalam bentrokan. Pasukan keamanan negara diduga melanggar prosedur internasional tentang penanganan demo, melansir Al Jazeera.

Gelombang Pengunduran Diri

Selain Hassan Diab, hingga berita ini ditulis lusinan pejabat lain juga telah mundur. Ada lima menteri mundur dengan alasan yang sama dengan Diab. Mereka adalah Menteri Kehakiman Marie Claude Najem, Menteri Pertahanan Zeina Akar, Menteri Informasi Manal Abdel Samad, Menteri Lingkungan Damianos Kattar.

Sementara Menteri Luar Negeri Nassif Hitti mundur pada 4 Agustus, sebelum ledakan terjadi. Dubes Lebanon untuk Jordan, Tracy Chamoun, juga mundur.

Ada pula anggota legislatif DPR Lebanon yang mengundurkan diri, baik dari partai oposisi dan koalisi pemerintah. Dari Partai Kataeb, oposisi sayap kanan, ada Samy Gemayel, Nadim Gemayel, dan Elias Hankash; Paula Yaacoubian, anggota parlemen independen; Michel Daher dari partai pendukung pemerintah Free Patriotic Movement; Samir Geagea dari partai oposisi Lebansese Forces; dan Michel Moawad partai Independence Movement.

Menurut Reuters, dua minggu sebelum ledakan, Presiden Aoun sebenarnya telah diperingatkan soal bahaya amonium nitrat yang disimpan terlalu lama, tapi diabaikan. Hal itulah yang mendorong kemarahan rakyat dan protes berupa pengunduran diri lusinan pejabat parlemen dan pemerintah.

Menurut Rami Khouri, akademisi di American University of Beirut, apa yang terjadi dalam satu pekan terakhir--ledakan, pengunduran diri para pejabat, demonstrasi di mana-mana--adalah "titik balik bersejaah dalam pemerintahan modern Lebanon" yang "baru saja dimulai."

Ia lantas menjelaskan saat ini ada dua kekuatan utama di negara tersebut. Pertama Hizbullah dan para sekutunya, dan yang kedua adalah massa "atau para revolusioner" yang "merepresentasikan mayoritas masyarakat."

Jika rakyat menang dan pemerintahan transisi diisi orang-orang bersih, katanya, itu dapat "mempermudah dukungan komunitas internasional dan bisa mempercepat kesepakatan dengan IMF," kata Khouri, melansir Al Jazeera.

Baca juga artikel terkait LEDAKAN BEIRUT atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Politik
Penulis: Zakki Amali
Editor: Abdul Aziz