Menuju konten utama

Bagaimana Kaum Superkaya Menghadapi Kiamat?

Mengantisipasi bencana besar, kalangan jetset membangun bunker-bunker mewah.

Bagaimana Kaum Superkaya Menghadapi Kiamat?
Ilustrasi bunker. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - "Tangki helikopterku selalu penuh dan aku punya bungker bawah tanah dengan sistem penyaringan udara,” ucap Antonio García Martínez seperti dikutip The New Yorker. Martínez, mantan manajer produk Facebook, adalah satu dari sekian kaum superkaya Silicon Valley yang gandrung mempersiapkan diri menjelang kiamat. “Banyak temanku yang beli motor, bedil, dan koin emas.”

Kiamat yang dimaksud di sini tidak melulu merujuk pada gambaran kitab suci—kendati beberapa orang seperti Martinez mengamininya—melainkan radiasi nuklir, wabah penyakit, bencana alam, kebangkrutan ekonomi global, kerusuhan raksasa, dan runtuhnya pemerintahan. Kombinasi alurnya bisa bermacam-macam, mulai dari perang nuklir yang membunuh jutaan manusia dan membumihanguskan kota-kota besar. Menyusul kemudian runtuhnya struktur pemerintah, kelangkaan sarana medis, terputusnya jalur distribusi kebutuhan pangan dan keseharian, yang akhirnya menyebabkan kerusuhan dan penjarahan.

Sejumlah investor pun telah melirik pembangunan bungker sebagai lahan bisnis baru.

“Bungker zaman ayah atau kakek Anda tidak nyaman," ujar Robert Vicino kepada CNN. Vicino adalah CEO Vivos, perusahaan pembangun dan pengelola bungker-bungker canggih di seluruh dunia. Gary Lynch, general manager Rising S, perusahaan pembikin bungker di Texas, mengatakan pada 2016 penjualan bungker perusahaannya tumbuh sampai 700 persen sejak 2015. Sejak Trump terpilih, penjualan total meningkat 300 persen.

CNN menyebutkan, dengan pasokan pangan dan sumber energi, bungker-bungker ini bisa bertahan selama beberapa generasi dan memanjakan penghuninya dengan banyak sarana hiburan, fasilitas kesehatan lengkap, layaknya kediaman para super kaya. Survival Condo, perusahaan asal Kansas, merombak bungker-bungker bikinan pemerintah pada tahun 1960an yang tidak terpakai lalu menjualnya lagi. Hal yang sama dilakukan oleh Vivos.

Kultur Bersiap

Dalam “Doomsday Prep for the Super-Rich” yang terbit di The New Yorker Januari lalu, Evan Osnos menyebut Kansas sebagai tempat strategis pembangunan sejumlah bungker. Namun sejak pilpres November silam, imigrasi Selandia Baru mencatat kedatangan 13.401 warga AS. Beberapa di antaranya membangun bungker. Bahkan Peter Thiel, pendukung Trump dari Silicon Valley, dikabarkan telah membeli tanah dan memperoleh kewarganegaraan Selandia Baru.

Survivalisme, demikian istilah yang digunakan untuk menyebut praktik-praktik antisipasi bencana ini, merupakan subkultur yang tengah marak di Amerika Serikat dan turut disuburkan krisis ekonomi nasional, ketidakstabilan politik dunia, dan perubahan iklim. Namun, akarnya sosialnya ternyata sudah bisa ditemukan puluhan tahun silam. Perang Dingin, misalnya, mendorong sejumlah orang merancang serangkaian metode untuk bertahan hidup di tengah ancaman bahaya radiasi seandainya terjadi serangan nuklir.

"Kalau Anda terpaksa membuang mayat, gelarlah selembar plastik di atas ranjang, bungkus mayatnya, segel dengan selotip; kalau tidak ada tempat untuk mengubur, tinggalkan di pinggir jalan. Tulis nama almarhum beserta tanggal lahirnya, jangan tulis nomor jaminan sosialnya karena bisa dicuri orang,” ujar Jason seperti dikutip oleh The Economist.

Charles adalah seorang pemadam kebakaran New York yang tiap akhir pekan melatih kecakapan bertahan hidup. Beberapa minggu sebelum pasien Ebola pertama di Amerika meninggal, klub survivalis Charles telah membahas secara rinci serba-serbi Ebola, mulai dari asal-muasal virus, variannya, hingga cara penanganan jenazah.

Tidak semua kalangan survivalis berkocek tebal sehingga mampu membangun bungker. Sebagian besar adalah kelas menengah di kota-kota besar yang—seandainya bencana kemanusiaan terjadi—hanya akan mengandalkan kotak P3K, bergalon-galon air dalam kemasan, makanan kaleng, serta baterai portabel untuk sumber energi—dan tentu, senjata api. Sebagian besar dari mereka juga konservatif.

Salah satu corak ideologi konservatif yang populer di AS hari ini dicirikan oleh dukungan pada pasar bebas, pro-keluarga batih, ketidakpercayaan terhadap otoritas pemerintah pusat (pemerintah federal), dan fundamentalisme agama. Dengan latar belakang ideologis tersebut, negara diasumsikan tidak akan bekerja dalam kondisi-kondisi darurat luar biasa. Bencana dan situasi-situasi darurat pada akhirnya dipahami sebagai hal yang harus diatasi dengan inisiatif pribadi dan kelompok, tanpa melibatkan negara.

Infografik Menghadapi Kiamat

Warisan Perang Dingin

Setelah kebijakan New Deal berhasil menyelamatkan AS dari depresi ekonomi, struktur birokrasi negara hadir di mana-mana dan menjamin pemenuhan kebutuhan dasar publik. Era yang berlangsung 1940an hingga pertengahan 1970an ini dikenang sebagai periode paling makmur dalam sejarah AS.

Di sisi lain, Perang Dingin melahirkan risiko yang tak terbayang sebelumnya: ancaman serangan nuklir dari negeri-negeri Blok Timur, seperti yang pernah terjadi dalam krisis misil Kuba pada awal 1960an, ketika Uni Soviet berencana menempatkan misil jarak menengah berhulu ledak nuklir di negeri yang berjarak sepelemparan batu dari Florida, AS.

Orang-orang yang diduga komunis disingkirkan dari birokrasi negara dan industri hiburan. Lanskap kebudayaan populer Perang Dingin juga subur dengan fiksi-fiksi propaganda ‘bahaya komunisme’ (yang kadang dikisahkan melalui alegori serangan alien, khususnya dalam fiksi ilmiah). Politik ketakutan massal ini akhirnya melahirkan subkultur survivalisme. Dalam pidato di televisi pada 1961, setelah insiden Teluk Babi, Presiden Kennedy menghimbau masyarakat untuk membangun tempat-tempat perlindungan dan mengantisipasi keadaan terburuk.

Survivalisme disuburkan lagi oleh kebijakan neoliberal di bawah Presiden Reagan (1981-1989) yang diawali dengan privatisasi perusahaan-perusahaan negara dan pencabutan subsidi untuk pelayanan kesehatan dan sektor-sektor publik lainnya.

“Negara”, demikian narasi yang terus diulang selama pemerintahan Reagan, ”adalah bagian dari masalah.” Sejak itulah, dalam komunitas-komunitas survivalis, penanganan kondisi-kondisi darurat dalam masyarakat semakin dipersepsikan sebagai tanggungjawab pribadi alih-alih negara, terutama ketika pemerintahan Bush dianggap gagal menangani situasi pasca-bencana badai Katrina yang memakan 1.836 korban jiwa dan membuat jutaan orang terpaksa mengungsi. Belum lagi krisis ekonomi yang menghantam AS di penghujung kepemimpinan Bush pada 2008.

Persiapan-persiapan menghadapi bencana yang dilakukan kaum survivalis merupakan gambaran telanjang bagaimana ketimpangan antar-kelas telah terinternalisasi sedemikian rupa dalam masyarakat AS, bahkan sampai pada tahap imajinasi bertahan hidup di masa darurat. Yang kaya sudah siap bungker dan tinggal terbang ke Selandia Baru, sementara yang miskin latihan bertahan hidup dengan senjata api.

Bagaimana di Indonesia? Isu keamanan dalam antisipasi bencana sosial adalah perkara enteng bagi para superkaya Indonesia, karena kemampuan menyewa ormas—alih-alih bungker—kepemilikan jet pribadi, hingga kedekatan dengan elit politik dan aparat keamanan adalah kunci. Sementara itu, kalangan masyarakat kelas bawah dan menengah yang terus dibombardir isu sektarianisme agama, wacana ancaman dari luar (proxy war), dan rumor liar kebangkitan PKI, sudah terlalu lama bertahan hidup tanpa sokongan negara.

Baca juga artikel terkait KIAMAT atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani