Menuju konten utama

Bagaimana Industri Garmen Mengekspoitasi Buruh Sejak Era Napoleon

Eksploitasi pekerja garmen adalah cerita lama dari abad ke-17 hingga hari ini.

Bagaimana Industri Garmen Mengekspoitasi Buruh Sejak Era Napoleon
Ilustrasi pekerja industri fesyen. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sampai sekarang, musibah yang terjadi di Rana Plaza Bangladesh pada 23 April 2013 adalah kecelakaan kerja terbesar dalam sektor industri garmen. Runtuhnya gedung delapan lantai menewaskan 1.134 pekerja dan mengakibatkan 2.500 pekerja garmen luka-luka.

Menurut laporan Michael Safi untuk The Guardian, para pekerja garmen sudah meminta pada atasan untuk tidak masuk gedung karena tingkat keretakan pada bangunan sangat mengkhawatirkan. Namun, permintaan tersebut diabaikan oleh sang manajer. Pekerja garmen dipaksa masuk ke gedung yang sesungguhnya sudah tidak layak ditempati. Walhasil, gedung tersebut langsung runtuh dalam waktu kurang dari dua menit.

Kejadian yang menimpa Rana Plaza semakin memperkuat militansi aktivis buruh garmen, tidak hanya terjadi di Bangladesh tetapi juga di negara-negara lain sampai hari ini. Berbagai lembaga non-profit membuat penelitian seputar perlakuan buruk perusahaan terhadap buruh garmen, terutama di Asia Selatan dan Asia Tenggara yang menjadi lokasi pabrik-pabrik raksasa industri pakaian seperti Inditex (di antaranya menaungi Zara, Pull & Bear, Stradivarius, Bershka, Massimo Dutti), Mango, dan Primark.

Pada Juni 2018, Tirto merangkum sejumlah hasil penelitian dari beberapa lembaga seperti Global Labor Justice dan Asia Floor Wage Alliance soal kondisi pekerja garmen di Bangladesh, Kamboja, India, Sri Lanka, dan Indonesia. Kekerasan seksual dan pelecehan verbal--berupa hinaan dan ancaman--serta non-verbal adalah hal yang kerap terjadi terhadap pekerja perempuan.

Perusahaan juga melakukan pelanggaran hak pekerja dengan memotong gaji seenaknya, melarang dibentuknya serikat pekerja, dan melakukan PHK kepada karyawati yang sedang mengandung.

Berbagai laporan penelitian menyebut pengabaian hak para pekerja--yang salah satu bentuknya adalah tindak kekerasan--berpeluang terjadi karena status para pekerja adalah karyawan kontrak jangka pendek, digaji rendah, dan tidak memiliki durasi waktu kerja yang pasti.

Tapi, sebetulnya kisah pilu soal pekerja garmen ini tidak baru terjadi dalam rentang waktu 10 tahun terakhir.

Kapan Eksploitasi Berawal?

Dalam esai “Fashion, the Factory and Exploitation” yang dipublikasikan pada The Fashion History Reader (2010), Katrina Honeyman mencatat eksploitasi terhadap pekerja garmen sudah terlihat dalam ranah perdagangan busana pada abad ke-19. Hasil penelusurannya serupa dengan laporan-laporan lembaga non-profit abad ini.

Honeyman menyebut yang paling sering dieksploitasi adalah pekerja garmen perempuan. Mereka tidak bekerja dalam ruangan yang layak, mendapat upah sangat rendah, dan bekerja selama belasan jam per hari. Pada abad ke-19, para buruh perempuan ini dipaksa bekerja keras untuk membuat busana terbaik pria baik berdasarkan pesanan perorangan maupun sesuai selera pasar.

Infografik Eksploitasi Pekerja Industri Fesyen

Infografik Eksploitasi Pekerja Industri Fesyen. tirto.id/Quita

Gencarnya produksi garmen pada abad ke-19, menurut hemat Honeyman, bisa dipandang sebagai efek dari Perang Napoleon (1803-1815) yang telah menyiapkan prakondisi untuk produksi busana secara massal. Ketika perang terjadi, pasar busana perang bagi tentara untuk keperluan kampanye militer sangat laris.

Setelah perang, produksi busana dengan kualitas garmen dan teknik pembuatan tinggi maupun kualitas garmen yang ala kadarnya mulai jadi ranah pekerjaan. Para pekerja garmen menjahit dengan menggunakan mesin jahit. Ada yang bekerja di rumah, ada pula yang bekerja di pabrik. Meski demikian, kondisi mereka sama mirisnya.

Busana yang diproduksi umumnya adalah setelan jas atau suit pria.

“Sejak abad ke-18 sampai sekarang, fesyen yang meliputi haute couture dan yang diproduksi massal adalah penentu kelas sosial serta diciptakan dari keterampilan teknis, kreativitas, dan keringat pekerja,” tulis Honeyman.

“To Be Poor and To Be Honest. . .Is the Hardest Struggle of All": Sweated Needlewomen and Campaigns for Protective Legislation, 1840-1914” karya Sheila Blackburn yang terbit dalam Famine and Fashion (2016) mencatat penderitaan pekerja garmen dalam ranah pekerjaan sudah terjadi pada abad ke-17 di Inggris, tetapi baru jadi perbincangan publik pada abad ke-19. Pada masa itu tercipta konsep sweatshop dengan kondisi kerja tidak kondusif: gaji rendah, jam kerja tidak pasti, lingkungan kerja tidak bersih dan sehat.

Para pekerja garmen umumnya adalah istri yang mesti membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga, janda, dan perempuan tua yang melajang. Kapitalis garmen tidak menggaji mereka dengan pantas dengan alasan begitu banyak orang yang jadi penjahit saat itu. Para pekerja pun tidak memahami cara menegosiasikan gaji karena belum ada inisiatif untuk membentuk serikat. Baru pada pertengahan abad ke-19 buruh-buruh garmen mulai berserikat.

Konsekuensi dari lingkungan kerja yang buruk selama beberapa abad itu adalah kelaparan dan kematian. Kematian disebabkan pula oleh adanya penyakit menular yang mudah menyerang para pekerja garmen rumahan.

Inisiatif dari atas baru muncul pada 1906 setelah digelarnya pameran industri garmen. Dalam pameran itu, para pengunjung yang berasal dari kelas menyaksikan situasi kerja para pekerja garmen. Pengunjung juga mendapat gambaran tentang kondisi lingkungan kerja yang tidak sehat dan berpotensi menularkan penyakit, serta informasi tentang pendapatan serta pengeluaran sehari-hari para pekerja garmen.

“Bahkan jubah raja Edward saja tidak bebas dari bibit penyakit,” tulis Blackburn.

Media massa di Inggris yang memberitakan pameran tersebut menyatakan pameran itu bukan ekshibisi industri, melainkan cerminan penderitaan kehidupan kaum pekerja garmen. Efek langsung dari pameran ini adalah mulai terhimpunnya donasi dari para pengunjung untuk pekerja.

Tiga tahun setelah pameran berlangsung, muncul aturan pertama bernama Trade Boards Act yang mengatur kondisi kerja para pekerja industri termasuk garmen. Aturan yang sama juga menetapkan upah minimum pekerja.

“Yang kemudian mesti dipertanyakan lagi perihal penderitaan pekerja-pekerja garmen ini adalah kemiskinan dan ketimpangan akibat kapitalisme Inggris,” tutur Blackburn.

Rendahnya upah kerja pekerja garmen tidak kunjung dibahas oleh pemerintah. Sebab, Kerajaan Inggris pada era Victoria mengutamakan perang dan ekspansi teroritrial ke berbagai sudut dunia. Pengalaman Inggris serupa dengan Amerika Serikat yang juga mulai melakukan ekspansi teritorial pada peralihan abad ke-20.

Negara-negara ini membutuhkan pekerja garmen saat perang, lalu meninggalkannya setelah berjaya.

Baca juga artikel terkait BURUH GARMEN atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf