Menuju konten utama

Bagaimana Konsumen Melihat Fitur Keselamatan Mobil?

Perangkat keamanan atau keselamatan di kendaraan mampu mengurangi risiko kecelakaan fatal. Namun, apakah ini menjadi perhatian konsumen di Indonesia?

Bagaimana Konsumen Melihat Fitur Keselamatan Mobil?
Ilustrasi crash test. FOTO/fiafoundation.org

tirto.id - Bahaya bisa terjadi pada setiap orang yang bepergian dengan berbagai jenis kendaraan termasuk roda empat. Kecelakaan bisa terjadi kapan dan di mana saja, tanpa ada aba-aba.

Langkah pertama untuk terhindar dari marabahaya tentu sudah umum diketahui, yakni mematuhi aturan lalu lintas dan berkendara dengan bijak. Selain itu, faktor perangkat keamanan kendaraan tidak kalah krusial buat menangkal bencana.

Di mobil-mobil keluaran terbaru, berbagai utilitas penjamin keselamatan sudah terpasang. Ada yang sifatnya preventif, seperti kamera pengawas, blind spot warning, lane departure warning, pedestrian detection, dan vehicle stability control. Di sisi lain, pabrikan kendaraan juga membuat sistem keselamatan antisipatif yang dapat mengurangi fatalitas kecelakaan, seperti sabuk pengaman, bantal udara (airbag), dan crumple zone (bagian yang didesain mudah remuk agar bisa meredam energi kinetik saat berbenturan).

Teknologi keselamatan atau keamanan dibuat bukan untuk membedakan kasta setiap jenis mobil, melainkan murni untuk menjamin keselamatan seluruh penumpang. Sayangnya, di Indonesia fitur-fitur tersebut masih bersifat opsional dan hanya tersedia di tipe mobil tertentu pada jenis sebuah produk. Payung hukum yang ada, setiap mobil di Indonesia hanya diwajibkan memiliki sabuk pengaman.

Keharusan memasang sabuk pengaman tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM37 Tahun 2002 tentang Persyaratan Teknis Sabuk Pengaman, yang mana di pasal 2 ayat 1 disebutkan, "setiap kendaraan bermotor roda empat atau lebih wajib dilengkapi dengan komponen pendukung peralatan keselamatan berupa sabuk pengaman".

Kewajiban keberadaan sabuk pengaman hanya di kursi sopir dan penumpang kursi depan, sedangkan untuk kursi penumpang di belakang sifatnya tak wajib. Ini tercantum jelas pada pasal 106 UU Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.

Konsekuensi dari hadirnya fitur keselamatan yang lengkap berdampak pada harga jual. Untuk negara berkembang, seperti Indonesia masalah harga jadi hal yang sensitif. Tanpa menyertakan fitur keselamatan lengkap dan insentif pajak, pabrikan bisa membuat mobil dengan harga “miring” antara lain Low Cost Green Car (LCGC) yang bisa dijual dengan harga berkisar Rp100 jutaan.

Mengulas data ASEAN NCAP, lembaga pengujian kualitas keselamatan kendaraan di Asia Tenggara, masih ada mobil di Indonesia yang tidak layak dari segi fitur keselamatan. Salah satunya mobil jenis LCGC, Datsun Go yang mendapatkan rapor merah dalam pengujian ASEAN NCAP

Datsun Go (2015) hanya mendapatkan nilai 6,82 (poin tertinggi 16) dalam offset frontal test (uji tabrak depan). Sementara, dari side impact test (uji tabrak samping) mobil kompak tersebut hanya mengantongi dua bintang, dari batas rata-rata tiga bintang atau lebih. Namun, bagi pihak Datsun menegaskan bahwa mobil ini "sudah mendapatkan atau lolos uji tes dari pemerintah Indonesia".

Datsun Go hanya contoh saja, mobil dengan populasi besar di Indonesia saat ini seperti Toyota Avanza hanya punya peranti keselamatan berupa, Airbag di sisi supir dan penumpang, ABS, serta sensor parkir. Teknologi seperti Electronic Stability Control (ESC), Blind Spot Monitor, pedestrian detection masih absen.

Penelitian Mahasiswa Universitas Esa Unggul Jakarta, Saidil Hudri, tahun 2016 tentang pengaruh kualitas produk dan desain terhadap ketertarikan membeli Suzuki APV menunjukkan, salah satu faktor yang menggiring ketertarikan konsumen dalam memilih mobil adalah desain. Sementara faktor lain yang juga menjadi pertimbangan konsumen adalah penilaian akan kualitas dan daya tahan mobil. Bagaimana dengan aspek keselamatan?

Dari studi lain yang dilakukan oleh Christian Adisaputra dari Universitas Kristen Petra Surabaya pada 2017, diketahui preferensi konsumen terhadap merek mobil tertentu sangat mungkin dipengaruhi oleh kualitas produk dan harga. Sementara faktor keselamatan tidak menjadi acuan dalam pemilihan mobil.

Studi dalam lingkup kecil itu memang menunjukkan persoalan fitur keselamatan masih menjadi nomor sekian bagi konsumen di Indonesia. Namun, bagi pabrikan punya pandangan yang berbeda. Menurut Public Relation Manager PT Toyota Astra Motor (TAM) Rouli Sijabat, konsumen di Indonesia sudah cukup mawas dengan perangkat keselamatan kendaraan.

"Dari survei Toyota kita melihat faktor safety merupakan sebuah faktor penting saat (konsumen) memilih mobil. Sekarang zaman informasi mudah didapatkan, sehingga mereka tahu fitur safety itu penting," kata Rouli kepada Tirto.

Ia beralibi Toyota Rush misalnya, tidak hanya diberikan dua airbag, tapi juga tersedia side airbag. Selain itu ada fitur vehicle stability control, hill start assist, untuk beberapa jenis mobil keluaran Toyota. Namun, tentu tak semua punya fitur semacam ini. Di pasar Indonesia perlahan memang fitur keselamatan makin berkembang, di segmen low MPV kini fitur air bag sudah jadi hal biasa dibandingkan lima tahun lalu. Kini fitur seperti ESC juga mulai jadi "gengsi" para pabrikan mobil untuk menyematkan fitur ini di tipe teratasnya.

Di negara maju seperti AS, sikap konsumen terhadap fitur keselamatan sudah lebih maju. Pada survei Nielsen 2016, AutoTECHCAST Report misalnya, fitur keselamatan jadi pertimbangan teratas bagi konsumen di AS saat akan membeli mobil baru. Fitur keselamatan memang punya konsekuensi pada biaya, tapi punya peran dalam menekan risiko fatal dalam kecelakaan.

Infografik Perangkat Keselamatan di Kendaraan

Fitur Keselamatan dan Kecelakaan

Instalasi peranti keselamatan diwajibkan ada untuk mobil-mobil di Eropa. Kebijakan tersebut nyatanya mampu merampingkan jumlah korban meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas.

Laporan Insurance Institute of Highway Safety (IIHS) berjudul “Improved Vehicle Design Bring Down Death Rates” terbitan tahun 2015, menyatakan probabilitas kematian karena kecelakaan menurun seiring dengan perbaikan desain dan penyempurnaan teknologi keselamatan. Pada 2012, perbandingan jumlah korban meninggal dunia akibat kecelakaan di Amerika Serikat menyusut menjadi 28 orang per 1 juta kendaraan terdaftar. Sebelumnya di 2009, perbandingannya adalah 48 orang per 1 juta kendaraan terdaftar.

“Ini merupakan peningkatan besar dalam kurun waktu hanya tiga tahun, sekalipun memang dipengaruhi faktor ekonomi (daya beli mobil dengan perangkat keselamatan lebih baik). Kami melihat dari program penilaian kendaraan, bahwa hasil uji tabrak menjadi semakin baik,” ujar Executive Vice President IIHS, David Zuby.

Perbaikan standar kualitas kendaraan memang harus diinisiasi regulasi pemerintah. Mengulas hasil penelitian Leon S. Robertson, PhD dari American Public Health Association yang diterbitkan oleh American Journal of Public Health tahun 2014, regulasi standar keamanan kendaraan dari pemerintah Amerika Serikat mampu merampingkan 40 persen jumlah insiden fatal.

Dalam penelitian tersebut, dilakukan observasi terhadap mobil-mobil yang diproduksi tahun 1995 sampai 2005. Hasilnya, mobil yang memiliki fitur electronic stability control system (ESC) memiliki risiko kecelakaan 42 persen lebih kecil ketimbang mobil tanpa fitur tersebut. Peningkatan teknologi keselamatan, seperti airbag, crumple zone, atau sejenisnya mampu mengoreksi 28 persen potensi kecelakaan mematikan. Perbaikan kualitas sasis juga efektif mereduksi jumlah kecelakaan fatal sebanyak 11 persen.

Jumlah kecelakaan di Jerman juga menyusut seiring dengan peningkatan kualitas keselamatan kendaraan. Secara berkelanjutan, Jerman berhasil menekan jumlah korban meninggal dunia melalui pengembangan fitur keselamatan.

Sejak 1970-an, seperti yang tercantum dalam paper bertajuk “Reducing Vehicle Accident Rate and Severity Trough Technology” lansiran Australasian College of Road Safety Conference pada 2013, angka fatalitas kecelakaan di Jerman terus mengalami tren penurunan. Dari mulanya angka kecelakaan fatal mencapai sekitar 18 ribu per tahun pada 1970, pada 1980 jumlahnya bisa ditekan sampai kurang dari 13 ribu per tahun. Statistik kecelakaan secara berkelanjutan terus menyusut. Pada 2010 jumlahnya tidak lebih dari empat ribu.

Adapun faktor-faktor kunci dari turunnya jumlah kecelakaan maut di Jerman adalah kemunculan teknologi pendukung keselamatan kendaraan. Pada 1978, mobil di Jerman mulai menerapkan Anti-Lock Braking System (ABS). Dua tahun berikutnya, pabrikan mobil menyertakan teknologi airbag di sisi sopir, yang kemudian dimantapkan dengan keberadaan airbag untuk penumpang pada 1985.

Inovasi teknologi berjalan cepat di Jerman. Pada 1995, sudah ada fitur ESC yang memudahkan supir mengendalikan mobil, terutama ketika berbelok. Pada tahun yang sama, airbag di penjuru interior muncul, sehingga perlindungan untuk seluruh penumpang semakin solid. Sampai di tahun 2000-an, banyak teknologi baru yang diadopsi mobil baru di Jerman.

Scott J. Cloutier dan David H. Linke dari Worcester Polytechnic Institute, Inggris, merangkum perangkat keselamatan yang paling populer di mata konsumen dalam laporan penelitian “Automobile Safety Technology” tahun 2011. Mereka menggunakan perangkat elektronik yang sudah dirancang dengan software khusus buat melaksanakan survei. Responden hanya perlu menekan salah satu dari lima tombol yang mewakili lima pilihan perangkat keselamatan, yakni airbag, rem, lampu dan crumple zone, sabuk pengaman, dan electronic traction and stability control (ESC).

Hasil dari survei tersebut, airbag dipilih sebanyak 229 kali, diikuti ETC dan ESC 176 kali, kemudian lampu dan crumple zone 171 kali. Sabuk pengaman dan rem hanya dipilih 106 dan 88 kali. Berdasarkan Analisa Scott dan David, airbag menjadi pilihan favorit karena dianggap memiliki fungsi paling penting.

Baca juga artikel terkait MOBIL atau tulisan lainnya dari Yudistira Perdana Imandiar

tirto.id - Otomotif
Penulis: Yudistira Perdana Imandiar
Editor: Suhendra