Menuju konten utama

Bagaimana Jika Kecerdasan Buatan Masuk Industri Film?

Pandemi dan teknologi membuka kemungkinan perubahan Hollywood: tak lagi bersandar pada manusia, tapi kecerdasan buatan.

Bagaimana Jika Kecerdasan Buatan Masuk Industri Film?
Ilustrasi Hollywood. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Profil Lil’ Miquela di Instagram & TikTok sekilas tampak seperti influencer 'pemengaruh' kawakan lain. Ia berkolaborasi dengan merek-merek besar seperti Chanel dan Givenchy, berpose untuk sampul majalah fesyen seperti ELLE dan NYLON, juga bergaul dengan selebritas seperti Bella Hadid dan Rosalía.

Karier Lil’ Miquela berkembang pesat dan merambah berbagai bidang. Tahun lalu ia memasuki dunia musik dengan mengeluarkan berbagai single. Bila membaca langkah karier influencer lain, nampaknya hanya perlu menghitung waktu hingga Lil’ Miquela mengembangkan sayap ke film-film Hollywood.

Tapi dia tidak seperti kita. Dia tidak nyata. Dia robot virtual.

Artikel Vox berjudul “Lil Miquela and the virtual influencer hype, explained” menjelaskan bahwa Lil’ Miquela adalah artificial intelligence (AI) 'kecerdasan buatan' yang hadir dalam bentuk virtual, dikembangkan oleh perusahaan rintisan di bidang periklanan asal Los Angeles Amerika Serikat (AS) bernama brud.fyi. Brud.fyi menerima investasi sebesar 125 juta dolar AS dari Spark Capital untuk mengembangkan Lil’ Miquela dan virtual influencer lain guna menjual berbagai produk.

Kecerdasan buatan Lil’ Miquela bertugas melakukan behavior analysis 'analisis perilaku' para pengguna. Dalam hal ni Lil’ Miquela diciptakan dan diprogram berdasarkan data pengguna Instagram dan perusahaan induknya, Facebook. Bentuk fisik dan konten Lil’ Miquela mengikuti apa yang trending di media sosial, dan kini dunia musik.

Makalah “Behavior Analysis in Social Media” (PDF) terbitan Arizona State University menjelaskan kecerdasan buatan ini memanen data pengguna media sosial secara masif agar dapat meregulasi dan mengarahkan ke konten yang menurut mereka cocok dan bakal disukai. Contohnya, algoritma Spotify bakal mengenalkan ke lagu-lagu baru yang mirip dengan apa yang kita dengarkan sebelumnya; atau Instagram yang memperkenalkan ke konten, pengguna, atau bahkan produk yang kadang tampak seperti “membaca pikiran” padahal sebenarnya merupakan hasil dari merekam pergerakan pengguna selama menggunakan platform.

Di dunia perfilman, platform streaming Netflix memiliki algoritma serupa yang mengatalogkan film-film dan serial yang telah ditonton pengguna untuk kemudian merekomendasikan tayangan serupa dengan harapan akan disukai juga.

Di luar itu, artikel “Hollywood is Quietly Using AI to Help Decide which Movies to Make” di The Verge menguraikan bahwa kecerdasan buatan sekarang juga digunakan untuk mengarahkan proses produksi film. Algoritma dimanfaatkan untuk melakukan riset pasar sehingga film yang diproduksi sudah pasti akan memiliki pangsa pasar sendiri. Dalam hal ini AI behavior analysis bahkan sampai dapat menentukan aktor mana yang tepat, plot seperti apa yang sesuai, hingga latar film itu sendiri.

Penggunaan kecerdasan buatan adalah upaya Hollywood beradaptasi dengan perkembangan industri. Artikel Bloomberg berjudul “Here Are the Ways the Pandemic Changed Hollywood” menjelaskan betapa Hollywood terkena pukulan berat pandemi Covid-19. Penjualan tiket turun drastis secara global, bioskop-bioskop besar gulung tikar, rilis film baru ditunda, belum lagi produksi mandek. Ini semua membuat para produser tidak bisa lagi semena-mena menghabiskan sumber daya. Mereka harus dengan cermat memilih film apa yang bisa di-greenlight selama pandemi tanpa menurunkan standar blockbuster.

Pada saat yang sama terjadi perubahan drastis dalam jalur distribusi film. Distribusi lewat berbagai waralaba bioskop dunia seperti XXI di Indonesia kini tidak lagi jadi unggulan. Mayoritas distribusi film Hollywood kini bergeser ranah digital. Pada awal masa pandemi di 2020, Netflix tercatat mendapatkan 26 juta pelanggan baru. Tahun ini Netflix memiliki total 208 juta pelanggan, sementara kompetitor terdekatnya, Disney+, mencatat 103,6 juta pelanggan.

Pilihan untuk menonton lewat platform nampaknya telah menjadi gaya hidup baru. Artikel CNBC melaporkan meski beberapa negara sudah membuka kembali bioskop dan warganya menikmati hidup hampir normal, menonton melalui platform streaming ternyata masih menjadi pilihan utama.

Jumlah pengguna platform digital seperti Netflix menghasilkan data pengguna yang masif pula. Semuanya menjadi “makanan” bagi algoritma kecerdasan buatan untuk mengalkulasi secara lebih akurat “produk-produk” film seperti apa yang akan laku dipasarkan. Logikanya sama seperti survei: semakin banyak responden maka akan semakin kredibel temuannya.

Tapi tentu tak semua setuju dengan penggunaan kecerdasan buatan di bidang film. Kembali ke artikel The Verge, penggunaan kecerdasan buatan untuk memproduksi film dikritik karena mengabaikan kreativitas.

Apa jadinya bila film yang dilihat sebagai salah satu media seni, alat penyaluran kreativitas, kini diberikan kepada AI? Saat ini AI mungkin sekadar membantu produser, tapi apakah ke depan AI akan mengambil alih pekerjaan produser, atau sutradara, penulis naskah, bahkan aktor--seperti Lil’ Miquela yang mengambil alih pasar influencer dan mencoba melakukan hal yang sama terhadap musisi?

Artikel tersebut mengutip pernyataan dari makalah yang ditulis Kang Zhao dan Michael Lash. Mereka menyatakan bahwa fungsi AI masih sangatlah terbatas karena pada dasarnya hanya menganalisis pergerakan dari masa lalu untuk memprediksi masa depan. Itu membuat AI tidak mampu berinovasi secara kreatif. Ranah inovasi dan kreativitas masih sepenuhnya dimiliki oleh manusia.

Infografik Intelegensi Artifisial dan Film Hollywood

Infografik Intelegensi Artifisial (AI) & Film Hollywood. tirto.id/Fuad

Film dokumenter AlphaGo yang diproduksi oleh DeepMind, lab kecerdasan eksperimental yang didanai oleh Google, membuktikan pernyataan tersebut. DeepMind memprogram sebuah AI bernama AlphaGo untuk bermain go (weiqi), boardgame yang jauh lebih kompleks dari catur, diciptakan di Cina lebih dari 2.500 tahun lalu, untuk melawan Lee Sedol, seorang juara dunia asal Korea Selatan. AlphaGo memang terbukti membuat Lee kewalahan. Empat dari lima ronde dimenangkan oleh AlphaGo. Meski begitu, Lee memenangkan ronde ke-4 berkat gerakan inovatif yang tidak dapat diprediksi oleh AI.

Alih-alih ketakutan, Sekjen Federasi Go Internasional Hajin Lee menyatakan AlphaGo adalah kesempatan emas bagi pemain go dunia untuk belajar. Menurutnya para pemain seharusnya malah termotivasi untuk mampu berkompetisi di level AlphaGo. Pemerintah Korea Selatan sendiri bereaksi atas turnamen ini dengan mengeluarkan dana 1 triliun won untuk riset kecerdasan buatan sendiri.

Semangat yang sama semestinya dapat ditanamkan di Hollywood dan bahkan industri film dunia. Jangan ketakutan dulu dan berpikiran bahwa dunia Terminator sudah semakin dekat. Riset lebih lanjut guna menguasai teknologi ini sangatlah penting dilakukan karena industri yang relevan terbukti sudah menggunakannya dan tidak berpikir untuk berhenti karena memang membawa manfaat.

Baca juga artikel terkait KECERDASAN BUATAN atau tulisan lainnya dari Pia Diamandis

tirto.id - Film
Kontributor: Pia Diamandis
Penulis: Pia Diamandis
Editor: Rio Apinino