Menuju konten utama

Bagaimana Jika Vaksin COVID-19 Tak Manjur & Prokes Terus Dilanggar?

Vaksinasi hanya akan efektif tekan penularan virus korona jika diikuti penerapan protokol kesehatan yang disiplin.

Bagaimana Jika Vaksin COVID-19 Tak Manjur & Prokes Terus Dilanggar?
Pastor Maksimilianus Dora, Pastor Paroki Santo Stefanus Sempan Timika (kiri) menerima suntikan vaksin COVID-19 Sinovac di Kabupaten Mimika, Papua, Jumat (22/1/2021). ANTARA FOTO/Sevianto Pakiding/mrh/hp.

tirto.id - Indonesia sudah kehilangan kesempatan emas memerangi COVID-19 di masa awal pandemi. Kini, kita dan beberapa negara lain di dunia bergantung sepenuhnya pada vaksin. Pada 13 Januari 2021 lalu, Presiden Joko Widodo mendapat suntikan pertama vaksin COVID-19. Ini sekaligus jadi tengara dimulainya program vaksinasi COVID-19 gelombang pertama.

Sesuai rencana nasional, ada sekitar 181,5 juta orang ditargetkan menerima vaksin dengan total kebutuhan vaksin mencapai 426,8 juta dosis. Pemerintah bahkan berambisi menyelesaikan program ini dalam jangka waktu sekitar satu tahun saja. Meski demikian, masyarakat harus menyadari bahwa vaksin bukan jaminan utama yang bisa mengatasi pandemi dengan seketika.

Kunci emas menghentikan penyebaran COVID-19 justru ada pada penerapan protokol kesehatan yang disiplin. Hampir semua orang tahu langkah 5M, yaitu memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas. Namun, penerapannya nisbi belum konsisten. Begitu pula dengan penerapan 3T—testing, tracing, dan treatment.

Seolah bersandar penuh pada efikasi vaksin, belum ada langkah pengetatan protokol kesehatan yang efektif atau persiapan langkah penanggulangan lain dari Pemerintah Indoensia. Padahal, banyak negara, seperti China, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Taiwan, berhasil menekan kenaikan penularan COVID-19 dengan upaya pencegahan yang ketat dan disiplin.

“Pandemi terjadi ketika patogen pindah dari satu tubuh ke tubuh lain. Selama masih ada manusia yang bisa dijangkiti, bisa terpapar, selama itu pandemi tidak akan pernah selesai,” terang Profesor Sosiologi Bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura Sulfikar Amir kepada Tirto.

Ambil contoh wabah sebelumnya, seperti SARS-CoV (2002-2003) dan MERS-CoV (2012). Keduanya berhasil dihentikan tanpa vaksin dengan tindakan preventif. Kemudian, Flu Spanyol pada 1918 yang datang dalam beberapa gelombang hingga akhirnya hilang.

Intinya, kata Sulfikar, pandemi tak akan pernah hilang jika respon sosial lemah. Paling banter hanya berkurang sedikit, kemudian naik lagi, begitu seterusnya. Sampai tersisa sedikit orang yang belum terpapar, lalu penularan berkurang dan pandemi berakhir.

“Jika Flu Spanyol dikalahkan dengan intervensi sosial. COVID-19 kemungkinan besar dikalahkan intervensi medis, yaitu vaksin,” kata Sulfikar.

Tapi, apakah protokol kesehatan tidak diperlukan lagi jika sudah menerima vaksin?

Banyak orang menganggap vaksin sebagai obat kebal super. Bahkan, ada sekalangan orang yang menormalisasi aksi kumpul-kumpul dengan dalih “menguji kemanjuran vaksin”. Padahal, vaksin tidak 100 persen melindungi tubuh dari paparan virus.

Seperti halnya alat kontrasepsi yang fungsinya mencegah kehamilan, tapi toh bisa juga kebobolan. Harus disadari pula bahwa sekalipun telah divaksinasi, tubuh seseorang tetap membutuhkan waktu untuk membentuk imunitas. Dari beberapa fase uji klinis, butuh dua kali injeksi vaksin Sinovac dalam rentang 14 hari agar seseorang imun terhadap COVID-19. Dan lagi, antibodi baru terbentuk maksimal tiga bulan pascainjeksi kedua.

Jadi, seseorang yang baru saja divaksinasi tetap punya kemungkinan terinfeksi virus korona saat kekebalannya belum terbentuk.

Belajar dari Ebola di Kongo

Kasus wabah ebola di Kongo bisa jadi gambaran bagaimana vaksinasi bisa gagal karena melalaikan protokol kesehatan. Kasus pertama infeksi virus ebola ditemukan pada 1976 di Republik Demokratik Kongo. Pada 2014, wabah ebola merenggut korban lebih dari 11 ribu jiwa dan menginfeksi lebih dari 28 ribu orang. Guinea, Liberia, dan Sierra Leone adalah tiga negara yang mengalami dampak wabah terparah.

Gelombang kedua wabah ebola melanda dua provinsi di Kongo, Kivu Utara dan Ituri, pada 2018. Dilaporkan lebih dari 2.500 orang terinfeksi dan dua-pertiganya meninggal. Saat itu, produksi vaksin ebola dikebut dan didistribusikan dengan syarat kedaruratan—nisbi sama seperti vaksin COVID-19 sekarang.

Pembuatan vaksin ebola darurat memakan waktu lima tahun, dari 2014 hingga 2019. Itu tergolong lebih cepat dibanding proses pengembangan dan persetujuan vaksin di masa normal yang biasanya memakan waktu 10-15 tahun. Pada periode 2018-2020, lebih dari 300 ribu orang telah divaksinasi. Namun, wabah ebola tetap muncul pada 2018 dan yang terbaru pada Juni 2020 lalu.

Mengapa wabah tetap merebak saat vaksin sudah ada? Beberapa faktor bisa diajukan sebagai penyebab, salah satunya adalah konflik yang terjadi di Kongo. Sejarah panjang kekerasan juga melunturkan kepercayaan masyarakat Kongo terhadap petugas kesehatan asing.

BBC melaporkan, pada retang Januari-Juli 2019, terjadi 198 serangan terhadap petugas kesehatan dan fasilitas perawatan ebola. Situasi macam ini ikut membuat pelacakan penyebaran virus makin sulit dilakukan.

“Masalah besar lain adalah ketidakpercayaan terhadap petugas layanan kesehatan yang menyebabkan sekitar sepertiga dari seluruh kematian terjadi di tempat masyarakat umum tinggal, bukan di pusat perawatan Ebola,” tulis BBC.

Dalam keadaan semacam itu, tentu sulit menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus ebola. Situasi Kongo makin runyam karena penyangkalan terhadap eksistensi wabah ebola. Masih banyak pula orang Kongo yang menganggap wabah ebola hanyalah isu yang sengaja disebar orang kaukasian sebagai dalih eksploitasi. Hal ini terkait dengan sejarah kolonialisme Eropa yang pernah mencengkeram wilayah itu.

Fenomena itu persis seperti sebagian masyarakat Indonesia yang percaya bahwa COVID-19 adalah konspirasi. Ada pula kalangan antivaksin yang menggaungkan teori-teori irasional, mulai dari vaksin berisi chips, komposisi vaksin yang bermasalah dan justru berbahaya, hingga menyangkut halal-haram zat penyusunnya. Salah satu tokoh antivaksin yang akhir-akhir ini tersorot adalah anggota Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning.

Menurut Sulfikar, membenahi penerimaan dan kepercayaan publik saat ini bukan perkara gampang. Terlebih, kegagalan pemerintah dalam menangani pandemi selama 10 bulan ini telah lebih dulu membuat kepercayaan publik merosot. Belum lagi bicara data pandemi yang tidak pernah dibuka transparan.

Skenario kekebalan komunal—minimal 70 persen masyarakat harus divaksin—dikhawatirkan tak akan tercapai jika pemahaman antivaksin seperti itu makin berkembang. Program vaksinasi harus dikelola dan dikawal dengan baik agar Indonesia tidak bernasib seperti Kongo.

“Masalah penerimaan publik ini berat sekali. Hanya ada satu cara untuk membuat masyarakat menerima vaksin, yakni memberi info transparan,” kata Sulfikar.

Infografik Jika Vaksin Gagal

Infografik Jika Vaksin Gagal. tirto.id/Fuad

Memahami Efikasi yang Berbeda

“Terus saya tanya, ini katanya yang mau digratiskan semua rakyat ini yang mana, wong ada lima macam. Pasti yang murah kalau orang miskin,” kata Ribka dalam rapat kerja bersama Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, Selasa (13/1/2021).

Dia terlihat kritis, seolah menyuarakan ketimpangan distribusi vaksin COVID-19 untuk masyarakat. Pikirnya, dengan menyoroti perbedaan harga dan tingkat efikasi, kelompok miskin pasti mendapat vaksin dengan kualitas buruk. Padahal, vaksin gratis bukannya tidak berkualitas karena tingkat efikasinya tetap setara dengan vaksin impor “berbayar” lain.

Sejauh ini Pemerintah Indonesia mengimpor lima vaksin, di antaranya tiga juta dosis plus 122,5 juta dosis Sinovac; 50 juta dosis Novavax; 50 juta dosis AstraZeneca; 50 juta dosis Pfizer/BioNTech. Sementara vaksin COVID-19 gratis didapat dari bantuan Global Alliance for Vaccine and Immunization (GAVI) sebanyak 54 juta dosis—dengan pilihan vaksin Pfizer, AstraZeneca, atau Moderna.

Vaksin Pfizer saat ini tercatat mempunyai tingkat efikasi 95 persen, tertinggi di antara vaksin lain. Lalu, tingkat efikasi vaksin AstraZeneca mencapai sekitar 62 hingga 90 persen.

Vaksin Moderna juga melaporkan efikasi sebesar 94 persen. Sementara itu, vaksin Novavax hingga sekarang belum memiliki laporan hasil uji efikasi. Kemudian, vaksin Sinovac yang sudah disuntikkan ke Presiden Joko Widodo punya kemanjuran 65,3 persen berdasar uji klinis di Bandung.

Jadi, opini simpatik dari Ribka pada dasarnya tidak tepat. Apalagi WHO menetapkan, Emergency Use Authorization (EUA) atau otorisasi untuk penggunaan darurat dapat diberikan kepada vaksin dengan tingkat efikasi 50 persen.

Tingkat efikasi atau kemanjuran menunjukkan, vaksin dapat menurunkan resiko infeksi sebesar angka tersebut, dibanding tanpa vaksin. Derajat efikasi dipengaruhi karakteristik subjek uji. Jika subyek uji merupakan kelompok risiko tinggi, perhitungan efikasi akan meningkat.

“Sebaliknya, ketika subjek ujinya berisiko rendah, apalagi taat dengan prokes, tidak pernah keluar rumah sehingga tidak banyak yang terinfeksi, maka akan menghasilkan angka efikasi yang lebih rendah,” jelas Zullies Ikawati, Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, dalam paparan yang diterima Tirto.

Vaksin Sinovac di Brazil pernah mencatat kemanjuran sebesar 78 persen melawan kasus COVID-19 ringan hingga berat. Subjek ujinya adalah kelompok berisiko tinggi, yaitu tenaga kesehatan. Perhitungan angka ini tidak termasuk data kelompok infeksi sangat ringan. Ketika data kelompok itu disertakan, efikasinya turun menjadi 50,34 persen.

“Uji klinis Sinovac di Indonesia menggunakan populasi masyarakat umum sehingga risikonya lebih kecil,” terang Zullies.

Lantas, seberapa manjur vaksin menangkal virus COVID-19 yang ada saat ini?

Zullies mencontohkan dengan tingkat efikasi Sinovac di Indonesia, yakni 65,3 persen. Misalnya, akan ada 8,6 juta orang terinfeksi virus korona dari total populasi 100 juta tanpa vaksinasi. Angka infeksi itu akan turun 65 persen menjadi hanya sekitar 3 juta penduduk jika dilakukan vaksinasi.

Terdapat 5,6 juta orang terbebas dari infeksi berkat vaksinasi. Penurunan angka infeksi itu jelas akan sangat berdampak pada efektivitas penanganan pandemi. Ia mencegah kolapsnya fasilitas kesehatan dan mencegah penularan bagi kelompok yang tidak bisa mendapatkan vaksin.

Jadi, jangan sampai program vaksinasi COVID-19 di Indonesia gagal hanya karena satu orang yang ribut cari simpati masyarakat dengan menyebar hoaks. Tak perlu takut ikut vaksinasi dan tetap berdisiplin menerapkan protokol kesehatan.

Baca juga artikel terkait VAKSIN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi